Kamis, 12 Februari 2009

KEBIJAKAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN NEGARA

Oleh: Marsono *)

Sejak Pembangunan Jangka Panjang Tahap I sampai dengan saat ini telah dikeluarkan berbagai kebijakan yang dijadikan landasan dalam pelaksanaan pengawasan antara lain:

1). UUD 1945, Pasal 20A Ayat (1) DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Selanjutnya dalam Pasal 23 E dinyatakan: (1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri; (2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, DPRD sesuai dengan kewenangannya; (3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan atau badan sesuai dengan Undang-undang.

2). Undang-Undang No. 5 tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Pasal 2 menyatakan: (1) Badan Pemeriksa Keuangan bertugas untuk memeriksa tanggungjawab Pemerintah tentang Keuangan Negara; (2) Badan Pemeriksa Keuangan bertugas untuk memeriksa semua pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; (3) Pelaksanaan pemeriksaan seperti dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-undang; (4) Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

3). Undang-Undang No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedu-dukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, Pasal 27 dan 30, menegaskan bahwa DPR mempunyai berbagai hak, yaitu : (a) Hak interpelasi; (b) Hak angket; (c) Hak menyatakan pendapat; (d) Meminta pejabat negara, pejabat pemerintah untuk memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara. Pelaksanaan pengawasan DPR dilakukan oleh Komisi, sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Untuk melaksanakan tugasnya komisi dapat : (a) mengadakan rapat kerja dengan Presiden, yang dapat diwakili oleh Menteri; (b) mengadakan rapat dengar pendapat dengan Pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya; (c) mengadakan rapat dengan pendapat umum, baik atas permintaan komisi maupun atas permintaan pihak lain; (d) mengadakan kunjungan kerja, termasuk melakukan studi perbandingan yang dipandang perlu, dalam masa reses atau apabila dipandang perlu dalam masa sidang, yang hasilnya atas Keputusan Badan Musyawarah dilaporkan kepada Rapat Peripurna untuk ditentukan tindaklanjutnya; (e) mengikuti dengan seksama serta mengumpulkan bahan mengenai peristiwa yang menyangkut kepentingan rakyat, yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri, yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya; (f) mengajukan pertanyaan, baik kepada Pemerintah maupun kepada pihak lain; (g) mengadakan rapat kerja dan rapat dengar pendapat apabila dipandang perlu dengan pejabat pemerintah yang mewakili instansinya, yang tidak termasuk dalam ruang lingkup tugas komisi/diluar instansi mitra kerjanya; (h) mengadakan rapat gabungan komisi, apabila ada masalah yang menyangkut lebih dari 1 (satu) komisi; (i) membentuk panitia kerja; (j) melakukan tugas atas keputusan rapat paripurna dan/atau Badan Masyawarah; (k) mengusulkan kepada Badan Musyawarah hal yang dipandang perlu untuk dimasukkan dalam acara DPR.

4). Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dalam pasal 33 disebutkan bahwa “pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara diatur dalam undang-undang tersendiri. Berkenaan dengan tugas-tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara, diperlukan adanya aparat pengawasan fungsional intern seperti Lembaga/Badan/Unit Pengawasan di lingkungan pemerintah baik tingkat Pusat maupun tingkat Propinsi, Kabupaten/Kota, sedangkan Bepeka merupakan Badan Pengawasan Fungsional Ekstern Pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 Bab VIII-A Pasal 23E.

5). Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 58 ayat (1) menyebutkan bahwa “dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh”. Sedangkan ayat (2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

6). Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan bahwa dalam menyelenggarakan pemeriksaan pengelolaan dan tangung jawab keuangan negara, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Untuk keperluan tersebut di atas, laporan hasil pemeriksaan intern pemerintah wajib disampaikan kepada BPK.

7). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 218 ayat (1) menyatakan bahwa pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi: (a) pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah; dan (b) pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Selanjutnya ayat (2) menyatakan bahwa pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh aparat pengawas intern Pemerintah sesuai dengan peraturan peurundang-undangan. Selanjutnya Pasal 221 menyatakan hasil pengawasan digunakan sebagai bahan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Berkaitan dengan koordinasi pengawasan Pasal 222 Ayat (1) berbunyi “Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pe-merintahan daerah secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri”. Sedangkan Ayat (2) menyatakan bahwa “pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Gubernur”. Selanjutnya Ayat (3) menyatakan bahwa “pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota”. Lebih lanjut Ayat (4) menyatakan bahwa “Bupati dan walikota dalam pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat melimpahkan kepada camat”.

Sedangkan Pasal 223 menyatakan bahwa “Pedoman penga-wasan yang meliputi standar, norma, prosedur, penghargaan, dan sanksi diatur dalam Peraturan Pemerintah”. Atas dasar amanat Pasal 223 UU No. 32 tahun 2004 inilah maka diterbitkan PP No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sebagai landasan kebijakan operasional dalam pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah bagi Kementerian/De-partemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen/Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

8). Peraturan Pemerintah No. 52 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan. Pasal 14: (1) Pengawasan atas pelaksanaan tugas pembantuan dari pemerintah kepada daerah dan desa, dan Propinsi/Kabupaten kepada desa dilakukan oleh instansi pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) Hasil pengawasan terhadap penyelenggaraan tugas pembantuan baik yang dilakukan oleh instansi pengawas pemerintah daerah, disampaikan kepada Gubernur/ Bupati/Walikota dan kepada Menteri/Pimpinan LPND terkait dengan tembusan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

9). Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pasal 1 butir (4) PP No. 79 tahun 2005 disebutkan bahwa ”pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan secara efisien dan efektif sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pengawasan yang dilaksanakan oleh Pemerintah terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.

Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah Pemerintah melakukan dengan 2 (dua) cara sebagai berikut: (1) Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (RAPERDA), yaitu terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri, Dalam Negeri untuk Raperda provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Raperda kabupaten/kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal; dan (2) Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di luar yang termasuk dalam angka 1, yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk provinsi dan Gubernur untuk kabupaten/kota untuk memperoleh klarifikasi.

Pasal 24 (1) Pengawasan terhadap urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah sesuai dengan fungsi dan kewenangannya; (2) Aparat Pengawas Intern Pemerintah adalah Inspektorat Jenderal Departemen, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat Kabupaten/Kota; (3) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat pengawas pemerintah; (4) pejabat pengawas pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri/Menteri Negara/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen ditingkat pusat, oleh Gubernur di tingkat Provinsi, dan oleh Bupati/Walikota di tingkat Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 25, ayat (1) Inspektur Provinsi dalam pelaksanaan tugas pengawasan bertanggungjawab kepada Gubernur, Inspektur Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan tugas pengawasan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota; (2) Inspektur Provinsi dalam pelaksanaan tugas selain tugas pengawasan, mendapat pembinaan dari Sekretaris Daerah Provinsi dan Inspektur Kabupaten/kota dalam pelaksanaan tugas selain tugas pengawasan, mendapat pembinaan dari Sekretaris daerah Kabupaten/Kota.

Pasal 26, ayat (1) Inspektorat Jenderal Departemen dan Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Departemen melakukan pengawasan terhadap: (a) pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan; (b) pinjaman dan hibah luar negeri; dan (c) pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan fungsi dan kewenangannya. Ayat (2) Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri selain melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan peme-rintahan daerah provinsi, kabupaten/kota. Ayat (3) Inspektorat Provinsi melakukan pengawasan terhadap: (a) pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota; (b) pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah provinsi; dan (c) pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota. Ayat (4) Inspektorat Kabupaten/Kota melaku-kan pengawasan terhadap: (a) pelaksanaan urusan pemerin-tahan di daerah kabupaten/kota; (b) pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan desa; dan (c) pelaksanaan urusan pemerintahan desa.

Pasal 28 ayat (1) aparat pengawas intern pemerintah melakukan pengawasan sesuai dengan fungsi dan kewenangannya melalui: (a) pemeriksaan dalam rangka berakhirnya masa jabatan kepala daerah; (b) pemeriksaan berkala atau sewaktu-waktu maupun pemeriksaan terpadu; (c) pengujian terhadap laporan berkala dan/atau sewaktu-waktu dari unit/satuan kerja; (d) pengusutan atas kebenaran laporan mengenai adanya indikasi terjadinya penyimpangan, korupsi, kolusi dan nepotisme; (e) penilaian atas manfaat dan keberhasilan kebijakan, pelaksanaan program dan kegiatan; dan (f) monitoring dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dan pemerintahan desa.

10). Keppres Nomor 44 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen, dimuat adanya fungsi Inspektorat Jenderal sebagai unsur pengawas yang berada di bawah menteri. Mempunyai tugas pokok melakukan pengawasan dalam lingkup Departemen. Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, Itjen mempunyai fungsi: (1) Pemeriksaan; (2) Pengujian; dan (3) Pengusutan.

11). Inpres Nomor 15 tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan. Dalam Inpres tersebut, ditegaskan adanya pengawasan melekat. Selanjutnya juga ditegaskan adanya pengawasan fungsional yang merupakan kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga/Badan/Unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan melalui kegiatan pemeriksaan, pengujian, pengusutan dan penilaian.

12). Keppres Nomor 31 Tahun 1983 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang telah disempurnakan dengan Keppres No. 110/2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I LPND, pasal 34 tentang Organisasi BPKP dan pasal 35 tentang Tugas Kepala dan Unit Eselon I BPKP yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Kepala BPKP No. Kep-06.00.00-080/ K/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPKP, Pasal 2 dinyatakan BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, dalam pasal 3 disebutkan BPKP menyelenggarakan fungsi: (a) pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan; (b) perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan; (c) koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPKP; (d) pemantauan, pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap kegiatan pengawasan keuangan dan pembangunan; (e) penyelenggaraan, pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan dan rumah tangga.

Di samping tugas dan fungsi tersebut, dalam pasal 4 butir f BPKP mempunyai kewenangan lain yang melekat dan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu: (1) memasuki semua kantor, bengkel, gudang, bangunan, tempat-tempat penimbunan, dan sebagainya; (2) meneliti semua catatan, data elektronik, dokumen, buku perhitungan, surat-surat bukti, notulen rapat direksi/komisaris/panitia dan sejenisnya, hasil survei laporan-laporan pengelolaan, dan surat-surat lainnya yang diperlukan dalam pengawasan; (3) melakukan pengawasan kas, surat-surat berharga, gudang persediaan, dan lain-lain; (4) meminta keterangan tentang tindaklanjut hasil pengawasan baik hasil pengawasan BPKP sendiri, maupun pengawasan lembaga pengawasan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

13). Mengenai penyelenggaraan tugas pembantuan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 52 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan. Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa Pengawasan atas pelaksanaan tugas pembantuan dari pemerintah kepada daerah dan desa, dan Propinsi/Kabupaten kepada desa dilakukan oleh instansi pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya ayat (2) menyatakan bahwa hasil pengawasan terhadap penyelenggaraan tugas pembantuan baik yang dilakukan oleh instansi pengawas pemerintah daerah, disampaikan kepada Gubernur/ Bupati/Walikota dan kepada Menteri/Pimpinan LPND terkait dengan tembusan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.

14). Peraturan Pemerintah No. 39/2001, dalam Pasal 11 tentang Pembinaan dan Pengawasan: (1) pengawasan atas penyelenggaraan kewenangan yang dilimpahkan kepada Gubernur dan atau Perangkat Pusat di daerah; (2) Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen dalam hal-hal tertentu dapat melimpahkan kewenangan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur; (3) Gubernur dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

15). Kepmendagri Nomor 17 tahun 2001, merupakan kebijakan pe-laksanaan dari Keppres No. 74 tahun 2001 yang memuat ketentuan tentang Pelimpahan Pengawasan Fungsional Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Gubernur. Gubernur selaku wakil pemerintah di Daerah, mempunyai kewenangan dalam melakukan pengawasan fungsional, yang antara lain: a) Melaksanakan penjabaran kebijakan pengawasan fungsional penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Wilayahnya; b) Melakukan koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan tindak lanjut hasil pengawasan fungsional penyelenggaraan Pemerintahan Kabupaten dan Kota; c) Menyelenggarakan pelaksanaan pengawasan fungsional terhadap penyelenggaraan Pemerintahan kabupaten dan Kota kecuali hal-hal yang dipandang perlu dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.

Sehubungan dengan adanya kewenangan Gubernur tersebut, maka Gubernur wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan fungsional kepada Menteri Dalam Negeri yang dilakukan secara berkala. Dalam hal-hal tertentu, apabila diminta oleh Menteri Dalam Negeri, Gubernur wajib melaporkan penyelenggaraan pengawasan fungsional di wilayahnya.

16). Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, memuat ketentuan tentang Pedoman, Pengurusan, Pertanggungjawaban dan pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara penyusunan Anggaran pendapatan dan belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Berkaitan dengan pembinaan dan pelaksanaan pengawasan keuangan, terdapat beberapa ketentuan yang dianggap relevan dengan kajian ini, yakni:

Pertama, Pembinaan. Pasal 94 memberikan arah bahwa pembinaan pengelolaan keuangan daerah propinsi, Kabupaten dan Kota dilakukan oleh Menteri Dalam negeri Negeri. Pembinaan dimaksud berupa pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, supervisi dan evaluasi dibidang pengelolaan keuangan daerah. Gubernur selaku Wakil Pemerintah melakukan pembinaan pengelolaan keuangan daerah kepada Kabupaten/Kota di wilayahnya dan tidak boleh bertentangan dengan pembinaan yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.

Kedua, Pengawasan Keuangan. Pengawasan keuangan di daerah dilakukan oleh DPRD dan pejabat Internal yang diangkat oleh Kepala Daerah. Untuk menjamin pencapaian sasaran yang telah ditetapkan, DPRD melakukan pengawasan atas pelaksanaan APBD yang bukan bersifat pemeriksaan yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.

Kepala Daerah mengangkat pejabat yang bertugas melakukan pengawasan internal pengelolaan Keuangan Daerah; yang mencakup seluruh aspek keuangan daerah termasuk pengawasan terhadap tata laksana penyelenggaraan program, kegiatan dan Manajemen Pemerintahan Daerah. Pejabat pengawas internal melaporkan hasil pengawasannya kepada kepala Daerah. Pelaksanaan pengawasan internal ditetapkan oleh Kepala Daerah.

Untuk menghindari terjadinya overlopping dalam pelaksanaan tugas pengawasan, Pejabat Internal yang ditunjuk dilarang untuk merangkap jabatan. Pejabat Pengawas Internal Pengelolaan Keuangan Daerah tidak diperkenankan merangkap jabatan lain di Pemerintah Daerah, seperti menjadi anggota Tim atau Panitia dalam rangka pelaksanaan APBD pada perangkat Daerah yang akan atau sedang diperiksanya.

Kepala Daerah wajib memberikan ijin kepada aparat pengawas selain pejabat pengawas internal melakukan fungsi pengawasan pengelolaan keuangan daerah. Sebelum melakukan pengawasan, aparat pengawas terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan Pejabat Pengawas Internal.

Dalam rangka pengawasan keuangan daerah Propinsi, Peraturan Daerah tentang APBD dan Perhitungan APBD serta Keputusan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD Perubahan APBD dan Perhitungan APBD beserta lampirannya disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri paling lambat 15 (lima belas) hari setelah ditetapkan. Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dapat membatalkan Peraturan Daerah atau Keputusaan Kepala Daerah. Pembatalan Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah dapat dilakukan terhadap sebagian atau seluruh bagian, kelompok, jenis, objek, rincian objek tertentu dalam APBD apabila bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan atau peraturan perundang-undangan lainnya, dituangkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden.

Dalam rangka pengawasan keuangan Daerah Kabupaten/Kota, Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati/Walikota tentang APBD, perubahan APBD dan perhitungan APBD beserta lampirannya disampaikan kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah paling lambat 15 (lima belas) hari setelah ditetapkannya. Gubernur dapat membatalkan Peraturan Daerah dan atau Keputusan Bupati/Walikota, apabila bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan atau peraturan perundang-undangan lainnya. Pembatalan peraturan daerah atau keputusan Bupati/Walikota dapat dilakukan terhadap sebagian atau seluruh bagian, kelompok, jenis, objek, rincian objek, tertentu dalam APBD, yang dituangkan dalam Keputusan Gubernur.

17). Keppres Nomor 8 tahun 2004 tentang Perubahan atas Keppres Nomor 101 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keppres No. 47 tahun 2003. Dalam pasal 8 butir a disebutkan dalam melaksanakan tugas, Meneg Pan menyelenggarakan fungsi kebijakan kebijakan Pemerintah di bidang pendayagunaan aparatur negara yang meliputi program, kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, pelayanan publik, pengawasan, dan akuntabilitas aparatur. Selanjutnya, dalam pasal 9 dijelaskan dalam menyelenggarakan fungsi Menegpan mempunyai kewenangan antara lain penetapan kebijakan kelembagaan aparatur Negara dan jabatan fungsional pegawai negeri sipil serta koordinasi kebijakan pelaksanaan pengawasan.

18). Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 129 menyatakan Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan daerah kepada pemerintah daerah yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri.

Selanjutnya Pasal 130 Ayat (1) menyatakan pembinaan seba-gaimana dimaksud dalam Pasal 129 meliputi pemberian pedo-man, bimbingan, supervise, konsultasi, pendidikan, pelatihan , serta penelitian dan pengembangan.

Pasal 131 menyatakan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 untuk Kabupaten/Kota dikoordinasikan oleh Gubernur selaku wakil pemerintah.

Pasal 132 menyatakan DPRD melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Pasal 133 menyatakan Pengawasan pengelolaan keuangan daerah berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya Pasal 134 ayat (1) menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, kepala daerah mengatur dan menyeleng-garakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan daerah yang dipimpinnya. Ayat (2) menyatakan bahwa penga-turan dan penyelenggaraan sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

19). Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 308 menyatakan bahwa pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan daerah kepada pemerintah daerah yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri.

Selanjutnya Pasal 309 Ayat (1) menyatakan bahwa pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 meliputi pemberian pedoman, bimbingan, supervise, konsultasi, pendidikan dan pelatihan.

Pasal 310 menyatakan bahwa pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309 ayat (1) untuk Kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Gubernur selaku wakil pemerintah.

Pasal 311 Ayat (1) menyatakan DPRD melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ayat (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan pemeriksaan tetapi pengawasan yang lebih mengarah untuk menjamin pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang APBD.

Pasal 312 menyatakan bahwa pengawasan pengelolaan keuangan daerah berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 313 ayat (1) menyatakan dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, kepala daerah mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan daerah yang dipimpinnya. Selanjutnya ayat (2) menyebutkan bahwa pengen-dalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan proses yang dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai mengenai pencapaian tujuan pemerintah daerah yang tercermin dari keandalan laporan keuangan, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan program dan kegiatan serta dipatuhinya peraturan perundang-undangan. Sedangkan ayat (3) menyebut-kan bahwa pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya memenuhi criteria sebagai berikut: (a) terciptanya lingkungan pengendalian yang sehat; (b) terseleng-garanya penilaian risiko; (c) terselenggaranya aktivitas pengendalian; (d) terselenggaranya sistem informasi dan komunikasi; dan (e) terselenggaranya kegiatan pemantauan pengendalian.

Rabu, 11 Februari 2009

IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH NO 60 TAHUN 2008 TENTANG SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH (SPIP) : SEBUAH PENEKANAN KEMBALI K

Oleh : Marsono *)


Pendahuluan

Reformasi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara secara mendasar telah dimulai sejak dilakukannya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Reformasi sistem penyelenggaraan pemerintahan negara tersebut menjadi konfigurasi dan referensi bagi bangsa Indonesia, mengingat reformasi mencakup proses demokratisasi, penegakan hukum, otonomi dan desentralisasi, serta penciptaan penyelenggaraan kepemerintahan yang baik.

Salah satu upaya dalam penciptaan kepemerintahan yang baik tersebut, antara lain adalah melalui penyempurnaan kebijakan pengelolaan keuangan negara, yaitu melalui paket peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara yang meliputi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Paket peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara tersebut, membawa implikasi perlunya sistem pengelolaan keuangan negara yang lebih akuntabel dan transparan.

Dalam upaya penyempurnaan sistem pengelolaan keuangan negara, daqn sebagai tindak lanjut Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Sistem Pengendalian Intern ini dilandasi pada pemikiran bahwa Sistem Pengendalian Intern melekat sepanjang kegiatan, dan dipengaruhi oleh sumber daya manusia, serta harus dapat memberikan keyakinan yang memadai. Hal ini baru dapat dicapai jika seluruh tingkat pimpinan menyelenggarakan kegiatan pengendalian atas keseluruhan kegiatan di instansi masing-masing. Dengan demikian, maka penyelenggaraan kegiatan pada suatu Instansi Pemerintah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, sampai dengan pertanggungjawaban, harus dilaksanakan secara tertib, terkendali, serta efisien dan efektif.
__________________________
*) Ahli Peneliti Madya pada Pusat Kajian Manajemen Pelayanan LAN

Disamping itu, sistem Pengendalian Internal mempunyai arti yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Pengendalian internal yang melekat pada fungsi manajerial ditujukan untuk memastikan dan menjamin bahwa visi, misi, tujuan, sasaran, program serta kegiatan dapat terlaksana dan mencapai hasil dengan baik. Dalam implementasinya pengendalian internal pada hakekatnya adalah segala upaya yang dilakukan dalam suatu organisasi untuk mengarahkan seluruh kegiatan agar tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif, efisien dan ekonomis, segala sumber daya dimanfaatkan dan dilindungi, data dan informasi serta laporan dapat dipercaya dan disajikan secara wajar, serta ditaatinya segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Kebijakan Sistem Pengenalian Intern

Beberapa kebijakan yang terkait dengan upaya optimalisasi pengelolaan keuangan negara secara transparan dan akuntabel tersebut, serta terkait dengan sistem pengendalian intern antara lain adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dimana dalam Pasal 58 Ayat (1) dijelaskan bahwa ”dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah secara menyeluruh”.

Selanjutnya dalam Pasal 33 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, menyebutkan bahwa ”untuk meningkatkan keandalan laporan keuangan dan kinerja, setiap entitas pelaporan dan akuntansi wajib menyelenggarakan sistem pengendalian intern sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait”.

Sesungguhnya sejak tahun 2004 pemerintah telah menerbitkan kebijakan pada tataran teknis yang terkait dengan pelaksanaan pengendalian intern, yaitu Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/46/M.PAN/4/2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Melekat, yang menurut keputusan tersebut merupakan padanan istilah pengendalian intern. Dalam pedoman tersebut disebutkan beberapa aspek pengendalian intern, meliputi: (!) pengorganisasian; (2) personil; (3) kebijakan; (4) perencanaan; (5) prosedur; (6) pencatatan; (7) pelaporan; dan (8) supervisi dan review intern.

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 134 Ayat (1) menyebutkan bahwa ”dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, kepala daerah mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan daerah yang dipimpinnya; dan Ayat (2) menyatakan bahwa pengaturan dan penyelenggaraan sistem pengendalian intern berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sebagai tindaklanjut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tersebut di atas, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Terkait dengan pelaksanaan SPI, Pasal 313 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 menyatakan bahwa: (1) dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, kepala daerah mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah daerah yang dipimpinnya; (2) pengendalian intern merupakan proses yang dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai mengenai pencapaian tujuan pemerintah daerah yang tercermin dari keandalan laporan keuangan, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan program dan kegiatan serta dipatuhinya peraturan perundang-undangan; serta (3) pengendalian intern sekurang-kurangnya memenuhi kriteria sebagai berikut: (a) terciptaya lingkungan pengendalian yang sehat; (b) terselenggaranya penilaian risiko; dan (c) terselenggaranya aktivitas pengendalian.

Selanjutnya kebijakan yang secara khusus mengatur tentang penyelenggaraan sistem pengendalian intern adalah Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Dalam PP Nomor 60 Tahun 2008 tersebut antara lain mengatur mengenai: (1) ketentuan umum; (2) unsur sistem pengendalian intern; dan (3) penguatan efektivitas penyelenggaraan sistem pengendalian intern pemerintah.

Konsepsi Sistem Pengenalian Intern

Di dalam wacana pengawasan intern yang berkembang dewasa ini, pengendalian intern telah ditempatkan pada fokus perhatian pengawasan intern. Hal tersebut tampak dari definisi pengawasan intern sebagai suatu kegiatan pengujian yang obyektif dalam rangka peningkatan kinerja organisasi dan pemberian rekomendasi yang independent untuk meningkatkan efektivitas operasionalisasi organisasi dengan cara meningkatkan efektivitas manajemen risiko, pengendalian, dan proses governance.

Jadi pengembangan dan pengujian atas keandalan pengendalian intern merupakan bagian tugas yang seharusnya menjadi prioritas bagi para pengawas intern. Bahkan setelah dikembangkan konsep struktur pengendalian intern oleh apa yang dikenal sebagai Commission of Sponsoring Organization on treadway (COSO), kepedulian besar pengawas intern terhadap keandalan pengendalian intern merupakan penanda dari pergeseran paradigma pengawas intern dari yang bercitra sebagai ”watchdog” menjadi yang bercitra pembantu manajemen untuk mencapai kinerja yang bermutu (quality assurance). Berdasarkan konsep COSO, sistem pengendalian intern melingkup beberapa komponen yang saling terkait sebagai berikut: (a) lingkungan pengendalian (control environment); (b) penilaian/penaksiran risiko (risk assesment); (c) aktivitas pengendalian (control activities); (d) informasi dan komunikasi (information and communication) ; serta (e) monitoring.

