tag:blogger.com,1999:blog-89668859127394347542024-02-08T02:18:47.548-08:00MARSONOMARSONOhttp://www.blogger.com/profile/01129113131791804414noreply@blogger.comBlogger10125tag:blogger.com,1999:blog-8966885912739434754.post-56980758876310574052009-02-12T19:23:00.000-08:002009-02-12T19:26:06.856-08:00KEBIJAKAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN NEGARA<div align="justify">Oleh: Marsono *)<br /><br />Sejak Pembangunan Jangka Panjang Tahap I sampai dengan saat ini telah dikeluarkan berbagai kebijakan yang dijadikan landasan dalam pelaksanaan pengawasan antara lain:<br /><br />1). UUD 1945, Pasal 20A Ayat (1) DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Selanjutnya dalam Pasal 23 E dinyatakan: (1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri; (2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD, DPRD sesuai dengan kewenangannya; (3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan atau badan sesuai dengan Undang-undang.<br /><br />2). Undang-Undang No. 5 tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Pasal 2 menyatakan: (1) Badan Pemeriksa Keuangan bertugas untuk memeriksa tanggungjawab Pemerintah tentang Keuangan Negara; (2) Badan Pemeriksa Keuangan bertugas untuk memeriksa semua pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; (3) Pelaksanaan pemeriksaan seperti dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-undang; (4) Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.<br /><br />3). Undang-Undang No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedu-dukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, Pasal 27 dan 30, menegaskan bahwa DPR mempunyai berbagai hak, yaitu : (a) Hak interpelasi; (b) Hak angket; (c) Hak menyatakan pendapat; (d) Meminta pejabat negara, pejabat pemerintah untuk memberikan keterangan tentang sesuatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara. Pelaksanaan pengawasan DPR dilakukan oleh Komisi, sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Untuk melaksanakan tugasnya komisi dapat : (a) mengadakan rapat kerja dengan Presiden, yang dapat diwakili oleh Menteri; (b) mengadakan rapat dengar pendapat dengan Pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya; (c) mengadakan rapat dengan pendapat umum, baik atas permintaan komisi maupun atas permintaan pihak lain; (d) mengadakan kunjungan kerja, termasuk melakukan studi perbandingan yang dipandang perlu, dalam masa reses atau apabila dipandang perlu dalam masa sidang, yang hasilnya atas Keputusan Badan Musyawarah dilaporkan kepada Rapat Peripurna untuk ditentukan tindaklanjutnya; (e) mengikuti dengan seksama serta mengumpulkan bahan mengenai peristiwa yang menyangkut kepentingan rakyat, yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri, yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya; (f) mengajukan pertanyaan, baik kepada Pemerintah maupun kepada pihak lain; (g) mengadakan rapat kerja dan rapat dengar pendapat apabila dipandang perlu dengan pejabat pemerintah yang mewakili instansinya, yang tidak termasuk dalam ruang lingkup tugas komisi/diluar instansi mitra kerjanya; (h) mengadakan rapat gabungan komisi, apabila ada masalah yang menyangkut lebih dari 1 (satu) komisi; (i) membentuk panitia kerja; (j) melakukan tugas atas keputusan rapat paripurna dan/atau Badan Masyawarah; (k) mengusulkan kepada Badan Musyawarah hal yang dipandang perlu untuk dimasukkan dalam acara DPR.<br /><br />4). Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dalam pasal 33 disebutkan bahwa “pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara diatur dalam undang-undang tersendiri. Berkenaan dengan tugas-tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara, diperlukan adanya aparat pengawasan fungsional intern seperti Lembaga/Badan/Unit Pengawasan di lingkungan pemerintah baik tingkat Pusat maupun tingkat Propinsi, Kabupaten/Kota, sedangkan Bepeka merupakan Badan Pengawasan Fungsional Ekstern Pemerintah sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 Bab VIII-A Pasal 23E.<br /><br />5). Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 58 ayat (1) menyebutkan bahwa “dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh”. Sedangkan ayat (2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan pemerintah.<br /><br /> 6). Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan bahwa dalam menyelenggarakan pemeriksaan pengelolaan dan tangung jawab keuangan negara, BPK dapat memanfaatkan hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah. Untuk keperluan tersebut di atas, laporan hasil pemeriksaan intern pemerintah wajib disampaikan kepada BPK.<br /><br /> 7). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 218 ayat (1) menyatakan bahwa pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi: (a) pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah; dan (b) pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Selanjutnya ayat (2) menyatakan bahwa pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh aparat pengawas intern Pemerintah sesuai dengan peraturan peurundang-undangan. Selanjutnya Pasal 221 menyatakan hasil pengawasan digunakan sebagai bahan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.<br /><br />Berkaitan dengan koordinasi pengawasan Pasal 222 Ayat (1) berbunyi “Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pe-merintahan daerah secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri”. Sedangkan Ayat (2) menyatakan bahwa “pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Gubernur”. Selanjutnya Ayat (3) menyatakan bahwa “pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota”. Lebih lanjut Ayat (4) menyatakan bahwa “Bupati dan walikota dalam pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat melimpahkan kepada camat”.<br /><br /> Sedangkan Pasal 223 menyatakan bahwa “Pedoman penga-wasan yang meliputi standar, norma, prosedur, penghargaan, dan sanksi diatur dalam Peraturan Pemerintah”. Atas dasar amanat Pasal 223 UU No. 32 tahun 2004 inilah maka diterbitkan PP No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sebagai landasan kebijakan operasional dalam pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah bagi Kementerian/De-partemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen/Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.<br /><br /> 8). Peraturan Pemerintah No. 52 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan. Pasal 14: (1) Pengawasan atas pelaksanaan tugas pembantuan dari pemerintah kepada daerah dan desa, dan Propinsi/Kabupaten kepada desa dilakukan oleh instansi pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) Hasil pengawasan terhadap penyelenggaraan tugas pembantuan baik yang dilakukan oleh instansi pengawas pemerintah daerah, disampaikan kepada Gubernur/ Bupati/Walikota dan kepada Menteri/Pimpinan LPND terkait dengan tembusan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.<br /><br />9). Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pasal 1 butir (4) PP No. 79 tahun 2005 disebutkan bahwa ”pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan secara efisien dan efektif sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pengawasan yang dilaksanakan oleh Pemerintah terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.<br /><br />Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah Pemerintah melakukan dengan 2 (dua) cara sebagai berikut: (1) Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (RAPERDA), yaitu terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri, Dalam Negeri untuk Raperda provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Raperda kabupaten/kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal; dan (2) Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di luar yang termasuk dalam angka 1, yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk provinsi dan Gubernur untuk kabupaten/kota untuk memperoleh klarifikasi. <br /><br />Pasal 24 (1) Pengawasan terhadap urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah sesuai dengan fungsi dan kewenangannya; (2) Aparat Pengawas Intern Pemerintah adalah Inspektorat Jenderal Departemen, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat Kabupaten/Kota; (3) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat pengawas pemerintah; (4) pejabat pengawas pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri/Menteri Negara/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen ditingkat pusat, oleh Gubernur di tingkat Provinsi, dan oleh Bupati/Walikota di tingkat Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br /><br /> Pasal 25, ayat (1) Inspektur Provinsi dalam pelaksanaan tugas pengawasan bertanggungjawab kepada Gubernur, Inspektur Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan tugas pengawasan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota; (2) Inspektur Provinsi dalam pelaksanaan tugas selain tugas pengawasan, mendapat pembinaan dari Sekretaris Daerah Provinsi dan Inspektur Kabupaten/kota dalam pelaksanaan tugas selain tugas pengawasan, mendapat pembinaan dari Sekretaris daerah Kabupaten/Kota.<br /><br />Pasal 26, ayat (1) Inspektorat Jenderal Departemen dan Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Departemen melakukan pengawasan terhadap: (a) pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan; (b) pinjaman dan hibah luar negeri; dan (c) pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan fungsi dan kewenangannya. Ayat (2) Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri selain melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan peme-rintahan daerah provinsi, kabupaten/kota. Ayat (3) Inspektorat Provinsi melakukan pengawasan terhadap: (a) pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota; (b) pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah provinsi; dan (c) pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota. Ayat (4) Inspektorat Kabupaten/Kota melaku-kan pengawasan terhadap: (a) pelaksanaan urusan pemerin-tahan di daerah kabupaten/kota; (b) pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan desa; dan (c) pelaksanaan urusan pemerintahan desa.<br /><br />Pasal 28 ayat (1) aparat pengawas intern pemerintah melakukan pengawasan sesuai dengan fungsi dan kewenangannya melalui: (a) pemeriksaan dalam rangka berakhirnya masa jabatan kepala daerah; (b) pemeriksaan berkala atau sewaktu-waktu maupun pemeriksaan terpadu; (c) pengujian terhadap laporan berkala dan/atau sewaktu-waktu dari unit/satuan kerja; (d) pengusutan atas kebenaran laporan mengenai adanya indikasi terjadinya penyimpangan, korupsi, kolusi dan nepotisme; (e) penilaian atas manfaat dan keberhasilan kebijakan, pelaksanaan program dan kegiatan; dan (f) monitoring dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dan pemerintahan desa. <br /><br /> 10). Keppres Nomor 44 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen, dimuat adanya fungsi Inspektorat Jenderal sebagai unsur pengawas yang berada di bawah menteri. Mempunyai tugas pokok melakukan pengawasan dalam lingkup Departemen. Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, Itjen mempunyai fungsi: (1) Pemeriksaan; (2) Pengujian; dan (3) Pengusutan.<br /><br /> 11). Inpres Nomor 15 tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan. Dalam Inpres tersebut, ditegaskan adanya pengawasan melekat. Selanjutnya juga ditegaskan adanya pengawasan fungsional yang merupakan kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga/Badan/Unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan melalui kegiatan pemeriksaan, pengujian, pengusutan dan penilaian.<br /><br /> 12). Keppres Nomor 31 Tahun 1983 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang telah disempurnakan dengan Keppres No. 110/2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I LPND, pasal 34 tentang Organisasi BPKP dan pasal 35 tentang Tugas Kepala dan Unit Eselon I BPKP yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Kepala BPKP No. Kep-06.00.00-080/ K/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPKP, Pasal 2 dinyatakan BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, dalam pasal 3 disebutkan BPKP menyelenggarakan fungsi: (a) pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan; (b) perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan; (c) koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPKP; (d) pemantauan, pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap kegiatan pengawasan keuangan dan pembangunan; (e) penyelenggaraan, pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan dan rumah tangga.<br /><br />Di samping tugas dan fungsi tersebut, dalam pasal 4 butir f BPKP mempunyai kewenangan lain yang melekat dan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu: (1) memasuki semua kantor, bengkel, gudang, bangunan, tempat-tempat penimbunan, dan sebagainya; (2) meneliti semua catatan, data elektronik, dokumen, buku perhitungan, surat-surat bukti, notulen rapat direksi/komisaris/panitia dan sejenisnya, hasil survei laporan-laporan pengelolaan, dan surat-surat lainnya yang diperlukan dalam pengawasan; (3) melakukan pengawasan kas, surat-surat berharga, gudang persediaan, dan lain-lain; (4) meminta keterangan tentang tindaklanjut hasil pengawasan baik hasil pengawasan BPKP sendiri, maupun pengawasan lembaga pengawasan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br /><br /> 13). Mengenai penyelenggaraan tugas pembantuan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 52 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan. Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa Pengawasan atas pelaksanaan tugas pembantuan dari pemerintah kepada daerah dan desa, dan Propinsi/Kabupaten kepada desa dilakukan oleh instansi pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya ayat (2) menyatakan bahwa hasil pengawasan terhadap penyelenggaraan tugas pembantuan baik yang dilakukan oleh instansi pengawas pemerintah daerah, disampaikan kepada Gubernur/ Bupati/Walikota dan kepada Menteri/Pimpinan LPND terkait dengan tembusan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.<br /><br /> 14). Peraturan Pemerintah No. 39/2001, dalam Pasal 11 tentang Pembinaan dan Pengawasan: (1) pengawasan atas penyelenggaraan kewenangan yang dilimpahkan kepada Gubernur dan atau Perangkat Pusat di daerah; (2) Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen dalam hal-hal tertentu dapat melimpahkan kewenangan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur; (3) Gubernur dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada peraturan perundang-undangan.<br /><br /> 15). Kepmendagri Nomor 17 tahun 2001, merupakan kebijakan pe-laksanaan dari Keppres No. 74 tahun 2001 yang memuat ketentuan tentang Pelimpahan Pengawasan Fungsional Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Gubernur. Gubernur selaku wakil pemerintah di Daerah, mempunyai kewenangan dalam melakukan pengawasan fungsional, yang antara lain: a) Melaksanakan penjabaran kebijakan pengawasan fungsional penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Wilayahnya; b) Melakukan koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan tindak lanjut hasil pengawasan fungsional penyelenggaraan Pemerintahan Kabupaten dan Kota; c) Menyelenggarakan pelaksanaan pengawasan fungsional terhadap penyelenggaraan Pemerintahan kabupaten dan Kota kecuali hal-hal yang dipandang perlu dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.<br /><br />Sehubungan dengan adanya kewenangan Gubernur tersebut, maka Gubernur wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengawasan fungsional kepada Menteri Dalam Negeri yang dilakukan secara berkala. Dalam hal-hal tertentu, apabila diminta oleh Menteri Dalam Negeri, Gubernur wajib melaporkan penyelenggaraan pengawasan fungsional di wilayahnya.<br /><br /> 16). Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, memuat ketentuan tentang Pedoman, Pengurusan, Pertanggungjawaban dan pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara penyusunan Anggaran pendapatan dan belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Berkaitan dengan pembinaan dan pelaksanaan pengawasan keuangan, terdapat beberapa ketentuan yang dianggap relevan dengan kajian ini, yakni:<br /><br />Pertama, Pembinaan. Pasal 94 memberikan arah bahwa pembinaan pengelolaan keuangan daerah propinsi, Kabupaten dan Kota dilakukan oleh Menteri Dalam negeri Negeri. Pembinaan dimaksud berupa pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, supervisi dan evaluasi dibidang pengelolaan keuangan daerah. Gubernur selaku Wakil Pemerintah melakukan pembinaan pengelolaan keuangan daerah kepada Kabupaten/Kota di wilayahnya dan tidak boleh bertentangan dengan pembinaan yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.<br /><br />Kedua, Pengawasan Keuangan. Pengawasan keuangan di daerah dilakukan oleh DPRD dan pejabat Internal yang diangkat oleh Kepala Daerah. Untuk menjamin pencapaian sasaran yang telah ditetapkan, DPRD melakukan pengawasan atas pelaksanaan APBD yang bukan bersifat pemeriksaan yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku.<br /><br />Kepala Daerah mengangkat pejabat yang bertugas melakukan pengawasan internal pengelolaan Keuangan Daerah; yang mencakup seluruh aspek keuangan daerah termasuk pengawasan terhadap tata laksana penyelenggaraan program, kegiatan dan Manajemen Pemerintahan Daerah. Pejabat pengawas internal melaporkan hasil pengawasannya kepada kepala Daerah. Pelaksanaan pengawasan internal ditetapkan oleh Kepala Daerah.<br /><br />Untuk menghindari terjadinya overlopping dalam pelaksanaan tugas pengawasan, Pejabat Internal yang ditunjuk dilarang untuk merangkap jabatan. Pejabat Pengawas Internal Pengelolaan Keuangan Daerah tidak diperkenankan merangkap jabatan lain di Pemerintah Daerah, seperti menjadi anggota Tim atau Panitia dalam rangka pelaksanaan APBD pada perangkat Daerah yang akan atau sedang diperiksanya.<br /><br />Kepala Daerah wajib memberikan ijin kepada aparat pengawas selain pejabat pengawas internal melakukan fungsi pengawasan pengelolaan keuangan daerah. Sebelum melakukan pengawasan, aparat pengawas terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan Pejabat Pengawas Internal.<br /><br />Dalam rangka pengawasan keuangan daerah Propinsi, Peraturan Daerah tentang APBD dan Perhitungan APBD serta Keputusan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD Perubahan APBD dan Perhitungan APBD beserta lampirannya disampaikan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri paling lambat 15 (lima belas) hari setelah ditetapkan. Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dapat membatalkan Peraturan Daerah atau Keputusaan Kepala Daerah. Pembatalan Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah dapat dilakukan terhadap sebagian atau seluruh bagian, kelompok, jenis, objek, rincian objek tertentu dalam APBD apabila bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan atau peraturan perundang-undangan lainnya, dituangkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden.<br /><br />Dalam rangka pengawasan keuangan Daerah Kabupaten/Kota, Peraturan Daerah atau Keputusan Bupati/Walikota tentang APBD, perubahan APBD dan perhitungan APBD beserta lampirannya disampaikan kepada Gubernur selaku Wakil Pemerintah paling lambat 15 (lima belas) hari setelah ditetapkannya. Gubernur dapat membatalkan Peraturan Daerah dan atau Keputusan Bupati/Walikota, apabila bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan atau peraturan perundang-undangan lainnya. Pembatalan peraturan daerah atau keputusan Bupati/Walikota dapat dilakukan terhadap sebagian atau seluruh bagian, kelompok, jenis, objek, rincian objek, tertentu dalam APBD, yang dituangkan dalam Keputusan Gubernur.<br /><br />17). Keppres Nomor 8 tahun 2004 tentang Perubahan atas Keppres Nomor 101 tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keppres No. 47 tahun 2003. Dalam pasal 8 butir a disebutkan dalam melaksanakan tugas, Meneg Pan menyelenggarakan fungsi kebijakan kebijakan Pemerintah di bidang pendayagunaan aparatur negara yang meliputi program, kelembagaan, sumber daya manusia aparatur, ketatalaksanaan, pelayanan publik, pengawasan, dan akuntabilitas aparatur. Selanjutnya, dalam pasal 9 dijelaskan dalam menyelenggarakan fungsi Menegpan mempunyai kewenangan antara lain penetapan kebijakan kelembagaan aparatur Negara dan jabatan fungsional pegawai negeri sipil serta koordinasi kebijakan pelaksanaan pengawasan. <br /><br />18). Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 129 menyatakan Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan daerah kepada pemerintah daerah yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. <br /><br /> Selanjutnya Pasal 130 Ayat (1) menyatakan pembinaan seba-gaimana dimaksud dalam Pasal 129 meliputi pemberian pedo-man, bimbingan, supervise, konsultasi, pendidikan, pelatihan , serta penelitian dan pengembangan.<br /><br /> Pasal 131 menyatakan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 untuk Kabupaten/Kota dikoordinasikan oleh Gubernur selaku wakil pemerintah.<br /><br /> Pasal 132 menyatakan DPRD melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).<br /><br /> Pasal 133 menyatakan Pengawasan pengelolaan keuangan daerah berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. <br /><br />Selanjutnya Pasal 134 ayat (1) menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, kepala daerah mengatur dan menyeleng-garakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan daerah yang dipimpinnya. Ayat (2) menyatakan bahwa penga-turan dan penyelenggaraan sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.<br /><br />19). Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 308 menyatakan bahwa pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan pengelolaan keuangan daerah kepada pemerintah daerah yang dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri.<br /><br /> Selanjutnya Pasal 309 Ayat (1) menyatakan bahwa pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 meliputi pemberian pedoman, bimbingan, supervise, konsultasi, pendidikan dan pelatihan.<br /><br /> Pasal 310 menyatakan bahwa pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309 ayat (1) untuk Kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Gubernur selaku wakil pemerintah.<br /><br /> Pasal 311 Ayat (1) menyatakan DPRD melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Ayat (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan pemeriksaan tetapi pengawasan yang lebih mengarah untuk menjamin pencapaian sasaran yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang APBD.<br /><br /> Pasal 312 menyatakan bahwa pengawasan pengelolaan keuangan daerah berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.<br /><br />Pasal 313 ayat (1) menyatakan dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, kepala daerah mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan daerah yang dipimpinnya. Selanjutnya ayat (2) menyebutkan bahwa pengen-dalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan proses yang dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai mengenai pencapaian tujuan pemerintah daerah yang tercermin dari keandalan laporan keuangan, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan program dan kegiatan serta dipatuhinya peraturan perundang-undangan. Sedangkan ayat (3) menyebut-kan bahwa pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya memenuhi criteria sebagai berikut: (a) terciptanya lingkungan pengendalian yang sehat; (b) terseleng-garanya penilaian risiko; (c) terselenggaranya aktivitas pengendalian; (d) terselenggaranya sistem informasi dan komunikasi; dan (e) terselenggaranya kegiatan pemantauan pengendalian.<br /> </div>MARSONOhttp://www.blogger.com/profile/01129113131791804414noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8966885912739434754.post-11113689636279803002009-02-11T22:32:00.000-08:002009-02-11T22:40:38.788-08:00IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH NO 60 TAHUN 2008 TENTANG SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH (SPIP) : SEBUAH PENEKANAN KEMBALI KOleh : Marsono *)<br /><br /><br /><div align="justify">Pendahuluan<br /><br />Reformasi dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan negara secara mendasar telah dimulai sejak dilakukannya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Reformasi sistem penyelenggaraan pemerintahan negara tersebut menjadi konfigurasi dan referensi bagi bangsa Indonesia, mengingat reformasi mencakup proses demokratisasi, penegakan hukum, otonomi dan desentralisasi, serta penciptaan penyelenggaraan kepemerintahan yang baik.<br /><br />Salah satu upaya dalam penciptaan kepemerintahan yang baik tersebut, antara lain adalah melalui penyempurnaan kebijakan pengelolaan keuangan negara, yaitu melalui paket peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara yang meliputi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Paket peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara tersebut, membawa implikasi perlunya sistem pengelolaan keuangan negara yang lebih akuntabel dan transparan.<br /><br />Dalam upaya penyempurnaan sistem pengelolaan keuangan negara, daqn sebagai tindak lanjut Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Sistem Pengendalian Intern ini dilandasi pada pemikiran bahwa Sistem Pengendalian Intern melekat sepanjang kegiatan, dan dipengaruhi oleh sumber daya manusia, serta harus dapat memberikan keyakinan yang memadai. Hal ini baru dapat dicapai jika seluruh tingkat pimpinan menyelenggarakan kegiatan pengendalian atas keseluruhan kegiatan di instansi masing-masing. Dengan demikian, maka penyelenggaraan kegiatan pada suatu Instansi Pemerintah, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, sampai dengan pertanggungjawaban, harus dilaksanakan secara tertib, terkendali, serta efisien dan efektif.<br />__________________________<br />*) Ahli Peneliti Madya pada Pusat Kajian Manajemen Pelayanan LAN</div><div align="justify"><br />Disamping itu, sistem Pengendalian Internal mempunyai arti yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan. Pengendalian internal yang melekat pada fungsi manajerial ditujukan untuk memastikan dan menjamin bahwa visi, misi, tujuan, sasaran, program serta kegiatan dapat terlaksana dan mencapai hasil dengan baik. Dalam implementasinya pengendalian internal pada hakekatnya adalah segala upaya yang dilakukan dalam suatu organisasi untuk mengarahkan seluruh kegiatan agar tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif, efisien dan ekonomis, segala sumber daya dimanfaatkan dan dilindungi, data dan informasi serta laporan dapat dipercaya dan disajikan secara wajar, serta ditaatinya segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br /><br /><br />Kebijakan Sistem Pengenalian Intern<br /><br />Beberapa kebijakan yang terkait dengan upaya optimalisasi pengelolaan keuangan negara secara transparan dan akuntabel tersebut, serta terkait dengan sistem pengendalian intern antara lain adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dimana dalam Pasal 58 Ayat (1) dijelaskan bahwa ”dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah secara menyeluruh”.<br /><br />Selanjutnya dalam Pasal 33 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, menyebutkan bahwa ”untuk meningkatkan keandalan laporan keuangan dan kinerja, setiap entitas pelaporan dan akuntansi wajib menyelenggarakan sistem pengendalian intern sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait”.<br /><br />Sesungguhnya sejak tahun 2004 pemerintah telah menerbitkan kebijakan pada tataran teknis yang terkait dengan pelaksanaan pengendalian intern, yaitu Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/46/M.PAN/4/2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Melekat, yang menurut keputusan tersebut merupakan padanan istilah pengendalian intern. Dalam pedoman tersebut disebutkan beberapa aspek pengendalian intern, meliputi: (!) pengorganisasian; (2) personil; (3) kebijakan; (4) perencanaan; (5) prosedur; (6) pencatatan; (7) pelaporan; dan (8) supervisi dan review intern.<br /><br />Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 134 Ayat (1) menyebutkan bahwa ”dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, kepala daerah mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintahan daerah yang dipimpinnya; dan Ayat (2) menyatakan bahwa pengaturan dan penyelenggaraan sistem pengendalian intern berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.<br /><br />Sebagai tindaklanjut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tersebut di atas, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Terkait dengan pelaksanaan SPI, Pasal 313 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 menyatakan bahwa: (1) dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, kepala daerah mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah daerah yang dipimpinnya; (2) pengendalian intern merupakan proses yang dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai mengenai pencapaian tujuan pemerintah daerah yang tercermin dari keandalan laporan keuangan, efisiensi dan efektivitas pelaksanaan program dan kegiatan serta dipatuhinya peraturan perundang-undangan; serta (3) pengendalian intern sekurang-kurangnya memenuhi kriteria sebagai berikut: (a) terciptaya lingkungan pengendalian yang sehat; (b) terselenggaranya penilaian risiko; dan (c) terselenggaranya aktivitas pengendalian.<br /><br />Selanjutnya kebijakan yang secara khusus mengatur tentang penyelenggaraan sistem pengendalian intern adalah Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). Dalam PP Nomor 60 Tahun 2008 tersebut antara lain mengatur mengenai: (1) ketentuan umum; (2) unsur sistem pengendalian intern; dan (3) penguatan efektivitas penyelenggaraan sistem pengendalian intern pemerintah.<br /><br /></div><div align="justify">Konsepsi Sistem Pengenalian Intern<br /><br />Di dalam wacana pengawasan intern yang berkembang dewasa ini, pengendalian intern telah ditempatkan pada fokus perhatian pengawasan intern. Hal tersebut tampak dari definisi pengawasan intern sebagai suatu kegiatan pengujian yang obyektif dalam rangka peningkatan kinerja organisasi dan pemberian rekomendasi yang independent untuk meningkatkan efektivitas operasionalisasi organisasi dengan cara meningkatkan efektivitas manajemen risiko, pengendalian, dan proses governance.<br /><br />Jadi pengembangan dan pengujian atas keandalan pengendalian intern merupakan bagian tugas yang seharusnya menjadi prioritas bagi para pengawas intern. Bahkan setelah dikembangkan konsep struktur pengendalian intern oleh apa yang dikenal sebagai Commission of Sponsoring Organization on treadway (COSO), kepedulian besar pengawas intern terhadap keandalan pengendalian intern merupakan penanda dari pergeseran paradigma pengawas intern dari yang bercitra sebagai ”watchdog” menjadi yang bercitra pembantu manajemen untuk mencapai kinerja yang bermutu (quality assurance). Berdasarkan konsep COSO, sistem pengendalian intern melingkup beberapa komponen yang saling terkait sebagai berikut: (a) lingkungan pengendalian (control environment); (b) penilaian/penaksiran risiko (risk assesment); (c) aktivitas pengendalian (control activities); (d) informasi dan komunikasi (information and communication) ; serta (e) monitoring.<br /><br />Adapun mengenai definisi sistem pengendalian intern, dalam Understanding Internal Control dari Office of Financial Management, State of Michigan, (t.th.) disebutkan bahwa pengendalian intern merupakan tanggungjawab setiap orang dalam organisasi. Pengendalian intern yang efektif merupakan built in part dalam proses manajemen, yang meliputi: perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian. Pengendalian intern menjaga organisasi tetap pada jalur pencapaian misi, dan meminimalisir berbagai penyimpangan dan secara operasional mendorong efektivitas dan efisiensi, mengurangi kerugian-kerugian, memastikannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta memastikan reliabilitas pelaporan keuangan.<br /><br />Selanjutnya The Rutteman Report, UK (1994), mendefinisikan sistem pengendalian intern sebagai suatu keseluruhan sistem pengendalian, keuangan dan non keuangan, yang dibentuk dalam rangka menyediakan keyakinan yang layak mengenai: (a) efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan operasional; (b) pengendalian keuangan internal; dan (c) kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.<br /><br />Definisi sistem pengendalian intern menurut Pasal 1 butir (1) PP Nomor 60 Tahun 2008 adalah” proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan”.<br /><br />Sedangkan Pasal 1 butir (2) menyebutkan bahwa “Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang selanjutnya disingkat SPIP, adalah Sistem Pengendalian Intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah”. Selanjutnya dalam penjelasan PP 60 tahun 2008 disebutkan bahwa unsur sistem pengendalian intern dalam Peraturan Pemerintah ini mengacu pada unsur sistem pengendalian intern yang telah dipraktikkan di lingkungan pemerintahan di berbagai negara, yang meliputi:<br /><br />a. Lingkungan pengendalian;<br />Pimpinan Instansi Pemerintah dan seluruh pegawai harus menciptakan dan memelihara lingkungan dalam keseluruhan organisasi yang menimbulkan perilaku positif dan mendukung terhadap pengendalian intern dan manajemen yang sehat.<br /><br />b. Penilaian risiko;<br />Pengendalian intern harus memberikan penilaian atas risiko yang dihadapi unit organisasi baik dari luar maupun dari dalam.<br /><br />c. Kegiatan pengendalian;<br />Kegiatan pengendalian membantu memastikan bahwa arahan pimpinan Instansi Pemerintah dilaksanakan. Kegiatan pengendalian harus efisien dan efektif dalam pencapaian tujuan organisasi.<br /><br />d. Informasi dan komunikasi;<br />Informasi harus dicatat dan dilaporkan kepada pimpinan Instansi Pemerintah dan pihak lain yang ditentukan. Informasi disajikan dalam suatu bentuk dan sarana tertentu serta tepat waktu sehingga memungkinkan pimpinan Instansi Pemerintah melaksanakan pengendalian dan tanggung jawabnya.<br /><br />e. Pemantauan;<br />Pemantauan harus dapat menilai kualitas kinerja dari waktu ke waktu dan memastikan bahwa rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya dapat segera ditindaklanjuti. Untuk memperkuat dan menunjang efektivitas penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern dilakukan pengawasan intern dan pembinaan penyelenggaraan SPIP.<br /><br />Pengawasan intern merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengendalian intern yang berfungsi melakukan penilaian independen atas pelaksanaan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah. Lingkup pengaturan pengawasan intern mencakup kelembagaan, lingkup tugas, kompetensi sumber daya manusia, kode etik, standar audit, pelaporan, dan telaahan sejawat. Pembinaan penyelenggaraan SPIP meliputi penyusunan pedoman teknis penyelenggaraan, sosialisasi, pendidikan dan pelatihan, dan pembimbingan dan konsultansi SPIP, serta peningkatan kompetensi auditor aparat pengawasan intern pemerintah.<br /><br /><br />Implementasi Sistem Pengendalian Intern Menuntut Komitmen dan Peran Aktif Kepemimpinan Sektor Publik<br /><br />Secara konseptual implementasi sistem pengendalian intern menuntut adanya komitmen dan peran aktif para pimpinan publik pada setiap level dan tingkatan organisasi. Kepemimpinan publik mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi sektor publik. Kepemimpinan sektor publik pada dasarnya ada di semua tingkat pemerintahan yang bersifat sistemik dan institusional. Sistemik artinya terkait dengan banyak orang yang bekerja berdasarkan suatu sistem dan pada suatu tingkatan tertentu dalam hierarkhi pemerintahan. Sedangkan institusional artinya melibatkan banyak orang dalam kepemimpinan tersebut dan masing-masing memiliki posisi dalam institusi tersebut. Oleh karena itu kepemimpinan sektor publik mempunyai keterkaitan yang sangat erat dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Sehingga pemimpin di sektor publik haruslah memiliki kemampuan untuk menciptakan suatu kerjasama di antara sistem yang ada dalam suatu pemerintahan (Andi Gani : 2005).<br /><br />Berkaitan dengan peran kepemimpinan sektor publik, Veithzal Rivai (2004) menyatakan bahwa peran kepemimpinan dapat diartikan sebagai seperangkat perilaku yang diharapkan dilakukan oleh seseorang dengan kedudukan sebagai pemimpin. Dari perspektif manajemen stratejik, peran kepemimpinan sektor publik dibagi ke dalam 3 (tiga) bagian, yaitu: (a) Pathfinding, yaitu peran untuk menentukan visi dan misi organisasi yang pasti; (b) Aligning, yaitu peran untuk memastikan bahwa struktur, sistem dan proses operasional organisasi memberikan dukungan pada pencapaian visi dan misi; serta (c) Empowering, yaitu peran untuk menggerakkan semangat dalam diri orang-orang dalam mengekpresikan bakat, kecerdikan dan kreativitas untuk mampu mengerjakan apapun dan konsisten dengan prinsip-prinsip yang disepakati.<br /><br />Mengingat faktor pentingnya peran kepemimpinan dalam peningkatan kinerja organisasi sebagaimana telah disebutkan di atas, maka implementasi sistem pengendalian internal sangat membutuhkan komitment dan peran aktif pemimpin pada setiap level kepemimpinan. Oleh karena penerapan pengendalian intern yang efektif pada hakekatnya merupakan built in part dalam proses manajemen, yang meliputi: perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian. Disamping itu keberhasilan pengawasan terhadap program-program pembangunan tidak hanya menjadi tanggungjawab lembaga-lembaga pengawasan yang secara formal mempunyai kewenangan dan tanggungjawab dalam bidang pengawasan, akan tetapi juga peran pimpinan dalam melaksanakan pengendalian internal di lingkungan instansi pemerintah.<br /><br />Berkaitan dengan adanya tuntutan komitmen, peran dan tanggungjawab pimpinan dalam implementasi sistem pengendalian intern tersebut, Pasal 4 PP 60 Tahun 2008 menyatakan bahwa Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menciptakan dan memelihara lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif dalam lingkungan kerjanya, melalui: (1) penegakan integritas dan nilai etika; (2) komitmen terhadap kompetensi; (3) kepemimpinan yang kondusif; (4) pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan; (5) pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat; (6) penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia; (7) perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif; dan (8) hubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait.<br /><br />Sedangkan terkait dengan substansi pengendalian, Pasal 18 Ayat (1) menyebutkan bahwa pimpinan Instansi Pemerintah wajib menyelenggarakan kegiatan pengendalian sesuai dengan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah yang bersangkutan. Pada Ayat (2) disebutkan pula bahwa penyelenggaraan kegiatan pengendalian tersebut sekurang-kurangnya memiliki karakteristik sebagai berikut: (a) kegiatan pengendalian diutamakan pada kegiatan pokok Instansi Pemerintah; (b) kegiatan pengendalian harus dikaitkan dengan proses penilaian risiko; (c) kegiatan pengendalian yang dipilih disesuaikan dengan sifat khusus Instansi Pemerintah; (d) kebijakan dan prosedur harus ditetapkan secara tertulis; (e) prosedur yang telah ditetapkan harus dilaksanakan sesuai yang ditetapkan secara tertulis; dan (f) kegiatan pengendalian dievaluasi secara teratur untuk memastikan bahwa kegiatan tersebut masih sesuai dan berfungsi seperti yang diharapkan.<br /><br /><br />Selanjutnya pada Ayat (3) menyebutkan bahwa kegiatan pengendalian meliputi: (1) reviu atas kinerja Instansi Pemerintah yang bersangkutan; (2) pembinaan sumber daya manusia; (3) pengendalian atas pengelolaan sistem informasi; (4) pengendalian fisik atas aset; (5) penetapan dan reviu atas indikator dan ukuran kinerja; (6) pemisahan fungsi; (7) otorisasi atas transaksi dan kejadian yang penting; (8) pencatatan yang akurat dan tepat waktu atas transaksi dan kejadian; (9) pembatasan akses atas sumber daya dan pencatatannya; (10) akuntabilitas terhadap sumber daya dan pencatatannya; dan (11) dokumentasi yang baik atas Sistem Pengendalian Intern serta transaksi dan kejadian penting.<br /><br />Terkait dengan Pasal 18 Ayat (3) butir (2) pimpinan instansi pemerintah wajib melakukan pembinaan sumber daya manusia. Dalam melakukan pembinaan sumber daya manusia, pimpinan instansi pemerintah harus sekurang-kurangnya: (a) mengkomunikasikan visi, misi, tujuan, nilai, dan strategi instansi kepada pegawai; (b) membuat strategi perencanaan dan pembinaan sumber daya manusia yang mendukung pencapaian visi dan misi; dan (c) membuat uraian jabatan, prosedur rekrutmen, program pendidikan dan pelatihan pegawai, sistem kompensasi, program kesejahteraan dan fasilitas pegawai, ketentuan disiplin pegawai, sistem penilaian kinerja, serta rencana pengembangan karir.<br /><br />Dari beberapa ketentuan mengenai implementasi sistem pengendalian intern pemerintah sebagaimana telah disebutkan diatas, maka pengendalian internal pada hakekatnya merupakan fungsi manajemen yang harus dijalankan oleh setiap pimpinan. Dengan terselenggaranya aktivitas pengendalian internal, maka instansi pemerintah diyakini akan dapat: (a) mencegah dan mendeteksi terjadinya korupsi; (b) mendeteksi dan mengungkapkan fakta serta menindaklanjuti penyimpangan; (c) meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan; serta (d) meningkatkan kinerja individu dan organisasi secara signifikan.<br /><br /><br />Penutup<br /><br />Dengan telah dikelurkannya Perturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), maka implementasi sistem pengendalian intern telah memiliki landasan hukum yang kuat serta telah terpenuhinya ketentuan Pasal 58 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menyatakan bahwa ”sistem pengendalian intern ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”. Dengan demikian, Presiden selaku Kepala Pemerintahan dapat mengatur dan menyelenggarakan pengendalian intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh.<br /><br />Selanjutnya dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, dengan telah ditetapkannya Perturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), Gubernur dan Bupati/Walikota selaku Kepala Daerah dapat mengatur dan menyelenggarakan pengendalian intern di lingkungan pemerintahan daerah masing-masing secara menyeluruh.<br /><br /><br /><br />Daftar Pustaka<br /><br />Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.<br /><br />Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.<br /><br />Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara.<br /><br />Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).<br /><br />Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.<br /><br />Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/46/M.PAN/4/2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Melekat.<br /><br />Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.<br /><br />Lembaga Administrasi Negara, Evaluasi Kebijakan Pengawasan Internal dan Eksternal: Sistem Pengendalian Internal, Jakarta, 2006.<br /><br /><br />Andi Gani, Kepemimpinan Sektor Publik Dalam Perspektif Tindakan Kolektif (Collective Action), PPS UNIBRAW Malang, 2005.<br /><br />Rivai, Veithzal, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004.<br /><br /><a href="http://www.coso/">http://www.coso/</a> Internal Control Framework Resources, 2008.<br /><br />Www. The Rutteman Report, The Rutteman Working Group, UK, 1994.<br /><br />State of Michigan (t.th.),. Understanding Internal Control, Office of Financial Management. </div>MARSONOhttp://www.blogger.com/profile/01129113131791804414noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8966885912739434754.post-64164335425705209222009-02-11T22:18:00.000-08:002009-02-11T22:30:56.817-08:00UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK: MELALUI KEBIJAKAN BADAN LAYANAN UMUM (BLU)Oleh: Marsono *)<br />Pendahuluan<br /> <br /><div align="justify"> Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan upaya negara untuk memenuhi kebutuhan dasar dari hak-hak setiap warga negara atas barang, jasa, dan pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Terkait dengan pelayanan publik dimaksud, Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan kepada negara untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara demi kesejahteraannya, sehingga efektivitas penyelenggaraan suatu pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan pelayanan publik.<br /> Disadari bahwa kondisi penyelenggaraan pelayanan publik saat ini masih dihadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai. Hal ini terlihat dari masih banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat baik secara langsung maupun melalui media massa, terkait dengan prosedur yang berbelit-belit, tidak ada kepastian jangka waktu, biaya yang harus dikeluarkan, persyaratan yang tidak transparan, petugas yang tidak profesional, sehingga menimbulkan citra yang kurang baik terhadap pemerintah. <br /> Sejalan dengan langkah-langkah revitalisasi BUMN, maka dalam rangka mengurangi birokrasi dan sekaligus meningkatkan kualitas layanan pemerintah kepada masyarakat, pemerintah telah mengembangkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sebagai tindaklanjut Pasal 69 Ayat (7) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.<br /> Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum tersebut, pada hakekatnya adalah merupakan bagian paket reformasi di bidang keuangan negara. Salah satu dari reformasi yang paling menonjol adalah pergeseran dari pengganggaran tradisional ke penganggaran berbasis kinerja. Dengan berbasis kinerja ini, mulai dirintis arah yang jelas bagi penggunaan dana pemerintah, berpindah dari sekedar membiayai masukan (inputs) atau proses ke pembayaran terhadap apa yang akan dihasilkan (outputs). Orientasi pada outputs semakin menjadi praktik yang dianut luas oleh pemerintahan modern di berbagai negara. Mewiraswastakan pemerintah (enterprising the government) adalah paradigma yang memberi arah yang tepat bagi keuangan sektor publik. Dalam kaitan ini, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menekankan basis kinerja dalam penganggaran, memberi landasan yang penting bagi orientasi baru tersebut di Indonesia.<br />_______________________________________________________________________________________________<br /> *) Ahli Peneliti Madya Pada Pusat Kajian Manajemen Pelayanan LAN<br /><br />Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara membuka koridor baru bagi penerapan basis kinerja ini di lingkungan pemerintah. Dengan Pasal 68 dan Pasal 69 dari undang-undang tersebut, instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Dengan pola pengelolaan keuangan BLU, fleksibilitas diberikan dalam rangka pelaksanaan anggaran, termasuk pengelolaan pendapatan dan belanja, pengelolaan kas, dan pengadaan barang/jasa. Kepada BLU juga diberikan kesempatan untuk mempekerjakan tenaga profesional non PNS serta kesempatan pemberian imbalan jasa kepada pegawai sesuai dengan kontribusinya. Tetapi sebagai pengimbang, BLU dikendalikan secara ketat da-<br />lam perencanaan dan penganggarannya, serta dalam pertanggungja-wabannya. Dalam Peraturan Pemerintah ini, BLU wajib menghitung harga pokok dari layanannya dengan kualitas dan kuantitas yang distandarkan oleh menteri teknis pembina. Demikian pula dalam pertanggungjawabannya, BLU harus mampu menghitung dan menyajikan anggaran yang digunakannya dalam kaitannya dengan layanan yang telah direalisasikan. Oleh karena itu, BLU berperan sebagai agen dari menteri/pimpinan lembaga induknya. Kedua belah pihak menandatangani kontrak kinerja (a contractual performance agreement), di mana menteri/pimpinan lembaga induk bertanggung jawab atas kebijakan layanan yang hendak dihasilkan, dan BLU bertanggung jawab untuk menyajikan layanan yang diminta.<br /> Melalui tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa hal berkaitan dengan Badan Layanan Umum (BLU), yaitu: (1) Kebijakan terkait dengan Badan Layanan Umum; (2) Konsepsi Badan Layanan Umum; (3) Implementasi pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum; (4) Pengelolaan Asset / Barang Inventaris BLU; (5) serta Beberapa kendala penerapan Badan Layanan Umum.