Adapun mengenai definisi sistem pengendalian intern, dalam Understanding Internal Control dari Office of Financial Management, State of Michigan, (t.th.) disebutkan bahwa pengendalian intern merupakan tanggungjawab setiap orang dalam organisasi. Pengendalian intern yang efektif merupakan built in part dalam proses manajemen, yang meliputi: perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian. Pengendalian intern menjaga organisasi tetap pada jalur pencapaian misi, dan meminimalisir berbagai penyimpangan dan secara operasional mendorong efektivitas dan efisiensi, mengurangi kerugian-kerugian, memastikannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta memastikan reliabilitas pelaporan keuangan.

Selanjutnya The Rutteman Report, UK (1994), mendefinisikan sistem pengendalian intern sebagai suatu keseluruhan sistem pengendalian, keuangan dan non keuangan, yang dibentuk dalam rangka menyediakan keyakinan yang layak mengenai: (a) efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan operasional; (b) pengendalian keuangan internal; dan (c) kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Definisi sistem pengendalian intern menurut Pasal 1 butir (1) PP Nomor 60 Tahun 2008 adalah” proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan”.

Sedangkan Pasal 1 butir (2) menyebutkan bahwa “Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang selanjutnya disingkat SPIP, adalah Sistem Pengendalian Intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah”. Selanjutnya dalam penjelasan PP 60 tahun 2008 disebutkan bahwa unsur sistem pengendalian intern dalam Peraturan Pemerintah ini mengacu pada unsur sistem pengendalian intern yang telah dipraktikkan di lingkungan pemerintahan di berbagai negara, yang meliputi:

a. Lingkungan pengendalian;
Pimpinan Instansi Pemerintah dan seluruh pegawai harus menciptakan dan memelihara lingkungan dalam keseluruhan organisasi yang menimbulkan perilaku positif dan mendukung terhadap pengendalian intern dan manajemen yang sehat.

b. Penilaian risiko;
Pengendalian intern harus memberikan penilaian atas risiko yang dihadapi unit organisasi baik dari luar maupun dari dalam.

c. Kegiatan pengendalian;
Kegiatan pengendalian membantu memastikan bahwa arahan pimpinan Instansi Pemerintah dilaksanakan. Kegiatan pengendalian harus efisien dan efektif dalam pencapaian tujuan organisasi.

d. Informasi dan komunikasi;
Informasi harus dicatat dan dilaporkan kepada pimpinan Instansi Pemerintah dan pihak lain yang ditentukan. Informasi disajikan dalam suatu bentuk dan sarana tertentu serta tepat waktu sehingga memungkinkan pimpinan Instansi Pemerintah melaksanakan pengendalian dan tanggung jawabnya.

e. Pemantauan;
Pemantauan harus dapat menilai kualitas kinerja dari waktu ke waktu dan memastikan bahwa rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya dapat segera ditindaklanjuti. Untuk memperkuat dan menunjang efektivitas penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern dilakukan pengawasan intern dan pembinaan penyelenggaraan SPIP.

Pengawasan intern merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengendalian intern yang berfungsi melakukan penilaian independen atas pelaksanaan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. Lingkup pengaturan pengawasan intern mencakup kelembagaan, lingkup tugas, kompetensi sumber daya manusia, kode etik, standar audit, pelaporan, dan telaahan sejawat. Pembinaan penyelenggaraan SPIP meliputi penyusunan pedoman teknis penyelenggaraan, sosialisasi, pendidikan dan pelatihan, dan pembimbingan dan konsultansi SPIP, serta peningkatan kompetensi auditor aparat pengawasan intern pemerintah.


Implementasi Sistem Pengendalian Intern Menuntut Komitmen dan Peran Aktif Kepemimpinan Sektor Publik

Secara konseptual implementasi sistem pengendalian intern menuntut adanya komitmen dan peran aktif para pimpinan publik pada setiap level dan tingkatan organisasi. Kepemimpinan publik mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi sektor publik. Kepemimpinan sektor publik pada dasarnya ada di semua tingkat pemerintahan yang bersifat sistemik dan institusional. Sistemik artinya terkait dengan banyak orang yang bekerja berdasarkan suatu sistem dan pada suatu tingkatan tertentu dalam hierarkhi pemerintahan. Sedangkan institusional artinya melibatkan banyak orang dalam kepemimpinan tersebut dan masing-masing memiliki posisi dalam institusi tersebut. Oleh karena itu kepemimpinan sektor publik mempunyai keterkaitan yang sangat erat dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Sehingga pemimpin di sektor publik haruslah memiliki kemampuan untuk menciptakan suatu kerjasama di antara sistem yang ada dalam suatu pemerintahan (Andi Gani : 2005).

Berkaitan dengan peran kepemimpinan sektor publik, Veithzal Rivai (2004) menyatakan bahwa peran kepemimpinan dapat diartikan sebagai seperangkat perilaku yang diharapkan dilakukan oleh seseorang dengan kedudukan sebagai pemimpin. Dari perspektif manajemen stratejik, peran kepemimpinan sektor publik dibagi ke dalam 3 (tiga) bagian, yaitu: (a) Pathfinding, yaitu peran untuk menentukan visi dan misi organisasi yang pasti; (b) Aligning, yaitu peran untuk memastikan bahwa struktur, sistem dan proses operasional organisasi memberikan dukungan pada pencapaian visi dan misi; serta (c) Empowering, yaitu peran untuk menggerakkan semangat dalam diri orang-orang dalam mengekpresikan bakat, kecerdikan dan kreativitas untuk mampu mengerjakan apapun dan konsisten dengan prinsip-prinsip yang disepakati.

Mengingat faktor pentingnya peran kepemimpinan dalam peningkatan kinerja organisasi sebagaimana telah disebutkan di atas, maka implementasi sistem pengendalian internal sangat membutuhkan komitment dan peran aktif pemimpin pada setiap level kepemimpinan. Oleh karena penerapan pengendalian intern yang efektif pada hakekatnya merupakan built in part dalam proses manajemen, yang meliputi: perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian. Disamping itu keberhasilan pengawasan terhadap program-program pembangunan tidak hanya menjadi tanggungjawab lembaga-lembaga pengawasan yang secara formal mempunyai kewenangan dan tanggungjawab dalam bidang pengawasan, akan tetapi juga peran pimpinan dalam melaksanakan pengendalian internal di lingkungan instansi pemerintah.

Berkaitan dengan adanya tuntutan komitmen, peran dan tanggungjawab pimpinan dalam implementasi sistem pengendalian intern tersebut, Pasal 4 PP 60 Tahun 2008 menyatakan bahwa Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menciptakan dan memelihara lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif dalam lingkungan kerjanya, melalui: (1) penegakan integritas dan nilai etika; (2) komitmen terhadap kompetensi; (3) kepemimpinan yang kondusif; (4) pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan; (5) pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat; (6) penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia; (7) perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif; dan (8) hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait.

Sedangkan terkait dengan substansi pengendalian, Pasal 18 Ayat (1) menyebutkan bahwa pimpinan Instansi Pemerintah wajib menyelenggarakan kegiatan pengendalian sesuai dengan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah yang bersangkutan. Pada Ayat (2) disebutkan pula bahwa penyelenggaraan kegiatan pengendalian tersebut sekurang-kurangnya memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) kegiatan pengendalian diutamakan pada kegiatan pokok Instansi Pemerintah; (b) kegiatan pengendalian harus dikaitkan dengan proses penilaian risiko; (c) kegiatan pengendalian yang dipilih disesuaikan dengan sifat khusus Instansi Pemerintah; (d) kebijakan dan prosedur harus ditetapkan secara tertulis; (e) prosedur yang telah ditetapkan harus dilaksanakan sesuai yang ditetapkan secara tertulis; dan (f) kegiatan pengendalian dievaluasi secara teratur untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut masih sesuai dan berfungsi seperti yang diharapkan.


Selanjutnya pada Ayat (3) menyebutkan bahwa kegiatan pengendalian meliputi: (1) reviu atas kinerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan; (2) pembinaan sumber daya manusia; (3) pengendalian atas pengelolaan sistem informasi; (4) pengendalian fisik atas aset; (5) penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja; (6) pemisahan fungsi; (7) otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting; (8) pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian; (9) pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya; (10) akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya; dan (11) dokumentasi yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian penting.

Terkait dengan Pasal 18 Ayat (3) butir (2) pimpinan instansi pemerintah wajib melakukan pembinaan sumber daya manusia. Dalam melakukan pembinaan sumber daya manusia, pimpinan instansi pemerintah harus sekurang-kurangnya: (a) mengkomunikasikan visi, misi, tujuan, nilai, dan strategi instansi kepada pegawai; (b) membuat strategi perencanaan dan pembinaan sumber daya manusia yang mendukung pencapaian visi dan misi; dan (c) membuat uraian jabatan, prosedur rekrutmen, program pendidikan dan pelatihan pegawai, sistem kompensasi, program kesejahteraan dan fasilitas pegawai, ketentuan disiplin pegawai, sistem penilaian kinerja, serta rencana pengembangan karir.

Dari beberapa ketentuan mengenai implementasi sistem pengendalian intern pemerintah sebagaimana telah disebutkan diatas, maka pengendalian internal pada hakekatnya merupakan fungsi manajemen yang harus dijalankan oleh setiap pimpinan. Dengan terselenggaranya aktivitas pengendalian internal, maka instansi pemerintah diyakini akan dapat: (a) mencegah dan mendeteksi terjadinya korupsi; (b) mendeteksi dan mengungkapkan fakta serta menindaklanjuti penyimpangan; (c) meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan; serta (d) meningkatkan kinerja individu dan organisasi secara signifikan.


Penutup

Dengan telah dikelurkannya Perturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), maka implementasi sistem pengendalian intern telah memiliki landasan hukum yang kuat serta telah terpenuhinya ketentuan Pasal 58 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menyatakan bahwa ”sistem pengendalian intern ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”. Dengan demikian, Presiden selaku Kepala Pemerintahan dapat mengatur dan menyelenggarakan pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh.

Selanjutnya dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, dengan telah ditetapkannya Perturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), Gubernur dan Bupati/Walikota selaku Kepala Daerah dapat mengatur dan menyelenggarakan pengendalian intern di lingkungan pemerintahan daerah masing-masing secara menyeluruh.



Daftar Pustaka

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara.

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/46/M.PAN/4/2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Melekat.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Lembaga Administrasi Negara, Evaluasi Kebijakan Pengawasan Internal dan Eksternal: Sistem Pengendalian Internal, Jakarta, 2006.


Andi Gani, Kepemimpinan Sektor Publik Dalam Perspektif Tindakan Kolektif (Collective Action), PPS UNIBRAW Malang, 2005.

Rivai, Veithzal, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004.

http://www.coso/ Internal Control Framework Resources, 2008.

Www. The Rutteman Report, The Rutteman Working Group, UK, 1994.

State of Michigan (t.th.),. Understanding Internal Control, Office of Financial Management.

UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK: MELALUI KEBIJAKAN BADAN LAYANAN UMUM (BLU)

Oleh: Marsono *)
Pendahuluan

Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan upaya negara untuk memenuhi kebutuhan dasar dari hak-hak setiap warga negara atas barang, jasa, dan pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Terkait dengan pelayanan publik dimaksud, Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan kepada negara untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara demi kesejahteraannya, sehingga efektivitas penyelenggaraan suatu pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan pelayanan publik.
Disadari bahwa kondisi penyelenggaraan pelayanan publik saat ini masih dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Hal ini terlihat dari masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara langsung maupun melalui media massa, terkait dengan prosedur yang berbelit-belit, tidak ada kepastian jangka waktu, biaya yang harus dikeluarkan, persyaratan yang tidak transparan, petugas yang tidak profesional, sehingga menimbulkan citra yang kurang baik terhadap pemerintah.
Sejalan dengan langkah-langkah revitalisasi BUMN, maka dalam rangka mengurangi birokrasi dan sekaligus meningkatkan kualitas layanan pemerintah kepada masyarakat, pemerintah telah mengembangkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagai tindaklanjut Pasal 69 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum tersebut, pada hakekatnya adalah merupakan bagian paket reformasi di bidang keuangan negara. Salah satu dari reformasi yang paling menonjol adalah pergeseran dari pengganggaran tradisional ke penganggaran berbasis kinerja. Dengan berbasis kinerja ini, mulai dirintis arah yang jelas bagi penggunaan dana pemerintah, berpindah dari sekedar membiayai masukan (inputs) atau proses ke pembayaran terhadap apa yang akan dihasilkan (outputs). Orientasi pada outputs semakin menjadi praktik yang dianut luas oleh pemerintahan modern di berbagai negara. Mewiraswastakan pemerintah (enterprising the government) adalah paradigma yang memberi arah yang tepat bagi keuangan sektor publik. Dalam kaitan ini, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menekankan basis kinerja dalam penganggaran, memberi landasan yang penting bagi orientasi baru tersebut di Indonesia.
_______________________________________________________________________________________________
*) Ahli Peneliti Madya Pada Pusat Kajian Manajemen Pelayanan LAN

Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara membuka koridor baru bagi penerapan basis kinerja ini di lingkungan pemerintah. Dengan Pasal 68 dan Pasal 69 dari undang-undang tersebut, instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Dengan pola pengelolaan keuangan BLU, fleksibilitas diberikan dalam rangka pelaksanaan anggaran, termasuk pengelolaan pendapatan dan belanja, pengelolaan kas, dan pengadaan barang/jasa. Kepada BLU juga diberikan kesempatan untuk mempekerjakan tenaga profesional non PNS serta kesempatan pemberian imbalan jasa kepada pegawai sesuai dengan kontribusinya. Tetapi sebagai pengimbang, BLU dikendalikan secara ketat da-
lam perencanaan dan penganggarannya, serta dalam pertanggungja-wabannya. Dalam Peraturan Pemerintah ini, BLU wajib menghitung harga pokok dari layanannya dengan kualitas dan kuantitas yang distandarkan oleh menteri teknis pembina. Demikian pula dalam pertanggungjawabannya, BLU harus mampu menghitung dan menyajikan anggaran yang digunakannya dalam kaitannya dengan layanan yang telah direalisasikan. Oleh karena itu, BLU berperan sebagai agen dari menteri/pimpinan lembaga induknya. Kedua belah pihak menandatangani kontrak kinerja (a contractual performance agreement), di mana menteri/pimpinan lembaga induk bertanggung jawab atas kebijakan layanan yang hendak dihasilkan, dan BLU bertanggung jawab untuk menyajikan layanan yang diminta.
Melalui tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa hal berkaitan dengan Badan Layanan Umum (BLU), yaitu: (1) Kebijakan terkait dengan Badan Layanan Umum; (2) Konsepsi Badan Layanan Umum; (3) Implementasi pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum; (4) Pengelolaan Asset / Barang Inventaris BLU; (5) serta Beberapa kendala penerapan Badan Layanan Umum.

Kebijakan Terkait dengan Badan Layanan Umum

Pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) secara umum telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, khususnya Pasal 68 dan Pasal 69. Pasal 68 Ayat (1) menyebutkan bahwa Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Selanjutnya Pasal 69 Ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa setiap Badan Layanan Umum wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan. Selanjutnya Ayat (2) menyebutkan bahwa Rencana Kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementerian Negara/Lembaga/Pemerintah Daerah.
Selanjutnya untuk melaksanakan ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tersebut, pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, yang secara khusus mengatur mengenai tujuan, asas, persyaratan, penetapan dan pencabutan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU), penentuan standar dan tarif layanan, pengelolaan kepegawaian serta pengaturan mengenai remunerasi bagi pengalola Badan Layanan Umum.
Terkait dengan pembentukan Badan Layanan Umum, sebagai kebijakan teknis operasional Menteri Keuangan telah mengeluarkan 4 (empat) Peraturan Menteri Keuangan, yaitu: (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Persyaratan Administratif Dalam Rangka Pengusulan Dan Penetapan Satuan Kerja Instansi Pemerintah Untuk Menertapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum; (2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tentang Kewenangan Pengadaan Barang/Jasa Pada Badan Layanan Umum; serta (3) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pembentukan Dewan Pengawas Pada Badan Layanan Umum; serta (4) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Pedoman Penetapan Remunerasi Bagi Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas dan Pegawai Badan Layanan Umum.
Dalam konteks pembentukan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dimana dalam Pasal 1 butir 63 disebutkan bahwa Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah SKPD/unit kerja pada SKPD di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Selanjutnya terkait dengan pembentukan BULD, Pasal 146 menyatakan bahwa pemerintah daerah dapat membentuk BULD untuk: (a) menyediakan barang dan/atau jasa untuk layanan umum dan (b) mengelola dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat.
Sebagai tindaklanjut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah tersebut, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Permendagri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dimana pada Pasal 325 disebutkan bahwa BULD dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Selanjutnya Pasal 326 Ayat (1) menyebutkan bahwa Pembinaan keuangan BULD dilakukan oleh PPKD dan pembinaan teknis dilakukan oleh Kepala SKPD yang bertanggung jawab atas urusan pemerintahan yang bersangkutan. Lebih lanjut pada Pasal 329 disebutkan bahwa pedoman teknis mengenai pengelolaan keuangan BULD diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri setelah memperoleh pertimbangan Menteri Keuangan.


Konsepsi Badan Layanan Umum

Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum disebutkan bahwa Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut BLU, adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Selanjutnya disebutkan bahwa BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan. BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah dan karenanya status hukum BLU tidak terpisah dari kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah sebagai instansi induk.
Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa BLU adalah merupakan salah satu alat /instrumen untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik melalui penerapan manajemen keuangan berbasis pada hasil, dan bukanlah semata-mata sarana untuk mengejar fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan. Sehingga untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat/publik dengan tarif/ harga layanan yang terjangkau masyarakat, dengan kualitas layanan yang baik, cepat, efisien dan efektif diharapkan dapat dicapai melalui pengelolaan keuangan yang fleksibel berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat.
Selanjutnya bagaimana suatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan dengan PPK-BLU. Ada beberapa persyaratan bagi satuan kerja instansi pemerintah untuk dapat diizinkan mengelola keuangan dengan PPK-BLU, yaitu apabila memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif.
Persyaratan substantif, yaitu apabila instansi pemerintah yang bersangkutan menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan: (a) penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum; (b) pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau (c) pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat.
Persyaratan teknis, yaitu antara lain meliputi: (a) kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana direkomendasikan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya; dan (b) kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU.
Persyaratan administratif, yaitu berupa: (a) pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat; (b) pola tata kelola; (c) rencana strategis bisnis; (d) laporan keuangan pokok; (e) standar pelayanan minimum; dan (f) laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.
Untuk menjamin keberhasilan BLU, maka operasionalisasi BLU harus tetap mengacu kepada: (a) standar layanan; (b) tarif layanan; dan (c) akuntabilitas kinerja. Terkait dengan standar layanan, maka instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU harus menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembara/guber-nur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Di samping itu standar pelayanan minimum harus pula mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan.
Sedangkan yang terkait dengan tarif layanan, yaitu bahwa BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan. Imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan tersebut, harus ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Dalam penetapan tarif layanan mempertimbangkan: (a) kontinuitas dan pengembang-an layanan; (b) daya beli masyarakat; (c) asas keadilan dan kepatutan; dan (d) kompetisi yang sehat.
Adapun yang berkaitan dengan akuntabilitas kinerja, maka pimpinan BLU harus bertanggungjawab terhadap kinerja operasional BLU sesuai dengan tolok ukur yang ditetapkan dalam RBA dan melaporkan kinerja operasional BLU secara terintegrasi dengan laporan keuangan.

Impelementasi Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum

Pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya.
Disamping itu juga ada beberapa bentuk keistimewaan/privilese atau pengecualian dalam hal fleksibilitas pengelolaan keuangan BLU Bertahap, antara lain sama dengan BLU penuh, terkecuali dalam hal: (a) Penggunaan langsung PNBP secara penuh. Karena besaran persentase PNBP yang dapat digunakan langsung adalah sebesar persentase maksimum yang ditetapkan dalam KMK penetapan satker untuk menerapkan PK BLU; (b) Pengelolaan Investasi; (c) Pengelolaan Utang; dan (d) Pengadaan barang/jasa.
Pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum secara garis besar sebagai berikut:
Pertama. Perencanaan dan Penganggaran. Untuk menyusun rencana keuangan, BLU menyusun rencana strategis bisnis lima tahunan dengan mengacu kepada Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL) atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Selanjutnya BLU menyusun Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) BLU tahunan, dalam bentuk dokumen perencanaan bisnis dan penganggaran yang berisi program, kegiatan, target kinerja, dan anggaran suatu BLU dengan mengacu kepada rencana strategis bisnis yang telah ditetapkan. RBA BLU disusun berdasarkan kebutuhan dan kemampuan pendapatan yang diperkirakan akan diterima dari masyarakat, badan lain, dan APBN/APBD.
Kedua. Tahap selanjutnya BLU mengajukan RBA kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD untuk dibahas sebagai bagian dari RKA-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD disertai dengan usulan standar pelayanan minimum dan biaya dari keluaran yang akan dihasilkan.
Ketiga. RBA BLU yang telah disetujui oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD selanjutnya diajukan kepada Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, sebagai bagian RKA-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD.
Keempat. Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, mengkaji kembali standar biaya dan anggaran BLU dalam rangka pemrosesan RKA-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD sebagai bagian dari mekanisme pengajuan dan penetapan APBN/APBD. BLU menggunakan APBN/APBD yang telah ditetapkan sebagai dasar penyesuaian terhadap RBA menjadi RBA definitif.
Kelima. Pelaksanaan Anggaran. RBA BLU definitif digunakan sebagai acuan dalam menyusun dokumen pelaksanaan anggaran BLU untuk diajukan kepada Menteri Keuangan/PPKD sesuai dengan kewenangannya. Dokumen pelaksanaan anggaran BLU paling sedikit mencakup seluruh pendapatan dan belanja, proyeksi arus kas, serta jumlah dan kualitas jasa dan/atau barang yang akan dihasilkan oleh BLU. Menteri Keuangan/PPKD mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran BLU paling lambat tanggal 31 Desember menjelang awal tahun anggaran. Dalam hal dokumen pelaksanaan anggaran BLU belum disahkan oleh Menteri Keuangan/PPKD, BLU dapat melakukan pengeluaran paling tinggi sebesar angka dokumen pelaksanaan anggaran tahun lalu. Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan/PPKD menjadi lampiran dari perjanjian kinerja yang ditandatangani oleh menteri/pimpinan lembara/gubernur/bupati/walikota dengan pimpinan BLU yang bersangkutan. Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan/PPKD, menjadi dasar bagi penarikan dana yang bersumber dari APBN/APBD oleh BLU.
Keenam. Pendapatan BLU. Penerimaan anggaran yang bersumber dari APBN/APBD diberlakukan sebagai pendapatan BLU. Sedangkan pendapatan yang diperoleh dari jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat dan hibah tidak terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan pendapatan operasional BLU. Kedua jenis pendapatan tersebut dilaporkan sebagai pendapatan negara bukan pajak kementerian/lembaga atau pendapatan bukan pajak pemerintah daerah.
Ketujuh. Belanja BLU. Belanja BLU terdiri dari unsur biaya yang sesuai dengan struktur biaya yang dituangkan dalam RBA definitif. Pengelolaan belanja BLU diselenggarakan secara fleksibel berdasarkan kesetaraan antara volume kegiatan pelayanan dengan jumlah pengeluaran, mengikuti praktek bisnis yang sehat. Belanja BLU dilaporkan sebagai belanja barang dan jasa kementerian negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.
Kedelapan. Pengelolaan Kas BLU. Pengelolaan kas BLU dilaksanakan berdasarkan praktek bisnis yang sehat. Dalam mengelola kas, BLU menyelenggarakan hal-hal sebagai berikut: (a) merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas; (b) melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan; (c) menyimpan kas dan mengelola rekening bank; (d) melakukan pembayaran; (e) mendapatkan sumber dana untuk menutup defisit jangka pendek; dan (f) memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan.
Kesembilan. Investasi BLU. LU tidak dapat melakukan investasi jangka panjang, kecuali atas persetujuan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Keuntungan yang diperoleh dari investasi jangka panjang merupakan pendapatan BLU.