<br /><br />Kebijakan Terkait dengan Badan Layanan Umum<br /><br /> Pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) secara umum telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, khususnya Pasal 68 dan Pasal 69. Pasal 68 Ayat (1) menyebutkan bahwa Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Selanjutnya Pasal 69 Ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa setiap Badan Layanan Umum wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan. Selanjutnya Ayat (2) menyebutkan bahwa Rencana Kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Badan Layanan Umum disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementerian Negara/Lembaga/Pemerintah Daerah. <br /> Selanjutnya untuk melaksanakan ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tersebut, pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, yang secara khusus mengatur mengenai tujuan, asas, persyaratan, penetapan dan pencabutan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU), penentuan standar dan tarif layanan, pengelolaan kepegawaian serta pengaturan mengenai remunerasi bagi pengalola Badan Layanan Umum. <br /> Terkait dengan pembentukan Badan Layanan Umum, sebagai kebijakan teknis operasional Menteri Keuangan telah mengeluarkan 4 (empat) Peraturan Menteri Keuangan, yaitu: (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Persyaratan Administratif Dalam Rangka Pengusulan Dan Penetapan Satuan Kerja Instansi Pemerintah Untuk Menertapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum; (2) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tentang Kewenangan Pengadaan Barang/Jasa Pada Badan Layanan Umum; serta (3) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pembentukan Dewan Pengawas Pada Badan Layanan Umum; serta (4) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Pedoman Penetapan Remunerasi Bagi Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas dan Pegawai Badan Layanan Umum. <br /> Dalam konteks pembentukan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dimana dalam Pasal 1 butir 63 disebutkan bahwa Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah SKPD/unit kerja pada SKPD di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Selanjutnya terkait dengan pembentukan BULD, Pasal 146 menyatakan bahwa pemerintah daerah dapat membentuk BULD untuk: (a) menyediakan barang dan/atau jasa untuk layanan umum dan (b) mengelola dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat.<br /> Sebagai tindaklanjut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah tersebut, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Permendagri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dimana pada Pasal 325 disebutkan bahwa BULD dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Selanjutnya Pasal 326 Ayat (1) menyebutkan bahwa Pembinaan keuangan BULD dilakukan oleh PPKD dan pembinaan teknis dilakukan oleh Kepala SKPD yang bertanggung jawab atas urusan pemerintahan yang bersangkutan. Lebih lanjut pada Pasal 329 disebutkan bahwa pedoman teknis mengenai pengelolaan keuangan BULD diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri setelah memperoleh pertimbangan Menteri Keuangan.<br /><br /><br />Konsepsi Badan Layanan Umum<br /> <br /> Berdasarkan Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum disebutkan bahwa Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut BLU, adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.<br />Selanjutnya disebutkan bahwa BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan. BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah dan karenanya status hukum BLU tidak terpisah dari kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah sebagai instansi induk.<br /> Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa BLU adalah merupakan salah satu alat /instrumen untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik melalui penerapan manajemen keuangan berbasis pada hasil, dan bukanlah semata-mata sarana untuk mengejar fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan. Sehingga untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat/publik dengan tarif/ harga layanan yang terjangkau masyarakat, dengan kualitas layanan yang baik, cepat, efisien dan efektif diharapkan dapat dicapai melalui pengelolaan keuangan yang fleksibel berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat.<br /> Selanjutnya bagaimana suatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan dengan PPK-BLU. Ada beberapa persyaratan bagi satuan kerja instansi pemerintah untuk dapat diizinkan mengelola keuangan dengan PPK-BLU, yaitu apabila memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif.<br /> Persyaratan substantif, yaitu apabila instansi pemerintah yang bersangkutan menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan: (a) penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum; (b) pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau (c) pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat.<br /> Persyaratan teknis, yaitu antara lain meliputi: (a) kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana direkomendasikan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya; dan (b) kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU.<br /> Persyaratan administratif, yaitu berupa: (a) pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat; (b) pola tata kelola; (c) rencana strategis bisnis; (d) laporan keuangan pokok; (e) standar pelayanan minimum; dan (f) laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.<br /> Untuk menjamin keberhasilan BLU, maka operasionalisasi BLU harus tetap mengacu kepada: (a) standar layanan; (b) tarif layanan; dan (c) akuntabilitas kinerja. Terkait dengan standar layanan, maka instansi pemerintah yang menerapkan PPK-BLU harus menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembara/guber-nur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Di samping itu standar pelayanan minimum harus pula mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan.<br />Sedangkan yang terkait dengan tarif layanan, yaitu bahwa BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan. Imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan tersebut, harus ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Dalam penetapan tarif layanan mempertimbangkan: (a) kontinuitas dan pengembang-an layanan; (b) daya beli masyarakat; (c) asas keadilan dan kepatutan; dan (d) kompetisi yang sehat. <br />Adapun yang berkaitan dengan akuntabilitas kinerja, maka pimpinan BLU harus bertanggungjawab terhadap kinerja operasional BLU sesuai dengan tolok ukur yang ditetapkan dalam RBA dan melaporkan kinerja operasional BLU secara terintegrasi dengan laporan keuangan.<br /><br />Impelementasi Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum<br /><br />Pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya.<br /> Disamping itu juga ada beberapa bentuk keistimewaan/privilese atau pengecualian dalam hal fleksibilitas pengelolaan keuangan BLU Bertahap, antara lain sama dengan BLU penuh, terkecuali dalam hal: (a) Penggunaan langsung PNBP secara penuh. Karena besaran persentase PNBP yang dapat digunakan langsung adalah sebesar persentase maksimum yang ditetapkan dalam KMK penetapan satker untuk menerapkan PK BLU; (b) Pengelolaan Investasi; (c) Pengelolaan Utang; dan (d) Pengadaan barang/jasa.<br />Pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum secara garis besar sebagai berikut:<br />Pertama. Perencanaan dan Penganggaran. Untuk menyusun rencana keuangan, BLU menyusun rencana strategis bisnis lima tahunan dengan mengacu kepada Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL) atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Selanjutnya BLU menyusun Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) BLU tahunan, dalam bentuk dokumen perencanaan bisnis dan penganggaran yang berisi program, kegiatan, target kinerja, dan anggaran suatu BLU dengan mengacu kepada rencana strategis bisnis yang telah ditetapkan. RBA BLU disusun berdasarkan kebutuhan dan kemampuan pendapatan yang diperkirakan akan diterima dari masyarakat, badan lain, dan APBN/APBD.<br />Kedua. Tahap selanjutnya BLU mengajukan RBA kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD untuk dibahas sebagai bagian dari RKA-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD disertai dengan usulan standar pelayanan minimum dan biaya dari keluaran yang akan dihasilkan.<br /> Ketiga. RBA BLU yang telah disetujui oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD selanjutnya diajukan kepada Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, sebagai bagian RKA-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD.<br /> Keempat. Menteri Keuangan/PPKD, sesuai dengan kewenangannya, mengkaji kembali standar biaya dan anggaran BLU dalam rangka pemrosesan RKA-KL, rencana kerja dan anggaran SKPD, atau Rancangan APBD sebagai bagian dari mekanisme pengajuan dan penetapan APBN/APBD. BLU menggunakan APBN/APBD yang telah ditetapkan sebagai dasar penyesuaian terhadap RBA menjadi RBA definitif.<br /> Kelima. Pelaksanaan Anggaran. RBA BLU definitif digunakan sebagai acuan dalam menyusun dokumen pelaksanaan anggaran BLU untuk diajukan kepada Menteri Keuangan/PPKD sesuai dengan kewenangannya. Dokumen pelaksanaan anggaran BLU paling sedikit mencakup seluruh pendapatan dan belanja, proyeksi arus kas, serta jumlah dan kualitas jasa dan/atau barang yang akan dihasilkan oleh BLU. Menteri Keuangan/PPKD mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran BLU paling lambat tanggal 31 Desember menjelang awal tahun anggaran. Dalam hal dokumen pelaksanaan anggaran BLU belum disahkan oleh Menteri Keuangan/PPKD, BLU dapat melakukan pengeluaran paling tinggi sebesar angka dokumen pelaksanaan anggaran tahun lalu. Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan/PPKD menjadi lampiran dari perjanjian kinerja yang ditandatangani oleh menteri/pimpinan lembara/gubernur/bupati/walikota dengan pimpinan BLU yang bersangkutan. Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan/PPKD, menjadi dasar bagi penarikan dana yang bersumber dari APBN/APBD oleh BLU.<br /> Keenam. Pendapatan BLU. Penerimaan anggaran yang bersumber dari APBN/APBD diberlakukan sebagai pendapatan BLU. Sedangkan pendapatan yang diperoleh dari jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat dan hibah tidak terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan pendapatan operasional BLU. Kedua jenis pendapatan tersebut dilaporkan sebagai pendapatan negara bukan pajak kementerian/lembaga atau pendapatan bukan pajak pemerintah daerah.<br /> Ketujuh. Belanja BLU. Belanja BLU terdiri dari unsur biaya yang sesuai dengan struktur biaya yang dituangkan dalam RBA definitif. Pengelolaan belanja BLU diselenggarakan secara fleksibel berdasarkan kesetaraan antara volume kegiatan pelayanan dengan jumlah pengeluaran, mengikuti praktek bisnis yang sehat. Belanja BLU dilaporkan sebagai belanja barang dan jasa kementerian negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.<br /> Kedelapan. Pengelolaan Kas BLU. Pengelolaan kas BLU dilaksanakan berdasarkan praktek bisnis yang sehat. Dalam mengelola kas, BLU menyelenggarakan hal-hal sebagai berikut: (a) merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas; (b) melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan; (c) menyimpan kas dan mengelola rekening bank; (d) melakukan pembayaran; (e) mendapatkan sumber dana untuk menutup defisit jangka pendek; dan (f) memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan.<br /> Kesembilan. Investasi BLU. LU tidak dapat melakukan investasi jangka panjang, kecuali atas persetujuan Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Keuntungan yang diperoleh dari investasi jangka panjang merupakan pendapatan BLU.<br /><br /><br />Pengelolaan Asset / Barang Inventaris BLU<br /> <br /> Pengelolaan barang oleh BLU dilakukan berdasarkan prinsip efisiensi dan ekonomis, sesuai dengan praktek bisnis yang sehat. Barang inventaris milik BLU dapat dialihkan kepada pihak lain dan/atau dihapuskan berdasarkan pertimbangan ekonomis. Pengalihan kepada pihak lain dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, atau dihibahkan. Penerimaan hasil penjualan barang inventaris tersebut merupakan pendapatan BLU. Pengalihan dan/atau penghapusan barang inventaris dilaporkan kepada menteri/ pimpinan lembaga/kepala SKPD terkait. BLU tidak dapat mengalihkan dan/atau menghapus aset tetap, kecuali atas persetujuan pejabat yang berwenang. Kewenangan pengalihan dan/atau penghapusan aset tetap tersebut diselenggarakan berdasarkan jenjang nilai dan jenis barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penerimaan hasil penjualan aset tetap sebagai akibat dari pengalihan merupakan pendapatan BLU. Pengalihan dan/atau penghapusan aset tetap dilaporkan kepada menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD terkait. Penggunaan aset tetap untuk kegiatan yang tidak terkait langsung dengan tugas pokok dan fungsi BLU harus mendapat persetujuan pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.<br /><br /><br />Beberapa Kendala Penerapan Badan Layanan Umum<br /><br /> Sejak diberlakukannnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum yang mendasari dibentuknya Badan Layanan Umum, diketahui bahwa hingga saat ini pembentukan unit BLU oleh instansi pemerintah baik pusat maupun daerah masih relatif rendah. Tidak dapat dipungkiri bahwa unit-unit BLU maupun BLUD yang ada saat ini sebagian besar masih didominasi oleh jenis pelayanan dibidang kesehatan, khususnya Rumah Sakit Umum Pusat maupun Rumah Sakit Umum Daerah. Sedangkan pada jenis layanan lainnya masih relatif sangat kecil. Namun demikian, seiring dengan tuntuan kualitas pelayanan, beberapa BLU maupun BLUD di bidang jasa transportasi telah dibentuk, seperti misalnya BLU Transjakarta Busway di Jakarta.<br /> Beberapa kendala terkait dengan pelaksanaan Badan Layanan Umum antara lain meliputi : (1) usulan penetapan BLU berbelit-belit dan lama; (2) terkait dengan SDM; dan (3) adanya Dewan Pengawas. <br /> Persyaratan pengajuan usul satker menjadi satker yang menerapkan PK BLU, memang telah diatur secara jelas dalam PP No. 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum maupun dalam PMK No. 7 tahun 2006 tentang Persyaratan Administratif Dalam Rangka Pengusulan dan Penetapan Satuan Kerja Instansi Pemerintah untuk menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Dalam pasal 5 ayat (7) PP No. 23 tahun 2005 juga dinyatakan bahwa Menteri Keuangan/Gubernur/Bupati/Walikota, sesuai kewenangannya, memberi keputusan penetapan atau surat penolakan terhadap usulan penetapan BLU paling lambat 3 (tiga) bulan sejak diterima dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD dan untuk usulan instansi di lingkungan pemerintah pusat ditegaskan pula dalam PMK No. 7 tahun 2006 pasal 13 ayat (1) usulan tersebut diterima lengkap dari Menteri Pimpinan Lembaga. Namun dalam praktiknya masih banyak pihak yang mengeluhkan bahwa usulan penetapan BLU berbelit-belit dan memakan waktu yang cukup lama.<br />Sedangkan berkaitan dengan tenaga BLU yang non Pegawai Negeri Sipil (PNS) bagaimana aturannya, mengingat pejabat dan pegawai Badan Layanan Umum (BLU) dapat berasal dari PNS dan/atau tenaga profesional non PNS. Sedangkan statusnya bisa kontrak atau tetap (Pasal 33 PP No. 23 Tahun 2005). Sementara pengisian tenaga profesional non PNS dilaksanakan sesuai dengan Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa berdasarkan Peraturan Menpan (Permenpan) No. 02 Tahun 2007 Tentang Pedoman Organisasi BLU. Disamping itu, berkaitan dengan organisasi BLU hingga saat ini Kementerian PAN tidak memberikan penjelasan yang memadai terhadap keluarnya Permenpan No. 02 Tahun 2007 tersebut. Sementara BKN juga sampai saat ini belum mengeluarkan kebijakan terkait dengan pengisian tenaga profesional yang berasal dari PNS. Kenyataannya bahwa reformasi birokrasi dengan semangat kewirausahaan di instansi pemerintah, belum diikuti dengan konsep yang jelas. Misalnya terkait dengan bagaimana pengadaan, hak pegawai, jaminan sosial, pola karier, dan lain sebagainya. Disamping itu, keharusan untuk membentuk Dewan Pengawas terkait dengan pembinaan dan pengawasan terhadap BLU, juga menjadi beban tersendiri bagi BLU mengingat pengawasan terkait dengan operasionalisasi dan pengelolaan keuangan BLU juga harus diperiksa oleh lembaga pemeriksa ekstern sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. <br /><br /><br />Penutup<br /><br /> Penerapan kebijakan Badan Layanan Umum (BLU) pada hakekatnya merupakan upaya pemerintah untuk mewirausahakan penyelenggaraan pemerintahan khususnya di bidang pelayanan publik. Beberapa dukungan kebijakan terhadap penerapan BLU tersebut pada dasarnya sudah cukup memadai, namun demikian perkembangan pembentukan BLU di unit-unit pelayanan publik relatif lambat. Kelambatan pembentukan BLU di unit-unit pelayanan publik sampai saat ini, tidak terlepas dari beberapa kendala teknis yang antara lain meliputi: (1) usulan penetapan BLU yang masih berbelit-belit dan lama; (2) terkait dengan SDM pengelola BLU; dan (3) keharusan dalam pembentukan Dewan Pengawas BLU. Ini semua menjadi bahan evaluasi terhadap upaya peningkatan kualitas pelayanan publik yang secara terus-menerus dilakukan pemerintah untuk dapat memberikan pelayanan yang cepat, tepat dan biaya yang murah kepada seluruh lapisan masyarakat.