Pengelolaan Asset / Barang Inventaris BLU

Pengelolaan barang oleh BLU dilakukan berdasarkan prinsip efisiensi dan ekonomis, sesuai dengan praktek bisnis yang sehat. Barang inventaris milik BLU dapat dialihkan kepada pihak lain dan/atau dihapuskan berdasarkan pertimbangan ekonomis. Pengalihan kepada pihak lain dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, atau dihibahkan. Penerimaan hasil penjualan barang inventaris tersebut merupakan pendapatan BLU. Pengalihan dan/atau penghapusan barang inventaris dilaporkan kepada menteri/ pimpinan lembaga/kepala SKPD terkait. BLU tidak dapat mengalihkan dan/atau menghapus aset tetap, kecuali atas persetujuan pejabat yang berwenang. Kewenangan pengalihan dan/atau penghapusan aset tetap tersebut diselenggarakan berdasarkan jenjang nilai dan jenis barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penerimaan hasil penjualan aset tetap sebagai akibat dari pengalihan merupakan pendapatan BLU. Pengalihan dan/atau penghapusan aset tetap dilaporkan kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD terkait. Penggunaan aset tetap untuk kegiatan yang tidak terkait langsung dengan tugas pokok dan fungsi BLU harus mendapat persetujuan pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Beberapa Kendala Penerapan Badan Layanan Umum

Sejak diberlakukannnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang mendasari dibentuknya Badan Layanan Umum, diketahui bahwa hingga saat ini pembentukan unit BLU oleh instansi pemerintah baik pusat maupun daerah masih relatif rendah. Tidak dapat dipungkiri bahwa unit-unit BLU maupun BLUD yang ada saat ini sebagian besar masih didominasi oleh jenis pelayanan dibidang kesehatan, khususnya Rumah Sakit Umum Pusat maupun Rumah Sakit Umum Daerah. Sedangkan pada jenis layanan lainnya masih relatif sangat kecil. Namun demikian, seiring dengan tuntuan kualitas pelayanan, beberapa BLU maupun BLUD di bidang jasa transportasi telah dibentuk, seperti misalnya BLU Transjakarta Busway di Jakarta.
Beberapa kendala terkait dengan pelaksanaan Badan Layanan Umum antara lain meliputi : (1) usulan penetapan BLU berbelit-belit dan lama; (2) terkait dengan SDM; dan (3) adanya Dewan Pengawas.
Persyaratan pengajuan usul satker menjadi satker yang menerapkan PK BLU, memang telah diatur secara jelas dalam PP No. 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum maupun dalam PMK No. 7 tahun 2006 tentang Persyaratan Administratif Dalam Rangka Pengusulan dan Penetapan Satuan Kerja Instansi Pemerintah untuk menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Dalam pasal 5 ayat (7) PP No. 23 tahun 2005 juga dinyatakan bahwa Menteri Keuangan/Gubernur/Bupati/Walikota, sesuai kewenangannya, memberi keputusan penetapan atau surat penolakan terhadap usulan penetapan BLU paling lambat 3 (tiga) bulan sejak diterima dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD dan untuk usulan instansi di lingkungan pemerintah pusat ditegaskan pula dalam PMK No. 7 tahun 2006 pasal 13 ayat (1) usulan tersebut diterima lengkap dari Menteri Pimpinan Lembaga. Namun dalam praktiknya masih banyak pihak yang mengeluhkan bahwa usulan penetapan BLU berbelit-belit dan memakan waktu yang cukup lama.
Sedangkan berkaitan dengan tenaga BLU yang non Pegawai Negeri Sipil (PNS) bagaimana aturannya, mengingat pejabat dan pegawai Badan Layanan Umum (BLU) dapat berasal dari PNS dan/atau tenaga profesional non PNS. Sedangkan statusnya bisa kontrak atau tetap (Pasal 33 PP No. 23 Tahun 2005). Sementara pengisian tenaga profesional non PNS dilaksanakan sesuai dengan Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa berdasarkan Peraturan Menpan (Permenpan) No. 02 Tahun 2007 Tentang Pedoman Organisasi BLU. Disamping itu, berkaitan dengan organisasi BLU hingga saat ini Kementerian PAN tidak memberikan penjelasan yang memadai terhadap keluarnya Permenpan No. 02 Tahun 2007 tersebut. Sementara BKN juga sampai saat ini belum mengeluarkan kebijakan terkait dengan pengisian tenaga profesional yang berasal dari PNS. Kenyataannya bahwa reformasi birokrasi dengan semangat kewirausahaan di instansi pemerintah, belum diikuti dengan konsep yang jelas. Misalnya terkait dengan bagaimana pengadaan, hak pegawai, jaminan sosial, pola karier, dan lain sebagainya. Disamping itu, keharusan untuk membentuk Dewan Pengawas terkait dengan pembinaan dan pengawasan terhadap BLU, juga menjadi beban tersendiri bagi BLU mengingat pengawasan terkait dengan operasionalisasi dan pengelolaan keuangan BLU juga harus diperiksa oleh lembaga pemeriksa ekstern sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Penutup

Penerapan kebijakan Badan Layanan Umum (BLU) pada hakekatnya merupakan upaya pemerintah untuk mewirausahakan penyelenggaraan pemerintahan khususnya di bidang pelayanan publik. Beberapa dukungan kebijakan terhadap penerapan BLU tersebut pada dasarnya sudah cukup memadai, namun demikian perkembangan pembentukan BLU di unit-unit pelayanan publik relatif lambat. Kelambatan pembentukan BLU di unit-unit pelayanan publik sampai saat ini, tidak terlepas dari beberapa kendala teknis yang antara lain meliputi: (1) usulan penetapan BLU yang masih berbelit-belit dan lama; (2) terkait dengan SDM pengelola BLU; dan (3) keharusan dalam pembentukan Dewan Pengawas BLU. Ini semua menjadi bahan evaluasi terhadap upaya peningkatan kualitas pelayanan publik yang secara terus-menerus dilakukan pemerintah untuk dapat memberikan pelayanan yang cepat, tepat dan biaya yang murah kepada seluruh lapisan masyarakat.











Daftar Pustaka

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Persyaratan Administratif Dalam Rangka Pengusulan Dan Penetapan Satuan Kerja Instansi Pemerintah Untuk Menertapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tentang Kewenangan Pengadaan Barang/Jasa Pada Badan Layanan Umum.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pembentukan Dewan Pengawas Pada Badan Layanan Umum.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Pedoman Penetapan Remunerasi Bagi Pejabat Pengelola, Dewan Penga-was dan Pegawai Badan Layanan Umum.
Permendagri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
http://masarie.wordpress.com/2007/12/10/tenaga BLU non PNS: Bagaimana Aturannya.







PENGEMBANGAN MANAJEMEN KINERJA INDIVIDUAL

Manajemen kinerja individual merupakan satu kesatuan dari manajemen kinerja organisasi secara keseluruhan. Artinya bahwa kinerja organisasi dicapai melalui sinergi/penggabungan dari berbagai pencapaian kinerja individual dalam unit organisasi tersebut. Untuk itu, maka kinerja individual ditetapkan atas dasar Rencana Kinerja Tahunan (RKT) Unit Kerja yang diturunkan dari Rencana Kinerja Tahunan (RKT) Organisasi. Sedangkan Rencana Kinerja Tahunan (RKT) Organisasi diturunkan dari Inisiatif Stratejik. Inisiatif stratejik disusun dengan mengacu kepada Peta Stratejik, faktor-faktor kritis penentu keberhasilan, dan diukur keberhasilannya menggunakan Indikator Kinerja Utama (IKU).

Dalam implementasinya keterkaitan antara kinerja individual dengan kinerja organisasi sesungguhnya dimulai dari Rencana Kinerja Tahunan (RKT) unit kerja, mengingat Rencana Kinerja Individual pada hakekatnya diturunkan dari RKT unit kerja. Dalam prosesnya sebagai berikut:

Rencana Kinerja Tahunan Unit

Rencana kinerja tahunan unit adalah merupakan proses penetapan kegiatan tahunan dan indikator kinerja unit berdasarkan program, kebijakan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam rencana strategik. Rencana kinerja tahunan unit disusun berdasarkan Rencana kinerja tahunan organisasi.

Rencana Kinerja Individual

Rencana kinerja tahunan individual ditetapkan atas dasar rencana kinerja tahunan unit kerja. Pada tahapan ini unit kerja harus menetapkan kriteria kinerja, target kinerja, dan indikator kinerja sebagai bentuk kontrak kinerja atau komitmen kinerja.

Contoh rencana kinerja tahunan individual sebagaimana pada formulir berikut:

RENCANA KINERJA TAHUNAN INDIVIDUAL
Nama:
Unit :
Sasaran

Kegiatan

Uraian
Indikator
Rencana
Capaian
%
Program
Uraian
Indikator Kinerja
Satuan
Rencana Tingkat Capaian
Keterangan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)



Penetapan Kinerja Individual

Penetapan target-target individual pegawai diturunkan dari target-target unit kerja yang telah disusun pada tahapan sebelumnya. Dengan cara ini, target-target yang ditetapkan untuk individual akan berkorelasi dengan target-target unit kerja dan bahkan organisasi secara keseluruhan.
Penetapan target dilakukan dengan proses dua arah antara bawahan dan atasan, artinya bahwa ada komunikasi yang baik dalam menetapkan target-target. Jika seorang pegawai tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk memenuhi target yang telah ditetapkan unit kerja, maka unit kerja wajib untuk memberikan kesempatan bagi pegawai untuk menyesuaikan target-targetnya atau memberikan kesempatan bagi pegawai dimaksud untuk melakukan pengembangan diri melalui training-training yang disediakan oleh organisasi. Penetapan target-target individual dirumuskan dalam satu bentuk format perjanjian kinerja tertentu yang ditetapkan oleh organisasi.
Contoh Penetapan Kinerja Individual sebagaimana pada Formulir berikut:


PENETAPAN KINERJA INDIVIDUAL
Nama:
Unit :
No.
Program Utama
Sasaran
Indikator Kinerja Output
Indikator Kinerja Outcome
Anggaran
(Rp)
Uraian
Target
Uraian
Target
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)



Menyusun Standar Kinerja Individual

Sebuah standar kinerja individual, minimal harus berisi dua jenis informasi dasar tentang apa yang harus dilakukan dan seberapa baik harus melakukannya. Standar kinerja individual merupakan identifikasi tugas pekerjaan, kewajiban, dan elemen kritis yang menggambarkan apa yang harus dilakukan. Standar kinerja terfokus pada seberapa baik tugas akan dilaksanakan. Agar standar kinerja berdaya guna, setiap standar/kriteria harus dinyatakan secara cukup jelas sehingga pimpinan dan bawahan mengetahui apa yang diharapkan dan apakah telah tercapai atau tidak. Standar haruslah dinyatakan secara tertulis dalam upaya menggambarkan kinerja yang sungguh-sungguh memuaskan untuk tugas yang kritis maupun yang tidak kritis.
Penetapan disain pengembangan pegawai.

Untuk keperluan pencapaian target organisasi, maka organisasi instansi pemerintah juga harus menyusun rencana dan disain pendidikan dan pelatihan bagi pegawai-pegawainya dalam rangka memenuhi kebutuhan kompetensi pegawai yang diperlukan dalam rangka mewujudkan target-targetnya. Setelah inisiatif ditetapkan, seluruh unit harus menetapkan pula kebutuhan kompetensi pegawai yang diperlukan dan kompetensi pegawai yang mereka miliki, sehingga dapat diperoleh informasi mengenai kesenjangan kompetensi yang seharusnya diisi melalui pelatihan-pelatihan. Melalui informasi inilah kemudian dirancangan pengembangan pegawai sesuai kebutuhan.