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Daftar Pustaka<br /><br />Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.<br />Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.<br />Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.<br />Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.<br />Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.<br />Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Persyaratan Administratif Dalam Rangka Pengusulan Dan Penetapan Satuan Kerja Instansi Pemerintah Untuk Menertapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.<br />Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2006 tentang Kewenangan Pengadaan Barang/Jasa Pada Badan Layanan Umum.<br />Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pembentukan Dewan Pengawas Pada Badan Layanan Umum.<br />Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Pedoman Penetapan Remunerasi Bagi Pejabat Pengelola, Dewan Penga-was dan Pegawai Badan Layanan Umum. <br />Permendagri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.<br /><a href="http://masarie.wordpress.com/2007/12/10/tenaga">http://masarie.wordpress.com/2007/12/10/tenaga</a> BLU non PNS: Bagaimana Aturannya.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> </div>MARSONOhttp://www.blogger.com/profile/01129113131791804414noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8966885912739434754.post-69846204230303809582009-02-11T22:06:00.000-08:002009-02-11T22:14:06.727-08:00PENGEMBANGAN MANAJEMEN KINERJA INDIVIDUAL<div align="justify">Manajemen kinerja individual merupakan satu kesatuan dari manajemen kinerja organisasi secara keseluruhan. Artinya bahwa kinerja organisasi dicapai melalui sinergi/penggabungan dari berbagai pencapaian kinerja individual dalam unit organisasi tersebut. Untuk itu, maka kinerja individual ditetapkan atas dasar Rencana Kinerja Tahunan (RKT) Unit Kerja yang diturunkan dari Rencana Kinerja Tahunan (RKT) Organisasi. Sedangkan Rencana Kinerja Tahunan (RKT) Organisasi diturunkan dari Inisiatif Stratejik. Inisiatif stratejik disusun dengan mengacu kepada Peta Stratejik, faktor-faktor kritis penentu keberhasilan, dan diukur keberhasilannya menggunakan Indikator Kinerja Utama (IKU). </div><div align="justify"><br />Dalam implementasinya keterkaitan antara kinerja individual dengan kinerja organisasi sesungguhnya dimulai dari Rencana Kinerja Tahunan (RKT) unit kerja, mengingat Rencana Kinerja Individual pada hakekatnya diturunkan dari RKT unit kerja. Dalam prosesnya sebagai berikut:<br /><br />Rencana Kinerja Tahunan Unit<br /><br />Rencana kinerja tahunan unit adalah merupakan proses penetapan kegiatan tahunan dan indikator kinerja unit berdasarkan program, kebijakan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam rencana strategik. Rencana kinerja tahunan unit disusun berdasarkan Rencana kinerja tahunan organisasi. <br /><br />Rencana Kinerja Individual<br /><br />Rencana kinerja tahunan individual ditetapkan atas dasar rencana kinerja tahunan unit kerja. Pada tahapan ini unit kerja harus menetapkan kriteria kinerja, target kinerja, dan indikator kinerja sebagai bentuk kontrak kinerja atau komitmen kinerja.<br /><br />Contoh rencana kinerja tahunan individual sebagaimana pada formulir berikut:<br /><br />RENCANA KINERJA TAHUNAN INDIVIDUAL<br />Nama:<br />Unit :<br />Sasaran<br /><br />Kegiatan<br /><br />Uraian<br />Indikator<br />Rencana<br />Capaian<br />%<br />Program<br />Uraian<br />Indikator Kinerja<br />Satuan<br />Rencana Tingkat Capaian<br />Keterangan<br />(1)<br />(2)<br />(3)<br />(4)<br />(5)<br />(6)<br />(7)<br />(8)<br />(9)<br /><br /><br /><br />Penetapan Kinerja Individual</div><div align="justify"><br />Penetapan target-target individual pegawai diturunkan dari target-target unit kerja yang telah disusun pada tahapan sebelumnya. Dengan cara ini, target-target yang ditetapkan untuk individual akan berkorelasi dengan target-target unit kerja dan bahkan organisasi secara keseluruhan.<br />Penetapan target dilakukan dengan proses dua arah antara bawahan dan atasan, artinya bahwa ada komunikasi yang baik dalam menetapkan target-target. Jika seorang pegawai tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk memenuhi target yang telah ditetapkan unit kerja, maka unit kerja wajib untuk memberikan kesempatan bagi pegawai untuk menyesuaikan target-targetnya atau memberikan kesempatan bagi pegawai dimaksud untuk melakukan pengembangan diri melalui training-training yang disediakan oleh organisasi. Penetapan target-target individual dirumuskan dalam satu bentuk format perjanjian kinerja tertentu yang ditetapkan oleh organisasi.<br />Contoh Penetapan Kinerja Individual sebagaimana pada Formulir berikut:<br /><br /><br />PENETAPAN KINERJA INDIVIDUAL<br />Nama:<br />Unit :<br />No.<br />Program Utama<br />Sasaran<br />Indikator Kinerja Output<br />Indikator Kinerja Outcome<br />Anggaran<br />(Rp)<br />Uraian<br />Target<br />Uraian<br />Target<br />(1)<br />(2)<br />(3)<br />(4)<br />(5)<br />(6)<br />(7)<br />(8)<br /><br /><br /><br />Menyusun Standar Kinerja Individual</div><div align="justify"><br />Sebuah standar kinerja individual, minimal harus berisi dua jenis informasi dasar tentang apa yang harus dilakukan dan seberapa baik harus melakukannya. Standar kinerja individual merupakan identifikasi tugas pekerjaan, kewajiban, dan elemen kritis yang menggambarkan apa yang harus dilakukan. Standar kinerja terfokus pada seberapa baik tugas akan dilaksanakan. Agar standar kinerja berdaya guna, setiap standar/kriteria harus dinyatakan secara cukup jelas sehingga pimpinan dan bawahan mengetahui apa yang diharapkan dan apakah telah tercapai atau tidak. Standar haruslah dinyatakan secara tertulis dalam upaya menggambarkan kinerja yang sungguh-sungguh memuaskan untuk tugas yang kritis maupun yang tidak kritis.<br /></div><div align="justify"> </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Penetapan disain pengembangan pegawai.</div><div align="justify"><br />Untuk keperluan pencapaian target organisasi, maka organisasi instansi pemerintah juga harus menyusun rencana dan disain pendidikan dan pelatihan bagi pegawai-pegawainya dalam rangka memenuhi kebutuhan kompetensi pegawai yang diperlukan dalam rangka mewujudkan target-targetnya. Setelah inisiatif ditetapkan, seluruh unit harus menetapkan pula kebutuhan kompetensi pegawai yang diperlukan dan kompetensi pegawai yang mereka miliki, sehingga dapat diperoleh informasi mengenai kesenjangan kompetensi yang seharusnya diisi melalui pelatihan-pelatihan. Melalui informasi inilah kemudian dirancangan pengembangan pegawai sesuai kebutuhan.<br /><br />Melaksanakan Rencana Kinerja Individual</div><div align="justify"> </div><div align="justify"><br />Setelah sasaran kinerja individual ditetapkan (IPP, SKU, atau KPI) maka proses berikutnya adalah memantau, menelaah, dan mengevaluasi pencapaian kinerja individual tersebut. Dalam melakukan kegiatan ini, atasan memainkan peran yang sangat penting. Boleh dikatakan, atasan adalah pemilik utama proses pemantauan, penelaahan, dan penilaian kinerja individual tersebut. Pemantauan kinerja individual tersebut sebaiknya dilakukan setiap saat, sedangkan proses evaluasi (review) dilakukan secara bulanan. Hal ini dalam rangka untuk secara cepat meluruskan setiap penyimpangan dalam pencapaian sasaran kinerja individual yang terjadi.<br /></div><div align="justify"> </div><div align="justify">Mengukur Kinerja Individual</div><div align="justify"> </div><div align="justify"><br />Pengukuran kinerja individual merupakan suatu proses penilaian terhadap pencapaian tujuan dan sasaran individual yang telah ditentukan, termasuk informasi atas efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas barang dan jasa, perbandingan hasil kegiatan dengan target, dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan.<br />Contoh Pengukuran Kinerja Individual sebagaimana pada Formulir berikut:<br /><br />PENGUKURAN KINERJA INDIVIDUAL<br />Nama:<br />Unit :<br /><br />Kegiatan <br /><br /><br />Program<br />Uraian<br />Indikator<br />Kinerja<br />Satuan<br /><br />Rencana Tingkat Capaian (Target)<br />Realisasi<br />Prosentase Pencapaian Rencana Tingkat Capaian (target)<br />Keterangan<br />(1)<br />(2)<br />(3)<br />(4)<br />(5)<br />(6)<br />(7)<br />(8)<br /><br /> <br /><br />Evaluasi Kinerja Individual </div><div align="justify"> </div><div align="justify">Evaluasi kinerja individual pada hakekatnya dilakukan untuk mewujudkan objektif organisasi sekaligus mengoptimalkan potensi individu pegawai. Disamping itu, penilaian kinerja individual juga dalam rangka mengetahui sejauhmana masing-masing individu pegawai memberikan kontribusi nyata terhadap kinerja organisasi. Evaluasi kinerja individual sangat terkait dengan bagaimana memberi penghargaan atas kinerja tersebut. Oleh karena itu manajemen kinerja sangat terkait dengan kompensasi. Prinsip penting dalam pemberian kompensasi adalah kinerja yang tinggi harus diberi penghargaan (reward) yang layak, sedangkan kinerja yang buruk diberi hukuman (punishment) yang adil dan manusiawi. Pemberian penghargaan dan hukuman tersebut tidak dapat dilakukan tanpa alasan yang rasional, oleh karena itu diperlukan adanya penilaian kinerja individual yang obyektif dan akurat. Secara garis besar mekanisme reward dan punishment melibatkan beberapa variabel, antara lain: (1) motivasi; (2) kinerja; (3) kepuasan; dan (4) penghargaan dan hukuman. </div>MARSONOhttp://www.blogger.com/profile/01129113131791804414noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8966885912739434754.post-56344380258820829952009-02-11T21:55:00.000-08:002009-02-11T22:03:32.299-08:00PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEM<div align="justify"><br />DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA<br /><br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br /><br />Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 154 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah;<br /><br />Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;<br />2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);<br /><br />MEMUTUSKAN:<br /><br />Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH.<br /><br />BAB I<br />KETENTUAN UMUM<br />Pasal 1<br />Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:<br />1. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.<br />2. Pembangunan daerah adalah pemanfaatan sumber daya yang dimiliki untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang nyata, baik dalam aspek pendapatan, kesempatan kerja, lapangan berusaha, akses terhadap pengambilan kebijakan, berdaya saing, maupun peningkatan indeks pembangunan manusia.<br />3. Perencanaan Pembangunan Daerah adalah suatu proses penyusunan tahapan-tahapan kegiatan yang melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan didalamnya, guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial dalam suatu lingkungan wilayah/daerah dalam jangka waktu tertentu.<br />4. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah yang selanjutnya disingkat RPJPD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 20 (dua puluh) tahun.<br />5. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah yang selanjutnya disingkat RPJMD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 5 (lima) tahun.<br />6. Rencana Kerja Pembangunan Daerah yang selanjutnya disingkat RKPD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun.<br />7. Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah yang selanjutnya disingkat dengan Renstra-SKPD adalah dokumen perencanaan SKPD untuk periode 5 (lima) tahun.<br />8. Rencana kerja-Satuan Kerja Perangkat Daerah atau disebut Renja-SKPD adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1 (satu) tahun.<br />9. Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan.<br />10. Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan visi.<br />11. Strategi adalah langkah-langkah berisikan program-program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi.<br />12. Kebijakan adalah arah/tindakan yang diambil oleh pemerintah daerah untuk mencapai tujuan.<br />13. Program adalah instrumen kebijakan yang berisi satu atau lebih kegiatan yang dilaksanakan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk mencapai sasaran dan tujuan serta untuk memperoleh alokasi anggaran atau kegiatan masyarakat yang dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.<br />14. Prakiraan maju adalah perhitungan kebutuhan dana untuk tahun-tahun berikutnya dari tahun anggaran yang direncanakan guna memastikan kesinambungan kebijakan yang telah disetujui untuk setiap program dan kegiatan.<br />15. Indikator kinerja adalah alat ukur untuk menilai keberhasilan pembangunan secara kuantitatif dan kualitatif.<br />16. Musyawarah Perencanaan Pembangunan yang selanjutnya disingkat Musrenbang adalah forum antarpemangku kepentingan dalam rangka menyusun rencana pembangunan daerah.<br />17. Pemangku kepentingan adalah pihak-pihak yang langsung atau tidak langsung mendapatkan manfaat atau dampak dari perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah.<br />18. Menteri adalah Menteri Dalam Negeri.<br />19. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah selanjutnya disingkat DPRD atau dengan sebutan lain adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.<br /><br />BAB II<br />PRINSIP PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH<br />Pasal 2<br />(1) Perencanaan pembangunan daerah merupakan satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional.<br />(2) Perencanaan pembangunan daerah dilakukan pemerintah daerah bersama para pemangku kepentingan berdasarkan peran dan kewenangan masing-masing.<br />(3) Perencanaan pembangunan daerah mengintegrasikan rencana tata ruang dengan rencana pembangunan daerah.<br />(4) Perencanaan pembangunan daerah dilaksanakan berdasarkan kondisi dan potensi yang dimiliki masing-masing daerah, sesuai dinamika perkembangan daerah dan nasional.<br /><br />Pasal 3<br />Perencanaan pembangunan daerah dirumuskan secara transparan, responsif, efisien, efektif, akuntabel, partisipatif, terukur, berkeadilan dan berkelanjutan.<br /><br />BAB III<br />TAHAPAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH<br />Bagian Kesatu<br />Umum<br />Pasal 4<br />(1) Rencana pembangunan daerah meliputi:<br />a. RPJPD;<br />b. RPJMD; dan<br />c. RKPD.<br />(2) Rencana Pembangunan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun dengan tahapan:<br />a. penyusunan rancangan awal;<br />b. pelaksanaan Musrenbang;<br />c. perumusan rancangan akhir; dan<br />d. penetapan rencana.<br /><br />Bagian Kedua<br />Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah<br />Paragraf 1<br />Penyusunan Rancangan Awal<br />Pasal 5<br />(1) Bappeda menyusun rancangan awal RPJPD.<br />(2) RPJPD provinsi memuat visi, misi dan arah pembangunan daerah dengan mengacu pada RPJP Nasional.<br />(3) RPJPD kabupaten/kota memuat visi, misi dan arah pembangunan daerah dengan mengacu pada RPJP Nasional dan RPJPD provinsi.<br />(4) Dalam menyusun rancangan awal RPJPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bappeda meminta masukan dari SKPD dan pemangku kepentingan.<br /><br /><br /><br />Paragraf 2<br />Pelaksanaan Musrenbang<br />Pasal 6<br />(1) Musrenbang dilaksanakan untuk membahas rancangan awal RPJPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4).<br />(2) Musrenbang dilaksanakan oleh Bappeda dengan mengikutsertakan pemangku kepentingan.<br />(3) Musrenbang dilaksanakan dengan rangkaian kegiatan penyampaian, pembahasan dan penyepakatan rancangan awal RPJPD.<br />(4) Pelaksanaan Musrenbang ditetapkan oleh kepala daerah.<br /><br />Paragraf 3<br />Perumusan Rancangan Akhir<br />Pasal 7<br />(1) Rancangan akhir RPJPD dirumuskan berdasarkan hasil Musrenbang.<br />(2) Rancangan akhir RPJPD dirumuskan paling lama 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya RPJPD yang sedang berjalan.<br />(3) Rancangan akhir RPJPD disampaikan ke DPRD dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah tentang RPJPD paling lama 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya RPJPD yang sedang berjalan.<br /><br />Paragraf 4<br />Penetapan<br />Pasal 8<br />(1) DPRD bersama kepala daerah membahas Rancangan Peraturan Daerah tentang RPJPD.<br />(2) RPJPD ditetapkan dengan Peraturan Daerah setelah berkonsultasi dengan Menteri.<br /><br />Pasal 9<br />(1) Gubernur menyampaikan Peraturan Daerah tentang RPJPD Provinsi paling lama 1 (satu) bulan kepada Menteri.<br />(2) Bupati/walikota menyampaikan Peraturan Daerah tentang RPJPD Kabupaten/Kota paling lama 1 (satu) bulan kepada gubernur dengan tembusan kepada Menteri.<br /><br />Pasal 10<br />(1) Gubernur menyebarluaskan Peraturan Daerah tentang RPJPD Provinsi kepada masyarakat.<br />(2) Bupati/walikota menyebarluaskan Peraturan Daerah tentang RPJPD Kabupaten/Kota kepada masyarakat.<br /><br />Bagian Ketiga<br />Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah<br />Paragraf 1<br />Penyusunan Rancangan Awal<br /><br />Pasal 11<br />(1) Bappeda menyusun rancangan awal RPJMD.<br />(2) RPJMD memuat visi, misi dan program kepala daerah.<br />(3) Rancangan awal RPJMD berpedoman pada RPJPD dan memperhatikan RPJM Nasional, kondisi lingkungan strategis di daerah, serta hasil evaluasi terhadap pelaksanaan RPJMD periode sebelumnya.<br /><br />Pasal 12<br />(1) Kepala SKPD menyusun Rancangan Renstra-SKPD sesuai dengan rancangan awal RPJMD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).<br />(2) Rancangan Renstra-SKPD disampaikan oleh Kepala SKPD kepada Bapppeda.<br />(3) Bappeda menyempurnakan rancangan awal RPJMD menjadi rancangan RPJMD dengan menggunakan rancangan Renstra-SKPD sebagai masukan.<br /><br />Paragraf 2<br />Pelaksanaan Musrenbang<br />Pasal 13<br />(1) Musrenbang dilaksanakan untuk membahas rancangan RPJMD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3).<br />(2) Musrenbang dilaksanakan oleh Bappeda dengan mengikutsertakan pemangku kepentingan.<br />(3) Musrenbang dilaksanakan dengan rangkaian kegiatan penyampaian, pembahasan dan penyepakatan rancangan RPJMD.<br />(4) Pelaksanaan Musrenbang ditetapkan oleh kepala daerah.<br /><br />Paragraf 3<br />Perumusan Rancangan Akhir<br />Pasal 14<br />(1) Rancangan akhir RPJMD dirumuskan oleh Bappeda berdasarkan hasil Musrenbang.<br />(2) Pembahasan rumusan rancangan akhir RPJMD dipimpin oleh Kepala Daerah.<br /><br />Paragraf 4<br />Penetapan<br />Pasal 15<br />(1) RPJMD ditetapkan dengan Peraturan Daerah setelah berkonsultasi dengan Menteri.<br />(2) Peraturan Daerah tentang RPJMD ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan setelah kepala daerah dilantik.<br />(3) Peraturan Daerah tentang RPJMD Provinsi disampaikan kepada Menteri.<br />(4) Peraturan Daerah tentang RPJMD Kabupaten/Kota disampaikan kepada gubernur dengan tembusan kepada Menteri.<br /><br />Pasal 16<br />(1) Gubernur menyebarluaskan Peraturan Daerah tentang RPJMD Provinsi kepada masyarakat.<br />(2) Bupati/walikota menyebarluaskan Peraturan Daerah tentang RPJMD Kabupaten/Kota kepada masyarakat.<br /><br />Bagian Keempat<br />Rencana Kerja Pembangunan Daerah<br />Paragraf 1<br />Penyusunan Rancangan Awal<br /><br />Pasal 17<br />(1) Bappeda menyusun rancangan awal RKPD.<br />(2) RKPD merupakan penjabaran dari RPJMD.<br />(3) Kepala Bappeda mengkoordinasikan penyusunan rancangan RKPD menggunakan rancangan Renja-SKPD dengan Kepala SKPD.<br />(4) Rancangan RKPD memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, program prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya serta prakiraan maju dengan mempertimbangkan kerangka pendanaan dan pagu indikatif, baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah maupun sumber-sumber lain yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.<br />(5) Penetapan program prioritas berorientasi pada pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dan pencapaian keadilan yang berkesinambungan dan berkelanjutan.<br />(6) Rancangan RKPD menjadi bahan Musrenbang RKPD.<br /><br />Paragraf 2<br />Pelaksanaan Musrenbang<br />Pasal 18<br />(1) Musrenbang RKPD merupakan wahana partisipasi masyarakat di daerah.<br />(2) Musrenbang RKPD dilaksanakan oleh Bappeda setiap tahun dalam rangka membahas Rancangan RKPD tahun berikutnya.<br />(3) Musrenbang RKPD provinsi dilaksanakan untuk keterpaduan antar-Rancangan Renja SKPD dan antar-RKPD kabupaten/kota dalam dan antarprovinsi.<br />(4) Musrenbang RKPD kabupaten/kota dilaksanakan untuk keterpaduan Rancangan Renja antar-SKPD dan antar-Rencana Pembangunan Kecamatan.<br /><br />Pasal 19<br />(1) Pelaksanaan Musrenbang RKPD provinsi difasilitasi oleh Departemen Dalam Negeri.<br />(2) Pelaksanaan Musrenbang RKPD kabupaten/kota difasilitasi oleh pemerintah provinsi.<br /><br />Pasal 20<br />(1) Musrenbang RKPD kabupaten/kota dimulai dari Musrenbang desa atau sebutan lain/kelurahan, dan kecamatan atau sebutan lain.<br />(2) Musrenbang RKPD provinsi dilaksanakan setelah Musrenbang kabupaten/kota.<br />(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Musrenbang diatur dengan Peraturan Menteri.<br /><br />Pasal 21<br />(1) Departemen Dalam Negeri menyelenggarakan pertemuan koordinasi pasca-Musrenbang RKPD provinsi.<br />(2) Pemerintah Provinsi menyelenggarakan pertemuan koordinasi pasca-Musrenbang RKPD kabupaten/kota.<br /><br />Paragraf 3<br />Perumusan Rancangan Akhir<br /><br />Pasal 22<br />(1) Hasil Musrenbang RKPD menjadi dasar perumusan rancangan akhir RKPD oleh Bappeda.<br />(2) Rancangan akhir RKPD disusun oleh Bappeda berdasarkan hasil Musrenbang RKPD, dilengkapi dengan pendanaan yang menunjukkan prakiraan maju.<br /><br />Paragraf 4<br />Penetapan<br />Pasal 23<br />(1) RKPD Provinsi ditetapkan dengan Peraturan Gubernur, dan RKPD kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota.<br />(2) Gubernur menyampaikan Peraturan Gubernur tentang RKPD Provinsi kepada Menteri.<br />(3) Bupati/walikota menyampaikan Peraturan Bupati/Walikota tentang RKPD Kabupaten/Kota kepada gubernur dengan tembusan kepada Menteri.<br />(4) RKPD dijadikan dasar penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.<br /><br />Pasal 24<br />(1) Gubernur menyebarluaskan Peraturan Gubernur tentang RKPD Provinsi kepada masyarakat.<br />(2) Bupati/walikota menyebarluaskan Peraturan Bupati/Walikota tentang RKPD Kabupaten/Kota kepada masyarakat.<br /><br />BAB IV<br />RENSTRA DAN RENJA SKPD<br />Pasal 25<br />(1) SKPD menyusun Renstra-SKPD.<br />(2) Renstra-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsinya.<br />(3) Penyusunan Renstra-SKPD berpedoman pada RPJMD dan bersifat indikatif.<br />(4) Kecamatan atau sebutan lain sebagai SKPD menyusun Renstra kecamatan dengan berpedoman pada RPJMD Kabupaten/Kota.<br /><br />Pasal 26<br />Renstra-SKPD ditetapkan dengan keputusan kepala SKPD.<br /><br />Pasal 27<br />(1) SKPD menyusun Renja-SKPD.<br />(2) Rancangan Renja-SKPD disusun dengan mengacu pada rancangan awal RKPD, Renstra-SKPD, hasil evaluasi pelaksanaan program dan kegiatan periode sebelumnya, masalah yang dihadapi, dan usulan program serta kegiatan yang berasal dari masyarakat.<br />(3) Rancangan Renja-SKPD memuat kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.<br />(4) Program dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi program dan kegiatan yang sedang berjalan, kegiatan alternatif atau baru, indikator kinerja, dan kelompok sasaran yang menjadi bahan utama RKPD, serta menunjukkan prakiraan maju.<br />(5) Rancangan Renja-SKPD dibahas dalam forum SKPD yang diselenggarakan bersama antarpemangku kepentingan untuk menentukan prioritas kegiatan pembangunan.<br /><br />Pasal 28<br />Renja SKPD ditetapkan dengan keputusan kepala SKPD.<br /><br />BAB V<br />TATA CARA PENYUSUNAN DOKUMEN<br />RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH<br />Bagian Kesatu<br />Sumber Data<br />Pasal 29<br />(1) Dokumen rencana pembangunan daerah disusun dengan menggunakan data dan informasi, serta rencana tata ruang.<br />(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:<br />a. penyelenggaraan pemerintah daerah;<br />b. organisasi dan tatalaksana pemerintahan daerah;<br />c. kepala daerah, DPRD, perangkat daerah, dan pegawai negeri sipil daerah;<br />d. keuangan daerah;<br />e. potensi sumber daya daerah;<br />f. produk hukum daerah;<br />g. kependudukan;<br />h. informasi dasar kewilayahan; dan<br />i. informasi lain terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah.<br /><br />Pasal 30<br />(1) Dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan data dan informasi secara optimal, daerah perlu membangun sistem informasi perencanaan pembangunan daerah.<br />(2) Sistem informasi perencanaan pembangunan daerah merupakan subsistem dari sistem informasi daerah sebagai satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan.<br />(3) Perangkat dan peralatan sistem informasi perencanaan pembangunan daerah harus memenuhi standar yang ditentukan oleh Menteri.<br /><br />Pasal 31<br />Rencana tata ruang merupakan syarat dan acuan utama penyusunan dokumen rencana pembangunan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br /><br />Bagian Kedua<br />Pengolahan Sumber Data<br />Pasal 32<br />(1) Data dan informasi, serta rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 diolah melalui proses:<br />a. analisis daerah;<br />b. identifikasi kebijakan nasional yang berdampak pada daerah;<br />c. perumusan masalah pembangunan daerah;<br />d. penyusunan program, kegiatan, alokasi dana indikatif, dan sumber pendanaan; dan<br />e. penyusunan rancangan kebijakan pembangunan daerah.<br />(2) Proses pengolahan data dan informasi serta rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui koordinasi dengan pemangku kepentingan.<br /><br />Paragraf 1<br />Analisis Daerah<br />Pasal 33<br />(1) Analisis daerah mencakup evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah periode sebelumnya, kondisi dan situasi pembangunan saat ini, serta keadaan luar biasa.<br />(2) Analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bappeda provinsi dan kabupaten/kota bersama pemangku kepentingan.<br />(3) Bappeda provinsi dan kabupaten/kota menyusun kerangka studi dan instrumen analisis serta melakukan penelitian lapangan sebelum menyusun perencanaan pembangunan daerah.<br /><br />Paragraf 2<br />Identifikasi Kebijakan Nasional Yang Berdampak Pada Daerah<br /><br /><br />Pasal 34<br />(1) Identifikasi kebijakan nasional yang berdampak pada daerah merupakan upaya daerah dalam rangka sinkronisasi pelaksanaan kebijakan dan program prioritas nasional dalam pembangunan daerah.<br />(2) Sinkronisasi kebijakan nasional dilakukan dengan melihat kesesuaian terhadap keberlanjutan program, dampak yang diinginkan dari sisi pencapaian target atau sasaran, tingkat keterdesakan, dan kemampuan anggaran.<br /><br />Paragraf 3<br />Perumusan Masalah Pembangunan Daerah<br />Pasal 35<br />(1) Masalah pembangunan daerah dirumuskan dengan mengutamakan tingkat keterdesakan dan kebutuhan masyarakat.<br />(2) Rumusan permasalahan disusun secara menyeluruh mencakup tantangan, ancaman, dan kelemahan, yang dihadapi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah.<br />(3) Penyusunan rumusan masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan anggaran prakiraan maju, pencapaian sasaran kinerja dan arah kebijakan ke depan.<br /><br />Paragraf 4<br />Penyusunan Program, Kegiatan, Alokasi Dana Indikatif<br />dan Sumber Pendanaan<br />Pasal 36<br />(1) Program, kegiatan dan pendanaan disusun berdasarkan:<br />a. pendekatan kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah serta perencanaan dan penganggaran terpadu;<br />b. kerangka pendanaan dan pagu indikatif;<br />c. program prioritas urusan wajib dan urusan pilihan yang mengacu pada standar pelayanan minimal sesuai dengan kondisi nyata daerah dan kebutuhan masyarakat.<br />(2) Program, kegiatan dan pendanaan disusun untuk tahun yang direncanakan disertai prakiraan maju sebagai implikasi kebutuhan dana.<br />(3) Sumber pendanaan pembangunan daerah terdiri atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan sumber lain yang sah.<br /><br />Pasal 37<br />Pedoman penyusunan perencanaan dan penganggaran terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.<br /><br />Paragraf 5<br />Penyusunan Rancangan Kebijakan Pembangunan Daerah<br /><br />Pasal 38<br />(1) Rancangan kebijakan pembangunan daerah yang telah disusun dibahas dalam forum konsultasi publik.<br />(2) Forum konsultasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diikuti oleh masyarakat dan para pemangku kepentingan.<br />(3) Rancangan kebijakan pembangunan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:<br />a. RPJPD;<br />b. RPJMD; dan<br />c. RKPD.<br />Pasal 39<br />Rancangan kebijakan pembangunan daerah sebagai hasil dari forum konsultasi publik dirumuskan menjadi rancangan awal Rencana Pembangunan Daerah oleh Bappeda bersama SKPD.<br /><br />Bagian Ketiga<br />Sistematika Rencana Pembangunan Daerah<br />Pasal 40<br />(1) Sistematika penulisan RPJPD, paling sedikit mencakup:<br />a. pendahuluan;<br />b. gambaran umum kondisi daerah;<br />c. analisis isu-isu strategis;<br />d. visi dan misi daerah;<br />e. arah kebijakan; dan<br />f. kaidah pelaksanaan.<br />(2) Sistematika penulisan RPJMD, paling sedikit mencakup:<br />a. pendahuluan;<br />b. gambaran umum kondisi daerah;<br />c. gambaran pengelolaan keuangan daerah serta kerangka pendanaan;<br />d. analisis isu-isu strategis;<br />e. visi, misi, tujuan dan sasaran;<br />f. strategi dan arah kebijakan;<br />g. kebijakan umum dan program pembangunan daerah;<br />h. indikasi rencana program prioritas yang disertai kebutuhan pendanaan;<br />i. penetapan indikator kinerja daerah; dan<br />j. pedoman transisi dan kaidah pelaksanaan.<br />(3) Sistematika RKPD paling sedikit mencakup :<br />a. pendahuluan;<br />b. evaluasi pelaksanaan RKPD tahun lalu;<br />c. rancangan kerangka ekonomi daerah beserta kerangka pendanaan;<br />d. prioritas dan sasaran pembangunan; dan<br />e. rencana program dan kegiatan prioritas daerah.<br />(4) Sistematika penulisan Renstra SKPD, paling sedikit mencakup:<br />a. pendahuluan;<br />b. gambaran pelayanan SKPD;<br />c. isu-isu strategis berdasarkan tugas pokok dan fungsi;<br />d. visi, misi, tujuan dan sasaran, strategi dan kebijakan;<br />e. rencana program, kegiatan, indikator kinerja, kelompok sasaran dan pendanaan indikatif; dan<br />f. indikator kinerja SKPD yang mengacu pada tujuan dan sasaran RPJMD.<br />(5) Sistematika penulisan Renja SKPD, paling sedikit mencakup:<br />a. pendahuluan;<br />b. evaluasi pelaksanaan Renja SKPD tahun lalu;<br />c. tujuan, sasaran, program dan kegiatan;<br />d. indikator kinerja dan kelompok sasaran yang menggambarkan pencapaian Renstra SKPD;<br />e. dana indikatif beserta sumbernya serta prakiraan maju berdasarkan pagu indikatif;<br />f. sumber dana yang dibutuhkan untuk menjalankan program dan kegiatan; dan<br />g. penutup.<br /><br />Bagian Keempat<br />Koordinasi Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah<br />Pasal 41<br />(1) Koordinasi penyusunan Renstra SKPD dan Renja SKPD dilakukan oleh masing-masing SKPD.<br />(2) Koordinasi penyusunan RPJPD, RPJMD dan RKPD dilakukan oleh Bappeda.<br />(3) Koordinasi penyusunan RPJPD, RPJMD dan RKPD antarkabupaten/kota dilakukan oleh gubernur.