Melaksanakan Rencana Kinerja Individual

Setelah sasaran kinerja individual ditetapkan (IPP, SKU, atau KPI) maka proses berikutnya adalah memantau, menelaah, dan mengevaluasi pencapaian kinerja individual tersebut. Dalam melakukan kegiatan ini, atasan memainkan peran yang sangat penting. Boleh dikatakan, atasan adalah pemilik utama proses pemantauan, penelaahan, dan penilaian kinerja individual tersebut. Pemantauan kinerja individual tersebut sebaiknya dilakukan setiap saat, sedangkan proses evaluasi (review) dilakukan secara bulanan. Hal ini dalam rangka untuk secara cepat meluruskan setiap penyimpangan dalam pencapaian sasaran kinerja individual yang terjadi.
Mengukur Kinerja Individual

Pengukuran kinerja individual merupakan suatu proses penilaian terhadap pencapaian tujuan dan sasaran individual yang telah ditentukan, termasuk informasi atas efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas barang dan jasa, perbandingan hasil kegiatan dengan target, dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan.
Contoh Pengukuran Kinerja Individual sebagaimana pada Formulir berikut:

PENGUKURAN KINERJA INDIVIDUAL
Nama:
Unit :

Kegiatan


Program
Uraian
Indikator
Kinerja
Satuan

Rencana Tingkat Capaian (Target)
Realisasi
Prosentase Pencapaian Rencana Tingkat Capaian (target)
Keterangan
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)



Evaluasi Kinerja Individual
Evaluasi kinerja individual pada hakekatnya dilakukan untuk mewujudkan objektif organisasi sekaligus mengoptimalkan potensi individu pegawai. Disamping itu, penilaian kinerja individual juga dalam rangka mengetahui sejauhmana masing-masing individu pegawai memberikan kontribusi nyata terhadap kinerja organisasi. Evaluasi kinerja individual sangat terkait dengan bagaimana memberi penghargaan atas kinerja tersebut. Oleh karena itu manajemen kinerja sangat terkait dengan kompensasi. Prinsip penting dalam pemberian kompensasi adalah kinerja yang tinggi harus diberi penghargaan (reward) yang layak, sedangkan kinerja yang buruk diberi hukuman (punishment) yang adil dan manusiawi. Pemberian penghargaan dan hukuman tersebut tidak dapat dilakukan tanpa alasan yang rasional, oleh karena itu diperlukan adanya penilaian kinerja individual yang obyektif dan akurat. Secara garis besar mekanisme reward dan punishment melibatkan beberapa variabel, antara lain: (1) motivasi; (2) kinerja; (3) kepuasan; dan (4) penghargaan dan hukuman.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEM


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 154 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
2. Pembangunan daerah adalah pemanfaatan sumber daya yang dimiliki untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang nyata, baik dalam aspek pendapatan, kesempatan kerja, lapangan berusaha, akses terhadap pengambilan kebijakan, berdaya saing, maupun peningkatan indeks pembangunan manusia.
3. Perencanaan Pembangunan Daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan didalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu.
4. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah yang selanjutnya disingkat RPJPD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun.
5. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang selanjutnya disingkat RPJMD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 5 (lima) tahun.
6. Rencana Kerja Pembangunan Daerah yang selanjutnya disingkat RKPD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
7. Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat dengan Renstra-SKPD adalah dokumen perencanaan SKPD untuk periode 5 (lima) tahun.
8. Rencana kerja-Satuan Kerja Perangkat Daerah atau disebut Renja-SKPD adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
9. Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan.
10. Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi.
11. Strategi adalah langkah-langkah berisikan program-program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi.
12. Kebijakan adalah arah/tindakan yang diambil oleh pemerintah daerah untuk mencapai tujuan.
13. Program adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk mencapai sasaran dan tujuan serta untuk memperoleh alokasi anggaran atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
14. Prakiraan maju adalah perhitungan kebutuhan dana untuk tahun-tahun berikutnya dari tahun anggaran yang direncanakan guna memastikan kesinambungan kebijakan yang telah disetujui untuk setiap program dan kegiatan.
15. Indikator kinerja adalah alat ukur untuk menilai keberhasilan pembangunan secara kuantitatif dan kualitatif.
16. Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang selanjutnya disingkat Musrenbang adalah forum antarpemangku kepentingan dalam rangka menyusun rencana pembangunan daerah.
17. Pemangku kepentingan adalah pihak-pihak yang langsung atau tidak langsung mendapatkan manfaat atau dampak dari perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah.
18. Menteri adalah Menteri Dalam Negeri.
19. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disingkat DPRD atau dengan sebutan lain adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

BAB II
PRINSIP PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Pasal 2
(1) Perencanaan pembangunan daerah merupakan satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional.
(2) Perencanaan pembangunan daerah dilakukan pemerintah daerah bersama para pemangku kepentingan berdasarkan peran dan kewenangan masing-masing.
(3) Perencanaan pembangunan daerah mengintegrasikan rencana tata ruang dengan rencana pembangunan daerah.
(4) Perencanaan pembangunan daerah dilaksanakan berdasarkan kondisi dan potensi yang dimiliki masing-masing daerah, sesuai dinamika perkembangan daerah dan nasional.

Pasal 3
Perencanaan pembangunan daerah dirumuskan secara transparan, responsif, efisien, efektif, akuntabel, partisipatif, terukur, berkeadilan dan berkelanjutan.

BAB III
TAHAPAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
(1) Rencana pembangunan daerah meliputi:
a. RPJPD;
b. RPJMD; dan
c. RKPD.
(2) Rencana Pembangunan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun dengan tahapan:
a. penyusunan rancangan awal;
b. pelaksanaan Musrenbang;
c. perumusan rancangan akhir; dan
d. penetapan rencana.

Bagian Kedua
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah
Paragraf 1
Penyusunan Rancangan Awal
Pasal 5
(1) Bappeda menyusun rancangan awal RPJPD.
(2) RPJPD provinsi memuat visi, misi dan arah pembangunan daerah dengan mengacu pada RPJP Nasional.
(3) RPJPD kabupaten/kota memuat visi, misi dan arah pembangunan daerah dengan mengacu pada RPJP Nasional dan RPJPD provinsi.
(4) Dalam menyusun rancangan awal RPJPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bappeda meminta masukan dari SKPD dan pemangku kepentingan.



Paragraf 2
Pelaksanaan Musrenbang
Pasal 6
(1) Musrenbang dilaksanakan untuk membahas rancangan awal RPJPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4).
(2) Musrenbang dilaksanakan oleh Bappeda dengan mengikutsertakan pemangku kepentingan.
(3) Musrenbang dilaksanakan dengan rangkaian kegiatan penyampaian, pembahasan dan penyepakatan rancangan awal RPJPD.
(4) Pelaksanaan Musrenbang ditetapkan oleh kepala daerah.

Paragraf 3
Perumusan Rancangan Akhir
Pasal 7
(1) Rancangan akhir RPJPD dirumuskan berdasarkan hasil Musrenbang.
(2) Rancangan akhir RPJPD dirumuskan paling lama 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya RPJPD yang sedang berjalan.
(3) Rancangan akhir RPJPD disampaikan ke DPRD dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah tentang RPJPD paling lama 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya RPJPD yang sedang berjalan.

Paragraf 4
Penetapan
Pasal 8
(1) DPRD bersama kepala daerah membahas Rancangan Peraturan Daerah tentang RPJPD.
(2) RPJPD ditetapkan dengan Peraturan Daerah setelah berkonsultasi dengan Menteri.

Pasal 9
(1) Gubernur menyampaikan Peraturan Daerah tentang RPJPD Provinsi paling lama 1 (satu) bulan kepada Menteri.
(2) Bupati/walikota menyampaikan Peraturan Daerah tentang RPJPD Kabupaten/Kota paling lama 1 (satu) bulan kepada gubernur dengan tembusan kepada Menteri.

Pasal 10
(1) Gubernur menyebarluaskan Peraturan Daerah tentang RPJPD Provinsi kepada masyarakat.
(2) Bupati/walikota menyebarluaskan Peraturan Daerah tentang RPJPD Kabupaten/Kota kepada masyarakat.

Bagian Ketiga
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
Paragraf 1
Penyusunan Rancangan Awal

Pasal 11
(1) Bappeda menyusun rancangan awal RPJMD.
(2) RPJMD memuat visi, misi dan program kepala daerah.
(3) Rancangan awal RPJMD berpedoman pada RPJPD dan memperhatikan RPJM Nasional, kondisi lingkungan strategis di daerah, serta hasil evaluasi terhadap pelaksanaan RPJMD periode sebelumnya.

Pasal 12
(1) Kepala SKPD menyusun Rancangan Renstra-SKPD sesuai dengan rancangan awal RPJMD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
(2) Rancangan Renstra-SKPD disampaikan oleh Kepala SKPD kepada Bapppeda.
(3) Bappeda menyempurnakan rancangan awal RPJMD menjadi rancangan RPJMD dengan menggunakan rancangan Renstra-SKPD sebagai masukan.

Paragraf 2
Pelaksanaan Musrenbang
Pasal 13
(1) Musrenbang dilaksanakan untuk membahas rancangan RPJMD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3).
(2) Musrenbang dilaksanakan oleh Bappeda dengan mengikutsertakan pemangku kepentingan.
(3) Musrenbang dilaksanakan dengan rangkaian kegiatan penyampaian, pembahasan dan penyepakatan rancangan RPJMD.
(4) Pelaksanaan Musrenbang ditetapkan oleh kepala daerah.

Paragraf 3
Perumusan Rancangan Akhir
Pasal 14
(1) Rancangan akhir RPJMD dirumuskan oleh Bappeda berdasarkan hasil Musrenbang.
(2) Pembahasan rumusan rancangan akhir RPJMD dipimpin oleh Kepala Daerah.

Paragraf 4
Penetapan
Pasal 15
(1) RPJMD ditetapkan dengan Peraturan Daerah setelah berkonsultasi dengan Menteri.
(2) Peraturan Daerah tentang RPJMD ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan setelah kepala daerah dilantik.
(3) Peraturan Daerah tentang RPJMD Provinsi disampaikan kepada Menteri.
(4) Peraturan Daerah tentang RPJMD Kabupaten/Kota disampaikan kepada gubernur dengan tembusan kepada Menteri.

Pasal 16
(1) Gubernur menyebarluaskan Peraturan Daerah tentang RPJMD Provinsi kepada masyarakat.
(2) Bupati/walikota menyebarluaskan Peraturan Daerah tentang RPJMD Kabupaten/Kota kepada masyarakat.

Bagian Keempat
Rencana Kerja Pembangunan Daerah
Paragraf 1
Penyusunan Rancangan Awal

Pasal 17
(1) Bappeda menyusun rancangan awal RKPD.
(2) RKPD merupakan penjabaran dari RPJMD.
(3) Kepala Bappeda mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD menggunakan rancangan Renja-SKPD dengan Kepala SKPD.
(4) Rancangan RKPD memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, program prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya serta prakiraan maju dengan mempertimbangkan kerangka pendanaan dan pagu indikatif, baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah maupun sumber-sumber lain yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
(5) Penetapan program prioritas berorientasi pada pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dan pencapaian keadilan yang berkesinambungan dan berkelanjutan.
(6) Rancangan RKPD menjadi bahan Musrenbang RKPD.

Paragraf 2
Pelaksanaan Musrenbang
Pasal 18
(1) Musrenbang RKPD merupakan wahana partisipasi masyarakat di daerah.
(2) Musrenbang RKPD dilaksanakan oleh Bappeda setiap tahun dalam rangka membahas Rancangan RKPD tahun berikutnya.
(3) Musrenbang RKPD provinsi dilaksanakan untuk keterpaduan antar-Rancangan Renja SKPD dan antar-RKPD kabupaten/kota dalam dan antarprovinsi.
(4) Musrenbang RKPD kabupaten/kota dilaksanakan untuk keterpaduan Rancangan Renja antar-SKPD dan antar-Rencana Pembangunan Kecamatan.

Pasal 19
(1) Pelaksanaan Musrenbang RKPD provinsi difasilitasi oleh Departemen Dalam Negeri.
(2) Pelaksanaan Musrenbang RKPD kabupaten/kota difasilitasi oleh pemerintah provinsi.

Pasal 20
(1) Musrenbang RKPD kabupaten/kota dimulai dari Musrenbang desa atau sebutan lain/kelurahan, dan kecamatan atau sebutan lain.
(2) Musrenbang RKPD provinsi dilaksanakan setelah Musrenbang kabupaten/kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Musrenbang diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 21
(1) Departemen Dalam Negeri menyelenggarakan pertemuan koordinasi pasca-Musrenbang RKPD provinsi.
(2) Pemerintah Provinsi menyelenggarakan pertemuan koordinasi pasca-Musrenbang RKPD kabupaten/kota.

Paragraf 3
Perumusan Rancangan Akhir

Pasal 22
(1) Hasil Musrenbang RKPD menjadi dasar perumusan rancangan akhir RKPD oleh Bappeda.
(2) Rancangan akhir RKPD disusun oleh Bappeda berdasarkan hasil Musrenbang RKPD, dilengkapi dengan pendanaan yang menunjukkan prakiraan maju.

Paragraf 4
Penetapan
Pasal 23
(1) RKPD Provinsi ditetapkan dengan Peraturan Gubernur, dan RKPD kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota.
(2) Gubernur menyampaikan Peraturan Gubernur tentang RKPD Provinsi kepada Menteri.
(3) Bupati/walikota menyampaikan Peraturan Bupati/Walikota tentang RKPD Kabupaten/Kota kepada gubernur dengan tembusan kepada Menteri.
(4) RKPD dijadikan dasar penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Pasal 24
(1) Gubernur menyebarluaskan Peraturan Gubernur tentang RKPD Provinsi kepada masyarakat.
(2) Bupati/walikota menyebarluaskan Peraturan Bupati/Walikota tentang RKPD Kabupaten/Kota kepada masyarakat.

BAB IV
RENSTRA DAN RENJA SKPD
Pasal 25
(1) SKPD menyusun Renstra-SKPD.
(2) Renstra-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsinya.
(3) Penyusunan Renstra-SKPD berpedoman pada RPJMD dan bersifat indikatif.
(4) Kecamatan atau sebutan lain sebagai SKPD menyusun Renstra kecamatan dengan berpedoman pada RPJMD Kabupaten/Kota.