<br />(4) Koordinasi penyusunan RPJPD, RPJMD dan RKPD antarprovinsi dilakukan oleh Menteri.<br /><br />Pasal 42<br />(1) Tata cara koordinasi antarkabupaten/kota di dalam penyusunan rencana pembangunan daerah diatur lebih lanjut oleh gubernur.<br />(2) Tata cara koordinasi antarprovinsi di dalam penyusunan rencana pembangunan daerah diatur lebih lanjut oleh Menteri.<br /><br />BAB VI<br />PENGENDALIAN DAN EVALUASI<br />PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH<br />Bagian Kesatu<br />Pengendalian<br />Pasal 43<br />(1) Menteri melakukan pengendalian terhadap perencanaan pembangunan daerah antarprovinsi.<br />(2) Gubernur melakukan pengendalian terhadap perencanaan pembangunan daerah lingkup provinsi, antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi.<br />(3) Bupati/walikota melakukan pengendalian terhadap perencanaan pembangunan daerah lingkup kabupaten/kota.<br /><br />Pasal 44<br />Pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 meliputi pengendalian terhadap :<br />a. kebijakan perencanaan pembangunan daerah; dan<br />b. pelaksanaan rencana pembangunan daerah.<br /><br />Pasal 45<br />(1) Pengendalian oleh gubernur, bupati/walikota dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Bappeda untuk keseluruhan perencanaan pembangunan daerah dan oleh Kepala SKPD untuk program dan/atau kegiatan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.<br />(2) Pengendalian oleh Bappeda meliputi pemantauan, supervisi dan tindak lanjut penyimpangan terhadap pencapaian tujuan agar program dan kegiatan sesuai dengan kebijakan pembangunan daerah.<br />(3) Pemantauan pelaksanaan program dan/atau kegiatan oleh SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi realisasi pencapaian target, penyerapan dana, dan kendala yang dihadapi.<br />(4) Hasil pemantauan pelaksanaan program dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dalam bentuk laporan triwulan untuk disampaikan kepada Bappeda.<br />(5) Kepala Bappeda melaporkan hasil pemantauan dan supervisi rencana pembangunan kepada kepala daerah, disertai dengan rekomendasi dan langkah-langkah yang diperlukan.<br /><br />Bagian Kedua<br />Evaluasi<br />Pasal 46<br />(1) Menteri melakukan evaluasi terhadap perencanaan pembangunan daerah antarprovinsi.<br />(2) Gubernur melakukan evaluasi terhadap perencanaan pembangunan daerah lingkup provinsi, antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi.<br />(3) Bupati/walikota melakukan evaluasi terhadap perencanaan pembangunan daerah lingkup kabupaten/kota.<br /><br />Pasal 47<br />Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 meliputi evaluasi terhadap :<br />a. kebijakan perencanaan pembangunan daerah;<br />b. pelaksanaan rencana pembangunan daerah; dan<br />c. hasil rencana pembangunan daerah.<br />Pasal 48<br />(1) Evaluasi oleh gubernur, bupati/walikota dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Bappeda untuk keseluruhan perencanaan pembangunan daerah dan oleh Kepala SKPD untuk capaian kinerja pelaksanaan program dan kegiatan SKPD periode sebelumnya.<br /><br />(2) Evaluasi oleh Bappeda meliputi :<br />a. penilaian terhadap pelaksanaan proses perumusan dokumen rencana pembangunan daerah, dan pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan daerah; dan<br />b. menghimpun, menganalisis dan menyusun hasil evaluasi Kepala SKPD dalam rangka pencapaian rencana pembangunan daerah.<br /><br />(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menjadi bahan bagi penyusunan rencana pembangunan daerah untuk periode berikutnya.<br /><br />Pasal 49<br />Gubernur, bupati/walikota berkewajiban memberikan informasi mengenai hasil evaluasi pelaksanaan perencanaan pembangunan daerah kepada masyarakat.<br /><br />Bagian Ketiga<br />Perubahan<br />Pasal 50<br />(1) Rencana pembangunan daerah dapat diubah dalam hal:<br />a. hasil pengendalian dan evaluasi menunjukkan bahwa proses perumusan dan substansi yang dirumuskan belum sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan;<br />b. terjadi perubahan yang mendasar; atau<br />c. merugikan kepentingan nasional.<br />(2) Perubahan rencana pembangunan daerah ditetapkan dengan peraturan daerah.<br /><br />Pasal 51<br />Pedoman pengendalian dan evaluasi rencana pembangunan daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.<br /><br />Bagian Keempat<br />Masyarakat<br />Pasal 52<br />(1) Masyarakat dapat melaporkan program dan kegiatan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.<br />(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan data dan informasi yang akurat.<br />(3) Pemerintah daerah menindaklanjuti laporan dari masyarakat sebagaimana pada ayat (1) berdasarkan pertimbangan Kepala Bappeda dan Kepala SKPD.<br />(4) Mekanisme penyampaian dan tindak lanjut laporan dari masyarakat diatur lebih lanjut oleh pemerintah daerah.<br /><br />BAB VII<br />KETENTUAN PERALIHAN<br />Pasal 53<br />(1) Bagi daerah yang belum menyusun RPJPD, penyusunan RPJMD dapat mengacu pada dokumen rencana pembangunan daerah sebelumnya.<br />(2) Dokumen rencana pembangunan daerah yang telah disusun dan masih berlaku, tetap digunakan sampai tersusunnya rencana pembangunan daerah sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini.<br /><br />BAB VIII<br />KETENTUAN PENUTUP<br />Pasal 54<br />Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.<br /><br />Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.<br /><br />Ditetapkan di Jakarta<br />pada tanggal 4 Februari 2008<br />PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,<br /><br />ttd.<br /><br />DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO<br /><br />Diundangkan di Jakarta<br />pada tanggal 4 Februari 2008<br />MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA<br />REPUBLIK INDONESIA,<br /><br />ttd.<br /><br />ANDI MATTALATTA<br /><br /><br /><br />Salinan sesuai dengan aslinya<br />SEKRETARIAT NEGARA RI<br />Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan<br />Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,<br /><br /><br /><br />Wisnu SetiawanLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 21<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />PENJELASAN<br />ATAS<br />PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA<br />NOMOR 8 TAHUN 2008<br />TENTANG<br />TAHAPAN, TATA CARA PENYUSUNAN,<br />PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH<br /><br />I. UMUM<br /><br />Untuk menjamin penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, transparan, akuntabel, efisien dan efektif di bidang perencanaan pembangunan daerah, diperlukan adanya tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi perencanaan pembangunan daerah. Penerapan peraturan perundangan yang berkaitan dengan perencanaan daerah merupakan alat untuk mencapai tujuan pelayanan publik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Untuk itu, pelaksanaan otonomi daerah perlu mendapatkan dorongan yang lebih besar dari berbagai elemen masyarakat melalui perencanaan pembangunan daerah agar demokratisasi, transparansi, akuntabilitas dapat terwujud.<br />Penyelenggaraan tahapan, tata cara penyusunan pengendalian dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah dimaksudkan untuk:<br />Meningkatkan konsistensi antarkebijakan yang dilakukan berbagai organisasi publik dan antara kebijakan makro dan mikro maupun antara kebijakan dan pelaksanaan;<br />Meningkatkan transparansi dan partisipasi dalam proses perumusan kebijakan dan perencanaan program;<br />Menyelaraskan perencanaan program dan penganggaran;<br />Meningkatkan akuntabilitas pemanfaatan sumber daya dan keuangan publik;<br />Terwujudnya penilaian kinerja kebijakan yang terukur, perencanaan, dan pelaksanaan sesuai RPJMD, sehingga tercapai efektivitas perencanaan.<br />Penyelenggaraan tahapan, tata cara penyusunan, pengendalian dan evaluasi rencana daerah dilakukan dengan pendekatan politik, teknokratik, partisipatif, atas-bawah (top down) dan bawah-atas (bottom up)<br />Dilaksanakan tata cara dan tahapan perencanaan daerah bertujuan untuk mengefektifkan proses pemerintahan yang baik melalui pemanfaatan sumber daya publik yang berdampak pada percepatan proses perubahan sosial bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, atau terarahnya proses pengembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat, dan tercapainya tujuan pelayanan publik.<br />Penyelenggaraan tata cara dan tahapan perencanaan daerah mencakup proses perencanaan pada masing-masing lingkup pemerintahan (pusat, provinsi, kabupaten/kota) terdiri dari proses (1) penyusunan kebijakan, (2) penyusunan program, (3) Penyusunan alokasi pembiayaan, dan (4) monitoring dan evaluasi kinerja pelaksanaan kebijakan, rencana program, dan alokasi pembiayaan program.<br />Tata cara dan tahapan perencanaan daerah dilakukan oleh lembaga atau badan perencanaan di lingkup pemerintahan pusat dan daerah maupun unit organisasi publik, meliputi (1) lembaga negara dan lembaga daerah, (2) departemen/nondepartemen dan dinas/nondinas daerah.<br />Proses kegiatan penyelenggaraan perencanaan dilakukan baik pada masing-masing lingkup pemerintahan (pusat, provinsi, kabupaten/kota) maupun koordinasi antarlingkup pemerintahan melalui suatu proses dan mekanisme tertentu untuk mencapai tujuan nasional.<br />Proses penyelenggaraan perencanaan harus dapat memberikan arahan bagi peningkatan pengembangan sosial-ekonomi dan kemampuan masyarakat, oleh karena itu diperlukan adanya sinkronisasi antara rencana program/kegiatan oleh organisasi publik dengan rencana kegiatan masyarakat dan pemangku kepentingan.<br />Proses penyelenggaraan perencanaan perlu diikuti oleh adanya mekanisme pemantauan kinerja kebijakan, rencana program, dan pembiayaan secara terpadu bagi penyempurnaan kebijakan perencanaan selanjutnya; dan mekanisme koordinasi perencanaan horizontal dan vertikal yang lebih difokuskan pada komunikasi dan dialog antarlembaga perencanaan dengan prinsip kebersamaan, kesetaraan, dan saling ketergantungan satu sama lain.<br />Proses perencanaan dilaksanakan dengan memasukkan prinsip pemberdayaan, pemerataan, demokratis, desentralistik, transparansi, akuntabel, responsif, dan partisipatif dengan melibatkan seluruh unsur lembaga negara, lembaga pemerintah, masyarakat dan pemangku kepentingan.<br /><br />II. PASAL DEMI PASAL<br /><br />Pasal 1<br />Cukup jelas.<br />Pasal 2<br />Ayat (1)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (3)<br />Mengintegrasikan rencana tata ruang dengan rencana pembangunan daerah bertujuan untuk mencapai pemenuhan hak-hak dasar masyarakat sesuai dengan urusan dan kewenangan pemerintah daerah meningkatkan kesejahteraan rakyat.<br /><br />Ayat (4)<br />Cukup jelas.<br />Pasal 3<br />Yang dimaksud dengan:<br />“Transparan” adalah membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.<br />“Responsif” adalah dapat mengantisipasi berbagai potensi, masalah dan perubahan yang terjadi di daerah.<br />“Efisien” adalah pencapaian keluaran tertentu dengan masukan terendah atau masukan terendah dengan keluaran maksimal.<br />“Efektif” adalah kemampuan mencapai target dengan sumber daya yang dimiliki dengan cara atau proses yang paling optimal.<br />“Akuntabel” adalah setiap kegiatan dan hasil akhir dari perencanaan pembangunan daerah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangaan yang berlaku.<br />“Partisipatif” adalah merupakan hak masyarakat untuk terlibat dalam setiap proses tahapan perencanaan pembangunan daerah dan bersifat inklusif terhadap kelompok yang termarginalkan melalui jalur khusus komunikasi untuk mengakomodasi aspirasi kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses dalam pengambilan kebijakan.<br />“Terukur” adalah penetapan target kinerja yang akan dicapai dan cara-cara untuk mencapainya.<br />“Berkeadilan” adalah prinsip keseimbangan antarwilayah, sektor, pendapatan, gender dan usia.<br /><br />Pasal 4<br />Ayat (1)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (2)<br />Huruf a<br />Cukup jelas.<br />Huruf b<br />Yang dimaksud dengan “Musrenbang Daerah” adalah upaya penjaringan aspirasi masyarakat yang antara lain ditujukan untuk mengakomodasi aspirasi kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses dalam pengambilan kebijakan melalui jalur khusus komunikasi.<br />Huruf c<br />Cukup jelas.<br />Huruf d<br />Cukup jelas.<br />Pasal 5<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 6<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 7<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 8<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 9<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 10<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 11<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 12<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 13<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 14<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 15<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 16<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 17<br />Ayat (1)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (3)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (4)<br />Yang dimaksud dengan “program prioritas pembangunan daerah” adalah program yang menjadi kebutuhan mendesak sesuai dengan potensi, dana, tenaga, dan kemampuan manajerial yang dimiliki.<br />Yang dimaksud dengan “rencana kerja” adalah dokumen rencana yang memuat program dan kegiatan yang diperlukan untuk mencapai sasaran pembangunan, dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka anggaran.<br />Ayat (5)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (6)<br />Cukup jelas.<br />Pasal 18<br />Ayat (1)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (3)<br />Di dalam Musrenbang provinsi dibahas rancangan RKPD provinsi dan menyerasikan RKPD Provinsi dan RKPD Kabupaten/Kota, Rancangan Renja-KL dan RKP, tugas pembantuan, dekonsentrasi.<br />Ayat (4)<br />Di dalam Musrenbang Kabupaten/Kota dibahas rancangan RKPD Kabupaten/Kota berdasarkan Renja-SKPD hasil Forum SKPD dengan cara meninjau keserasian antara rancangan Renja-SKPD dengan kebutuhan masyarakat yang hasilnya digunakan untuk pemutakhiran Rancangan RKPD.<br /><br />Pasal 19<br />Ayat (1)<br />Yang dimaksud dengan “difasilitasi” adalah koordinasi yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri untuk mensinkronisasikan program dan kegiatan Pemerintah dan pemerintah daerah.<br />Ayat (2)<br />Yang dimaksud dengan “difasilitasi” adalah koordinasi yang dilakukan oleh provinsi untuk mensinkronisasikan program dan kegiatan antar-SKPD kabupaten/kota dan SKPD antarwilayah, serta pemerintah.<br /><br />Pasal 20<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 21<br />Ayat (1)<br />Pasca-Musrenbang diselenggarakan setelah Musrenbang daerah dan Musrenbang nasional, dimaksudkan untuk menjamin konsistensi hasil Musrenbang RKPD provinsi.<br />Ayat (2)<br />Pasca-Musrenbang diselenggarakan setelah Musrenbang daerah dan Musrenbang nasional serta sebelum pertemuan koordinasi pasca-Musrenbang RKPD provinsi, dimaksudkan untuk menjamin konsistensi hasil Musrenbang RKPD kabupaten/kota.<br /><br />Pasal 22<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 23<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 24<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 25<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 26<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 27<br />Ayat (1)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (3)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (4)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (5)<br />Forum SKPD membahas prioritas program dan kegiatan yang dihasilkan dari Musrenbang Kecamatan sebagai upaya menyempurnakan Rancangan Renja-SKPD, difasilitasi oleh SKPD terkait.<br /><br />Pasal 28<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 29<br />Ayat (1)<br />Rencana tata ruang yang perlu dirujuk adalah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi, RTRW kabupaten/kota, dan Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan (RTRKP).<br />Ayat (2)<br />Masyarakat dapat memperoleh data dan informasi untuk memberikan bahan masukan dalam penyusunan rencana pembangunan daerah dari pemerintah daerah.