Pasal 26
Renstra-SKPD ditetapkan dengan keputusan kepala SKPD.

Pasal 27
(1) SKPD menyusun Renja-SKPD.
(2) Rancangan Renja-SKPD disusun dengan mengacu pada rancangan awal RKPD, Renstra-SKPD, hasil evaluasi pelaksanaan program dan kegiatan periode sebelumnya, masalah yang dihadapi, dan usulan program serta kegiatan yang berasal dari masyarakat.
(3) Rancangan Renja-SKPD memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
(4) Program dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi program dan kegiatan yang sedang berjalan, kegiatan alternatif atau baru, indikator kinerja, dan kelompok sasaran yang menjadi bahan utama RKPD, serta menunjukkan prakiraan maju.
(5) Rancangan Renja-SKPD dibahas dalam forum SKPD yang diselenggarakan bersama antarpemangku kepentingan untuk menentukan prioritas kegiatan pembangunan.

Pasal 28
Renja SKPD ditetapkan dengan keputusan kepala SKPD.

BAB V
TATA CARA PENYUSUNAN DOKUMEN
RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH
Bagian Kesatu
Sumber Data
Pasal 29
(1) Dokumen rencana pembangunan daerah disusun dengan menggunakan data dan informasi, serta rencana tata ruang.
(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penyelenggaraan pemerintah daerah;
b. organisasi dan tatalaksana pemerintahan daerah;
c. kepala daerah, DPRD, perangkat daerah, dan pegawai negeri sipil daerah;
d. keuangan daerah;
e. potensi sumber daya daerah;
f. produk hukum daerah;
g. kependudukan;
h. informasi dasar kewilayahan; dan
i. informasi lain terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Pasal 30
(1) Dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan data dan informasi secara optimal, daerah perlu membangun sistem informasi perencanaan pembangunan daerah.
(2) Sistem informasi perencanaan pembangunan daerah merupakan subsistem dari sistem informasi daerah sebagai satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan.
(3) Perangkat dan peralatan sistem informasi perencanaan pembangunan daerah harus memenuhi standar yang ditentukan oleh Menteri.

Pasal 31
Rencana tata ruang merupakan syarat dan acuan utama penyusunan dokumen rencana pembangunan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Pengolahan Sumber Data
Pasal 32
(1) Data dan informasi, serta rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 diolah melalui proses:
a. analisis daerah;
b. identifikasi kebijakan nasional yang berdampak pada daerah;
c. perumusan masalah pembangunan daerah;
d. penyusunan program, kegiatan, alokasi dana indikatif, dan sumber pendanaan; dan
e. penyusunan rancangan kebijakan pembangunan daerah.
(2) Proses pengolahan data dan informasi serta rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui koordinasi dengan pemangku kepentingan.

Paragraf 1
Analisis Daerah
Pasal 33
(1) Analisis daerah mencakup evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah periode sebelumnya, kondisi dan situasi pembangunan saat ini, serta keadaan luar biasa.
(2) Analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bappeda provinsi dan kabupaten/kota bersama pemangku kepentingan.
(3) Bappeda provinsi dan kabupaten/kota menyusun kerangka studi dan instrumen analisis serta melakukan penelitian lapangan sebelum menyusun perencanaan pembangunan daerah.

Paragraf 2
Identifikasi Kebijakan Nasional Yang Berdampak Pada Daerah


Pasal 34
(1) Identifikasi kebijakan nasional yang berdampak pada daerah merupakan upaya daerah dalam rangka sinkronisasi pelaksanaan kebijakan dan program prioritas nasional dalam pembangunan daerah.
(2) Sinkronisasi kebijakan nasional dilakukan dengan melihat kesesuaian terhadap keberlanjutan program, dampak yang diinginkan dari sisi pencapaian target atau sasaran, tingkat keterdesakan, dan kemampuan anggaran.

Paragraf 3
Perumusan Masalah Pembangunan Daerah
Pasal 35
(1) Masalah pembangunan daerah dirumuskan dengan mengutamakan tingkat keterdesakan dan kebutuhan masyarakat.
(2) Rumusan permasalahan disusun secara menyeluruh mencakup tantangan, ancaman, dan kelemahan, yang dihadapi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah.
(3) Penyusunan rumusan masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan anggaran prakiraan maju, pencapaian sasaran kinerja dan arah kebijakan ke depan.

Paragraf 4
Penyusunan Program, Kegiatan, Alokasi Dana Indikatif
dan Sumber Pendanaan
Pasal 36
(1) Program, kegiatan dan pendanaan disusun berdasarkan:
a. pendekatan kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah serta perencanaan dan penganggaran terpadu;
b. kerangka pendanaan dan pagu indikatif;
c. program prioritas urusan wajib dan urusan pilihan yang mengacu pada standar pelayanan minimal sesuai dengan kondisi nyata daerah dan kebutuhan masyarakat.
(2) Program, kegiatan dan pendanaan disusun untuk tahun yang direncanakan disertai prakiraan maju sebagai implikasi kebutuhan dana.
(3) Sumber pendanaan pembangunan daerah terdiri atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan sumber lain yang sah.

Pasal 37
Pedoman penyusunan perencanaan dan penganggaran terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 5
Penyusunan Rancangan Kebijakan Pembangunan Daerah

Pasal 38
(1) Rancangan kebijakan pembangunan daerah yang telah disusun dibahas dalam forum konsultasi publik.
(2) Forum konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diikuti oleh masyarakat dan para pemangku kepentingan.
(3) Rancangan kebijakan pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. RPJPD;
b. RPJMD; dan
c. RKPD.
Pasal 39
Rancangan kebijakan pembangunan daerah sebagai hasil dari forum konsultasi publik dirumuskan menjadi rancangan awal Rencana Pembangunan Daerah oleh Bappeda bersama SKPD.

Bagian Ketiga
Sistematika Rencana Pembangunan Daerah
Pasal 40
(1) Sistematika penulisan RPJPD, paling sedikit mencakup:
a. pendahuluan;
b. gambaran umum kondisi daerah;
c. analisis isu-isu strategis;
d. visi dan misi daerah;
e. arah kebijakan; dan
f. kaidah pelaksanaan.
(2) Sistematika penulisan RPJMD, paling sedikit mencakup:
a. pendahuluan;
b. gambaran umum kondisi daerah;
c. gambaran pengelolaan keuangan daerah serta kerangka pendanaan;
d. analisis isu-isu strategis;
e. visi, misi, tujuan dan sasaran;
f. strategi dan arah kebijakan;
g. kebijakan umum dan program pembangunan daerah;
h. indikasi rencana program prioritas yang disertai kebutuhan pendanaan;
i. penetapan indikator kinerja daerah; dan
j. pedoman transisi dan kaidah pelaksanaan.
(3) Sistematika RKPD paling sedikit mencakup :
a. pendahuluan;
b. evaluasi pelaksanaan RKPD tahun lalu;
c. rancangan kerangka ekonomi daerah beserta kerangka pendanaan;
d. prioritas dan sasaran pembangunan; dan
e. rencana program dan kegiatan prioritas daerah.
(4) Sistematika penulisan Renstra SKPD, paling sedikit mencakup:
a. pendahuluan;
b. gambaran pelayanan SKPD;
c. isu-isu strategis berdasarkan tugas pokok dan fungsi;
d. visi, misi, tujuan dan sasaran, strategi dan kebijakan;
e. rencana program, kegiatan, indikator kinerja, kelompok sasaran dan pendanaan indikatif; dan
f. indikator kinerja SKPD yang mengacu pada tujuan dan sasaran RPJMD.
(5) Sistematika penulisan Renja SKPD, paling sedikit mencakup:
a. pendahuluan;
b. evaluasi pelaksanaan Renja SKPD tahun lalu;
c. tujuan, sasaran, program dan kegiatan;
d. indikator kinerja dan kelompok sasaran yang menggambarkan pencapaian Renstra SKPD;
e. dana indikatif beserta sumbernya serta prakiraan maju berdasarkan pagu indikatif;
f. sumber dana yang dibutuhkan untuk menjalankan program dan kegiatan; dan
g. penutup.

Bagian Keempat
Koordinasi Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah
Pasal 41
(1) Koordinasi penyusunan Renstra SKPD dan Renja SKPD dilakukan oleh masing-masing SKPD.
(2) Koordinasi penyusunan RPJPD, RPJMD dan RKPD dilakukan oleh Bappeda.
(3) Koordinasi penyusunan RPJPD, RPJMD dan RKPD antarkabupaten/kota dilakukan oleh gubernur.
(4) Koordinasi penyusunan RPJPD, RPJMD dan RKPD antarprovinsi dilakukan oleh Menteri.

Pasal 42
(1) Tata cara koordinasi antarkabupaten/kota di dalam penyusunan rencana pembangunan daerah diatur lebih lanjut oleh gubernur.
(2) Tata cara koordinasi antarprovinsi di dalam penyusunan rencana pembangunan daerah diatur lebih lanjut oleh Menteri.

BAB VI
PENGENDALIAN DAN EVALUASI
PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
Bagian Kesatu
Pengendalian
Pasal 43
(1) Menteri melakukan pengendalian terhadap perencanaan pembangunan daerah antarprovinsi.
(2) Gubernur melakukan pengendalian terhadap perencanaan pembangunan daerah lingkup provinsi, antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi.
(3) Bupati/walikota melakukan pengendalian terhadap perencanaan pembangunan daerah lingkup kabupaten/kota.

Pasal 44
Pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 meliputi pengendalian terhadap :
a. kebijakan perencanaan pembangunan daerah; dan
b. pelaksanaan rencana pembangunan daerah.

Pasal 45
(1) Pengendalian oleh gubernur, bupati/walikota dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Bappeda untuk keseluruhan perencanaan pembangunan daerah dan oleh Kepala SKPD untuk program dan/atau kegiatan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
(2) Pengendalian oleh Bappeda meliputi pemantauan, supervisi dan tindak lanjut penyimpangan terhadap pencapaian tujuan agar program dan kegiatan sesuai dengan kebijakan pembangunan daerah.
(3) Pemantauan pelaksanaan program dan/atau kegiatan oleh SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi realisasi pencapaian target, penyerapan dana, dan kendala yang dihadapi.
(4) Hasil pemantauan pelaksanaan program dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dalam bentuk laporan triwulan untuk disampaikan kepada Bappeda.
(5) Kepala Bappeda melaporkan hasil pemantauan dan supervisi rencana pembangunan kepada kepala daerah, disertai dengan rekomendasi dan langkah-langkah yang diperlukan.

Bagian Kedua
Evaluasi
Pasal 46
(1) Menteri melakukan evaluasi terhadap perencanaan pembangunan daerah antarprovinsi.
(2) Gubernur melakukan evaluasi terhadap perencanaan pembangunan daerah lingkup provinsi, antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi.
(3) Bupati/walikota melakukan evaluasi terhadap perencanaan pembangunan daerah lingkup kabupaten/kota.

Pasal 47
Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 meliputi evaluasi terhadap :
a. kebijakan perencanaan pembangunan daerah;
b. pelaksanaan rencana pembangunan daerah; dan
c. hasil rencana pembangunan daerah.
Pasal 48
(1) Evaluasi oleh gubernur, bupati/walikota dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Bappeda untuk keseluruhan perencanaan pembangunan daerah dan oleh Kepala SKPD untuk capaian kinerja pelaksanaan program dan kegiatan SKPD periode sebelumnya.

(2) Evaluasi oleh Bappeda meliputi :
a. penilaian terhadap pelaksanaan proses perumusan dokumen rencana pembangunan daerah, dan pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan daerah; dan
b. menghimpun, menganalisis dan menyusun hasil evaluasi Kepala SKPD dalam rangka pencapaian rencana pembangunan daerah.

(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menjadi bahan bagi penyusunan rencana pembangunan daerah untuk periode berikutnya.

Pasal 49
Gubernur, bupati/walikota berkewajiban memberikan informasi mengenai hasil evaluasi pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah kepada masyarakat.

Bagian Ketiga
Perubahan
Pasal 50
(1) Rencana pembangunan daerah dapat diubah dalam hal:
a. hasil pengendalian dan evaluasi menunjukkan bahwa proses perumusan dan substansi yang dirumuskan belum sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan;
b. terjadi perubahan yang mendasar; atau
c. merugikan kepentingan nasional.
(2) Perubahan rencana pembangunan daerah ditetapkan dengan peraturan daerah.

Pasal 51
Pedoman pengendalian dan evaluasi rencana pembangunan daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keempat
Masyarakat
Pasal 52
(1) Masyarakat dapat melaporkan program dan kegiatan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan data dan informasi yang akurat.
(3) Pemerintah daerah menindaklanjuti laporan dari masyarakat sebagaimana pada ayat (1) berdasarkan pertimbangan Kepala Bappeda dan Kepala SKPD.
(4) Mekanisme penyampaian dan tindak lanjut laporan dari masyarakat diatur lebih lanjut oleh pemerintah daerah.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 53
(1) Bagi daerah yang belum menyusun RPJPD, penyusunan RPJMD dapat mengacu pada dokumen rencana pembangunan daerah sebelumnya.
(2) Dokumen rencana pembangunan daerah yang telah disusun dan masih berlaku, tetap digunakan sampai tersusunnya rencana pembangunan daerah sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 54
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Februari 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Februari 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ANDI MATTALATTA



Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,



Wisnu SetiawanLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 21












PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 2008
TENTANG
TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN,
PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH

I. UMUM

Untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, transparan, akuntabel, efisien dan efektif di bidang perencanaan pembangunan daerah, diperlukan adanya tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi perencanaan pembangunan daerah. Penerapan peraturan perundangan yang berkaitan dengan perencanaan daerah merupakan alat untuk mencapai tujuan pelayanan publik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk itu, pelaksanaan otonomi daerah perlu mendapatkan dorongan yang lebih besar dari berbagai elemen masyarakat melalui perencanaan pembangunan daerah agar demokratisasi, transparansi, akuntabilitas dapat terwujud.
Penyelenggaraan tahapan, tata cara penyusunan pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah dimaksudkan untuk:
Meningkatkan konsistensi antarkebijakan yang dilakukan berbagai organisasi publik dan antara kebijakan makro dan mikro maupun antara kebijakan dan pelaksanaan;
Meningkatkan transparansi dan partisipasi dalam proses perumusan kebijakan dan perencanaan program;
Menyelaraskan perencanaan program dan penganggaran;
Meningkatkan akuntabilitas pemanfaatan sumber daya dan keuangan publik;
Terwujudnya penilaian kinerja kebijakan yang terukur, perencanaan, dan pelaksanaan sesuai RPJMD, sehingga tercapai efektivitas perencanaan.
Penyelenggaraan tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi rencana daerah dilakukan dengan pendekatan politik, teknokratik, partisipatif, atas-bawah (top down) dan bawah-atas (bottom up)
Dilaksanakan tata cara dan tahapan perencanaan daerah bertujuan untuk mengefektifkan proses pemerintahan yang baik melalui pemanfaatan sumber daya publik yang berdampak pada percepatan proses perubahan sosial bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, atau terarahnya proses pengembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat, dan tercapainya tujuan pelayanan publik.
Penyelenggaraan tata cara dan tahapan perencanaan daerah mencakup proses perencanaan pada masing-masing lingkup pemerintahan (pusat, provinsi, kabupaten/kota) terdiri dari proses (1) penyusunan kebijakan, (2) penyusunan program, (3) Penyusunan alokasi pembiayaan, dan (4) monitoring dan evaluasi kinerja pelaksanaan kebijakan, rencana program, dan alokasi pembiayaan program.
Tata cara dan tahapan perencanaan daerah dilakukan oleh lembaga atau badan perencanaan di lingkup pemerintahan pusat dan daerah maupun unit organisasi publik, meliputi (1) lembaga negara dan lembaga daerah, (2) departemen/nondepartemen dan dinas/nondinas daerah.
Proses kegiatan penyelenggaraan perencanaan dilakukan baik pada masing-masing lingkup pemerintahan (pusat, provinsi, kabupaten/kota) maupun koordinasi antarlingkup pemerintahan melalui suatu proses dan mekanisme tertentu untuk mencapai tujuan nasional.
Proses penyelenggaraan perencanaan harus dapat memberikan arahan bagi peningkatan pengembangan sosial-ekonomi dan kemampuan masyarakat, oleh karena itu diperlukan adanya sinkronisasi antara rencana program/kegiatan oleh organisasi publik dengan rencana kegiatan masyarakat dan pemangku kepentingan.
Proses penyelenggaraan perencanaan perlu diikuti oleh adanya mekanisme pemantauan kinerja kebijakan, rencana program, dan pembiayaan secara terpadu bagi penyempurnaan kebijakan perencanaan selanjutnya; dan mekanisme koordinasi perencanaan horizontal dan vertikal yang lebih difokuskan pada komunikasi dan dialog antarlembaga perencanaan dengan prinsip kebersamaan, kesetaraan, dan saling ketergantungan satu sama lain.
Proses perencanaan dilaksanakan dengan memasukkan prinsip pemberdayaan, pemerataan, demokratis, desentralistik, transparansi, akuntabel, responsif, dan partisipatif dengan melibatkan seluruh unsur lembaga negara, lembaga pemerintah, masyarakat dan pemangku kepentingan.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Mengintegrasikan rencana tata ruang dengan rencana pembangunan daerah bertujuan untuk mencapai pemenuhan hak-hak dasar masyarakat sesuai dengan urusan dan kewenangan pemerintah daerah meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan:
“Transparan” adalah membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
“Responsif” adalah dapat mengantisipasi berbagai potensi, masalah dan perubahan yang terjadi di daerah.
“Efisien” adalah pencapaian keluaran tertentu dengan masukan terendah atau masukan terendah dengan keluaran maksimal.
“Efektif” adalah kemampuan mencapai target dengan sumber daya yang dimiliki dengan cara atau proses yang paling optimal.
“Akuntabel” adalah setiap kegiatan dan hasil akhir dari perencanaan pembangunan daerah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangaan yang berlaku.
“Partisipatif” adalah merupakan hak masyarakat untuk terlibat dalam setiap proses tahapan perencanaan pembangunan daerah dan bersifat inklusif terhadap kelompok yang termarginalkan melalui jalur khusus komunikasi untuk mengakomodasi aspirasi kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses dalam pengambilan kebijakan.
“Terukur” adalah penetapan target kinerja yang akan dicapai dan cara-cara untuk mencapainya.
“Berkeadilan” adalah prinsip keseimbangan antarwilayah, sektor, pendapatan, gender dan usia.

Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “Musrenbang Daerah” adalah upaya penjaringan aspirasi masyarakat yang antara lain ditujukan untuk mengakomodasi aspirasi kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses dalam pengambilan kebijakan melalui jalur khusus komunikasi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “program prioritas pembangunan daerah” adalah program yang menjadi kebutuhan mendesak sesuai dengan potensi, dana, tenaga, dan kemampuan manajerial yang dimiliki.
Yang dimaksud dengan “rencana kerja” adalah dokumen rencana yang memuat program dan kegiatan yang diperlukan untuk mencapai sasaran pembangunan, dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka anggaran.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Di dalam Musrenbang provinsi dibahas rancangan RKPD provinsi dan menyerasikan RKPD Provinsi dan RKPD Kabupaten/Kota, Rancangan Renja-KL dan RKP, tugas pembantuan, dekonsentrasi.
Ayat (4)
Di dalam Musrenbang Kabupaten/Kota dibahas rancangan RKPD Kabupaten/Kota berdasarkan Renja-SKPD hasil Forum SKPD dengan cara meninjau keserasian antara rancangan Renja-SKPD dengan kebutuhan masyarakat yang hasilnya digunakan untuk pemutakhiran Rancangan RKPD.

Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “difasilitasi” adalah koordinasi yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri untuk mensinkronisasikan program dan kegiatan Pemerintah dan pemerintah daerah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “difasilitasi” adalah koordinasi yang dilakukan oleh provinsi untuk mensinkronisasikan program dan kegiatan antar-SKPD kabupaten/kota dan SKPD antarwilayah, serta pemerintah.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Ayat (1)
Pasca-Musrenbang diselenggarakan setelah Musrenbang daerah dan Musrenbang nasional, dimaksudkan untuk menjamin konsistensi hasil Musrenbang RKPD provinsi.
Ayat (2)
Pasca-Musrenbang diselenggarakan setelah Musrenbang daerah dan Musrenbang nasional serta sebelum pertemuan koordinasi pasca-Musrenbang RKPD provinsi, dimaksudkan untuk menjamin konsistensi hasil Musrenbang RKPD kabupaten/kota.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Forum SKPD membahas prioritas program dan kegiatan yang dihasilkan dari Musrenbang Kecamatan sebagai upaya menyempurnakan Rancangan Renja-SKPD, difasilitasi oleh SKPD terkait.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Ayat (1)
Rencana tata ruang yang perlu dirujuk adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi, RTRW kabupaten/kota, dan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan (RTRKP).
Ayat (2)
Masyarakat dapat memperoleh data dan informasi untuk memberikan bahan masukan dalam penyusunan rencana pembangunan daerah dari pemerintah daerah.

Pasal 30
Ayat (1)
Sistem Informasi Perencanaan Pembangunan Daerah adalah suatu proses pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, pemeliharaan, pencarian kembali dan validasi berbagai data tertentu yang dibutuhkan oleh suatu organisasi tentang perencanaan pembangunan daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 31
Rencana tata ruang dan RPJPD sebagai dokumen perencanaan satu sama lain saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan.
Bagi daerah yang belum memiliki rencana tata ruang, maka RPJPD merupakan acuan penyusunan rencana tata ruang. Sedangkan jika daerah telah memiliki rencana tata ruang yang masih berlaku, maka rencana tata ruang tersebut digunakan sebagai acuan.

Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Koordinasi dilakukan untuk:
a. menghindari tumpang tindih program, kegiatan dan pendanaan yang disusun oleh masing-masing SKPD;
b. keterpaduan antara rencana pembangunan daerah yang dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan rencana pembangunan di daerah yang dibiayai APBN;
c. keterpaduan dan sinergitas rencana pembangunan daerah antarprovinsi, antara provinsi dengan kabupaten/kota dan antarkabupaten/kota.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Kerangka studi dan instrumen analisis dapat juga berupa analisis spesifik seperti analisis biaya dan manfaat (cost and benefit), analisis kemiskinan dan analisis gender.

Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “keterdesakan” adalah sesuatu yang tidak bisa ditunda seperti bencana alam, wabah penyakit, masalah daerah yang penting.

Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Perumusan masalah dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat melalui analisis komprehensif dan keterdesakan.

Pasal 36
Ayat (1)
Huruf a
Kerangka pengeluaran jangka menengah adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju;
Dasar penyusunan program, kegiatan dan pendanaan berlaku untuk penyusunan dokumen RPJMD, RKPD, Renstra SKPD dan Renja SKPD.
Huruf b
Kerangka pendanaan diutamakan untuk penyusunan dokumen jangka menengah (RPJMD dan Renstra SKPD) serta pagu indikatif digunakan untuk penyusunan dokumen rencana tahunan (RKPD dan Renja SKPD)
Huruf c
Program disusun berdasarkan urusan wajib dan pilihan, serta kegiatan disusun berdasarkan tingkat keterdesakan dan efektivitas pencapaian tujuan, sasaran, program.
Ayat (2)
Prakiraan maju digunakan untuk dokumen Renja SKPD dan RKPD.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Ayat (1)
Forum konsultasi publik merupakan wadah penampungan dan penjaringan aspirasi masyarakat, dan dunia usaha untuk penyempurnaan rancangan kebijakan. Hal ini menunjukkan sistem perencanaan bawah-atas (bottom-up planning) berdasarkan asas demokratisasi dan desentralisasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kerangka pendanaan“ adalah bagian dari kerangka fiskal yang berhubungan dengan kemampuan untuk membiayai belanja pemerintah.
Kerangka pendanaan disusun secara bersama-sama antara Bappeda dengan Badan/Biro/Bagian Keuangan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Pada masa transisi, untuk menghindari kekosongan, seperti peralihan periode kepemimpinan maka RPJMD lama yang akan berakhir menjadi pedoman sementara bagi pemerintahan kepala daerah baru terpilih selama belum ada RPJMD baru.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam gambaran pelayanan SKPD dijelaskan juga mengenai gambaran umum kinerja SKPD yang telah dicapai.

Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “dana indikatif“ adalah rincian dana yang dialokasikan untuk kegiatan tahunan.
Yang dimaksud dengan “pagu indikatif” adalah jumlah dana yang tersedia untuk penyusunan program dan kegiatan tahunan.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “koordinasi antarkabupaten/kota” adalah koordinasi dalam rangka mensinergiskan rencana pembangunan daerah untuk lintas kabupaten/kota. Penyusunan rencana pembangunan daerah/wilayah dikoordinasikan oleh gubernur selaku wakil Pemerintah di daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pencapaian target” adalah kemajuan pelaksanaan kegiatan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 50
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “perubahan yang mendasar” adalah suatu pekerjaan yang tidak dapat dikerjakan, terjadi bencana alam, atau perubahan kebijakan nasional.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 51
Cukup jelas.

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.



TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4817