<br /><br />Pasal 30<br />Ayat (1)<br />Sistem Informasi Perencanaan Pembangunan Daerah adalah suatu proses pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, pemeliharaan, pencarian kembali dan validasi berbagai data tertentu yang dibutuhkan oleh suatu organisasi tentang perencanaan pembangunan daerah.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (3)<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 31<br />Rencana tata ruang dan RPJPD sebagai dokumen perencanaan satu sama lain saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan.<br />Bagi daerah yang belum memiliki rencana tata ruang, maka RPJPD merupakan acuan penyusunan rencana tata ruang. Sedangkan jika daerah telah memiliki rencana tata ruang yang masih berlaku, maka rencana tata ruang tersebut digunakan sebagai acuan.<br /><br />Pasal 32<br />Ayat (1)<br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (2)<br />Koordinasi dilakukan untuk:<br />a. menghindari tumpang tindih program, kegiatan dan pendanaan yang disusun oleh masing-masing SKPD;<br />b. keterpaduan antara rencana pembangunan daerah yang dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan rencana pembangunan di daerah yang dibiayai APBN;<br />c. keterpaduan dan sinergitas rencana pembangunan daerah antarprovinsi, antara provinsi dengan kabupaten/kota dan antarkabupaten/kota.<br />Pasal 33<br />Ayat (1)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br /><br />Ayat (3)<br />Kerangka studi dan instrumen analisis dapat juga berupa analisis spesifik seperti analisis biaya dan manfaat (cost and benefit), analisis kemiskinan dan analisis gender.<br /><br />Pasal 34<br />Ayat (1)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (2)<br />Yang dimaksud dengan “keterdesakan” adalah sesuatu yang tidak bisa ditunda seperti bencana alam, wabah penyakit, masalah daerah yang penting.<br /><br />Pasal 35<br />Ayat (1)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (2)<br />Perumusan masalah dilakukan untuk mengidentifikasi kebutuhan masyarakat melalui analisis komprehensif dan keterdesakan.<br /><br />Pasal 36<br />Ayat (1)<br />Huruf a<br />Kerangka pengeluaran jangka menengah adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan, dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya akibat keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam prakiraan maju;<br />Dasar penyusunan program, kegiatan dan pendanaan berlaku untuk penyusunan dokumen RPJMD, RKPD, Renstra SKPD dan Renja SKPD.<br />Huruf b<br />Kerangka pendanaan diutamakan untuk penyusunan dokumen jangka menengah (RPJMD dan Renstra SKPD) serta pagu indikatif digunakan untuk penyusunan dokumen rencana tahunan (RKPD dan Renja SKPD)<br />Huruf c<br />Program disusun berdasarkan urusan wajib dan pilihan, serta kegiatan disusun berdasarkan tingkat keterdesakan dan efektivitas pencapaian tujuan, sasaran, program.<br />Ayat (2)<br />Prakiraan maju digunakan untuk dokumen Renja SKPD dan RKPD.<br />Ayat (3)<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 37<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 38<br />Ayat (1)<br />Forum konsultasi publik merupakan wadah penampungan dan penjaringan aspirasi masyarakat, dan dunia usaha untuk penyempurnaan rancangan kebijakan. Hal ini menunjukkan sistem perencanaan bawah-atas (bottom-up planning) berdasarkan asas demokratisasi dan desentralisasi.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (3)<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 39<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 40<br />Ayat (1)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (2)<br />Huruf a<br />Cukup jelas.<br />Huruf b<br />Cukup jelas.<br />Huruf c<br />Yang dimaksud dengan “kerangka pendanaan“ adalah bagian dari kerangka fiskal yang berhubungan dengan kemampuan untuk membiayai belanja pemerintah.<br />Kerangka pendanaan disusun secara bersama-sama antara Bappeda dengan Badan/Biro/Bagian Keuangan.<br />Huruf d<br />Cukup jelas.<br />Huruf e<br />Cukup jelas.<br /><br />Huruf f<br />Cukup jelas.<br />Huruf g<br />Cukup jelas.<br />Huruf h<br />Cukup jelas.<br />Huruf i<br />Cukup jelas.<br />Huruf j<br />Pada masa transisi, untuk menghindari kekosongan, seperti peralihan periode kepemimpinan maka RPJMD lama yang akan berakhir menjadi pedoman sementara bagi pemerintahan kepala daerah baru terpilih selama belum ada RPJMD baru.<br />Huruf k<br />Cukup jelas.<br />Ayat (3)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (4)<br />Huruf a<br />Cukup jelas.<br />Huruf b<br />Dalam gambaran pelayanan SKPD dijelaskan juga mengenai gambaran umum kinerja SKPD yang telah dicapai.<br /><br />Huruf c<br />Cukup jelas.<br />Huruf d<br />Cukup jelas.<br />Huruf e<br />Cukup jelas.<br />Huruf f<br />Cukup jelas.<br />Ayat (5)<br />Huruf a<br />Cukup jelas.<br />Huruf b<br />Cukup jelas<br />Huruf c<br />Cukup jelas.<br />Huruf d<br />Cukup jelas.<br />Huruf e<br />Yang dimaksud dengan “dana indikatif“ adalah rincian dana yang dialokasikan untuk kegiatan tahunan.<br />Yang dimaksud dengan “pagu indikatif” adalah jumlah dana yang tersedia untuk penyusunan program dan kegiatan tahunan.<br />Huruf f<br />Cukup jelas.<br />Huruf g<br />Cukup jelas.<br />Pasal 41<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 42<br />Ayat (1)<br />Yang dimaksud dengan “koordinasi antarkabupaten/kota” adalah koordinasi dalam rangka mensinergiskan rencana pembangunan daerah untuk lintas kabupaten/kota. Penyusunan rencana pembangunan daerah/wilayah dikoordinasikan oleh gubernur selaku wakil Pemerintah di daerah.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 43<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 44<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 45<br />Ayat (1)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (3)<br />Yang dimaksud dengan “pencapaian target” adalah kemajuan pelaksanaan kegiatan.<br />Ayat (4)<br />Cukup jelas.<br />Ayat (5)<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 46<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 47<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 48<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 49<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 50<br />Ayat (1)<br />Huruf a<br />Cukup jelas.<br />Huruf b<br />Yang dimaksud dengan “perubahan yang mendasar” adalah suatu pekerjaan yang tidak dapat dikerjakan, terjadi bencana alam, atau perubahan kebijakan nasional.<br />Huruf c<br />Cukup jelas.<br />Ayat (2)<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 51<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 52<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 53<br />Cukup jelas.<br /><br />Pasal 54<br />Cukup jelas.<br /><br /><br /><br />TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4817<br /><br /></div>MARSONOhttp://www.blogger.com/profile/01129113131791804414noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8966885912739434754.post-4558265823085510782009-02-11T04:29:00.000-08:002009-02-11T21:05:21.789-08:00MENGGUGAT KINERJA PENGELOLAAN BUMN: Antara Harapan dan KenyataanOleh : Marsono*)<br /><br /><br /><div align="justify">Latar Belakang<br /><br />Dibentuknya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia didasarkan pada amanat konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 33 yang menyatakan bahwa ”produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilihan anggota-anggota masyarakat”. Atas dasar penjelasan Pasal 33 tersebut, bahwa yang diutamakan adalah masyarakat, bukan orang perorang, oleh karena itu cabang-cabang produksi yang penting (strategis) bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, harus dikuasai oleh negara. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak yang boleh ada ditangan orang-seorang. Ini berarti bahwa cabang-cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak harus berada ditangan negara dan dikelola oleh BUMN.<br />Sebagai unit ekonomi yang tak terpisahkan dari sistem perekonomian negara, BUMN mempunyai peran yang sangat strategis, antara lain : (1) memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian negara; (2) menyelenggarakan kemanfaatan umum bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak; (3) menjadi perintis kegiatan-kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan sektor swasta maupun koperasi; (4) mencari keuntungan/pendapatan; dan (5) sebagai salah satu sumber penerimaan keuangan negara.<br />Sejalan dengan pergeseran paradigma ekonomi publik (peran pemerintah dalam memotori gerak ekonomi sangat menonjol) ke dalam ekonomi pasar (manajemen ekonomi dilandaskan pada mekanisme pasar dan persaingan bebas) saat ini, sangat berimplikasi terhadap peletakan landasan operasional pada mekanisme pasar dan persaingan yang diharapkan akan dapat memacu individu dan badan usaha termasuk di dalamnya adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk kreatif, inovatif dan terus berinisiatif dengan basis entrepreneurship dan cost efficiency. Orientasi pengelolaan BUMN dengan berbasis entrepreneurship dan cost efficiency tersebut adalah bagaimana meningkatkan kinerja BUMN sehingga badan usaha ini benar-benar dapat menjadi efisien dan kompetitif. Dengan demikian asset negara yang dikelolanya dapat memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat banyak.<br />Namun demikian, tidak adanya visi yang kuat dalam pengelolaan BUMN selama ini menjadikan BUMN sulit untuk maju karena tidak jelas arah yang dituju. Ketiadaan visi dan konsep pengelolaan yang disepakati bersama seluruh elemen bangsa Indonesia ini, menjadikan manajemen BUMN tidak pernah independen dan professional, selalu dalam jeratan relasi politik dan kekuasaan, yang pada akhirnya hanya menjadikan BUMN sebagai sapi perahan yang menghambat dan merusak kinerja BUMN. Sampai saat ini kita tidak memiliki satu konsep pengelolaan BUMN yang jelas dan disepakati bersama, akibatnya langkah dan strategi apapun yang dibuat oleh setiap pemerintah yang berkuasa terhadap BUMN akan selalu disalahkan.<br />Kejelasan visi dan konsep pengelolaan BUMN menjadi sangat penting, mengingat asset negara yang dikelola BUMN saat ini relatif sangat besar. Hal ini dapat dilihat besarnya asset negara yang dikelola BUMN selama 4 (empat) tahun terakhir yaitu tahun 2001 sebesar Rp. 750 triliun, tahun 2002 sebesar Rp. 936 triliun, tahun 2003 Rp. 1.177 triliun, dan meningkat menjadi Rp. 1.313 triliun pada tahun 2004. Namun sayangnya, pengelolaan asset negara yang sangat besar tersebut belum optimal, sehingga belum dapat memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian bangsa dan kesejahteraan rakyat.<br /><br />.<br />_________________________<br />*) Peneliti pada Pusat Kajian Manajemen Kebijakan LAN<br />Oleh karena itu, melalui tulisan ini penulis ingin menganalisis secara kritis kinerja pengelolaan BUMN selama ini. Hal tersebut didasarkan bahwa dalam pengelolaan BUMN selama ini belum didasarkan pada visi yang kuat dan political will untuk menempatkan BUMN sebagai pilar ekonomi bangsa serta belum adanya kesinambungan konsep pengelolaan BUMN, sehingga BUMN tidak mampu menghasilkan kinerja optimal dalam mengemban misi sebagaimana diamanatkan konstitusi negara UUD 1945.<br /><br />Kebijakan Pengelolaan BUMN<br />Berbagai kebijakan sebagai landasan dalam pengelolaan BUMN selama ini antara lain meliputi: (1) Undang-Undang No. 19 tahun 1960 tentang Perusahaan Negara yang merupakan tonggak penting bagi pengaturan dan pengendalian BUMN di Indonesia; (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1979 yang mengelompokkan BUMN ke dalam tiga golongan yaitu: (a) Perusahaan Jawatan (Perjan) dengan ciri public service, yaitu berupa pelayanan kepada masyarakat, permodalannya termasuk bagian dari APBN dan status hukumnya dikaitkan dengan hukum publik. Pengaturan lebih teknis terhadap Perusahaan Jawatan yaitu dengan diterbitkan Peraturan Peerintah No. 6 tahun 2000 tentang Perusahaan Jawatan; (b) Perusahaan Umum (Perum) dengan ciri public utility, yaitu melayani kepentingan umum dan diharapkan dapat memupuk keuntungan, modal seluruhnya milik negara dari kekayaan negara yang dipisahkan, berstatus badan hukum dan diatur berdasarkan undang-undang. Pengaturan lebih teknis terhadap Perusahaan Umum yaitu dengan dikeluarkan PP No. 13 tahun 1998 tentang Perusahaan Umum; dan (c) Perusahaan Perseroan (Persero) yang bersifat profit motive, modal seluruhnya atau sebagian milik negara dan terbagi atas saham-saham, bersatus badan hukum perdata dan berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Pengaturan lebih teknis terhadap Perusahaan Perseroan yaitu dengan dikeluarkan UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.<br />Sebagai upaya untuk lebih meningkatkan kinerja dan peran BUMN dalam perekonomian nasional, maka PP No. 64 tahun 2001 tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas dan Kewenangan Menteri Keuangan pada Perusahaan Perseroan, Perum dan Perjan kepada Menteri Negara BUMN. Namun demikian dengan disahkannya UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, maka pembinaan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan tidak lagi berada di bawah kewenangan Kementerian Negara BUMN, melainkan kembali berada di bawah kewenangan Menteri Keuangan. Dengan demikian seluruh asset negara yang dipisahkan yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pembinaannya berada pada Menteri Keuangan. Kondisi kebijakan ini membuat pengelolaan BUMN kembali pada jalur yang tidak jelas. Untuk menempatkan kedudukkan BUMN sebagaimana mestinya, maka dikeluarkan Undang-Undang No. 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, dimana bentuk BUMN disederhanakan menjadi dua, yaitu Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero). Sedangkan BUMN yang semula berbentuk Perusahaan Jawatan (Perjan) selanjutnya akan dialihkan menjadi Perusahaan Umum (Perum) atau Perusahaan Perseroan (Persero) dalam tempo dua tahun sejak pemberlakukan UU tersebut.<br /><br />Beberapa Permasalahan Dalam Pengelolaan BUMN<br /><br />Disamping menghadapi permasalahan eksternal yang berasal dari berbagai tekanan dan kepentingan penguasa dan elit politik, yang tak kalah pentingnya adalah permasalahan internal BUMN itu sendiri. Permasalahan internal BUMN pada dasarnya sangat berkaitan dengan manajemen BUMN itu sendiri. Mengutip pendapat Ikojiro Nonaka dan Hirotaka Takeuchi (1995) dalam “Knowledge Creating Company”, dinyatakan bahwa permasalahan BUMN di Indonesia antara lain:<br />1. BUMN jauh dari kinerja yang mencerminkan kemampuan untuk menciptakan efisiensi, efektivitas dan produktivitas; sehingga tidak bisa bertahan.<br />2. Politik ekonomi dan kebijakan ekonomi nasional di bidang moneter tidak memungkinkan BUMN untuk mampu mengakses dana-dana yang bersifat sesuai dengan peran dan fungsi yang disandangnya (Perjan, Perum, dan Persero) berbunga murah.<br />3. Pembinaan hubungan yang kurang serasi antara BUMN dengan konsumen/ pelanggan; sehingga banyak pelanggan BUMN yang berpindah pada kompetisi swasta.<br />4. Dukungan para suppliers, vendor di lingkungan BUMN pun memiliki banyak distorsi dari hukum efisiensi perusahaan.<br />5. Dukungan deregulasi dan debirokratisasi untuk BUMN ternyata tidak berdampak optimal pada kinerja BUMN.<br />6. Kualitas SDM dilingkungan BUMN di Indonesia kurang menopang pandangan learning organization, struktur kependidikan pegawai yang tidak memenuhi kualifikasi, budaya organisasi kepegawaian berbau budaya birokrat yang birokratis.<br />7. Pengembangan SDM pun dipandang sangat lamban dan tidak sesuai dengan tuntutan jaman;<br />8. Hal yang paling mendasar adalah bahwa mulai dari kebijakan, strategi, kegiatan operasi, BUMN mengandung banyak sekali pengertian salah urus.<br />9. Tekanan yang lahir paling mengganggu adalah kegiatan yang berbau kolusi, korupsi, nepotisme, kooptasi, yang bergerak secara legal dan structural, seakan menggambarkan struktur organisasi yang menggerayangi struktur formal organisasi BUMN.<br />Selanjutnya berdasarkan penelitian Dr. Sahlan Asnawi (2002) diperoleh gambaran penilaian atas citra BUMN sebagai berikut :<br />1. Citra BUMN di mata responden pada umumnya lebih jelek dibandingkan dengan perusahaan swasta, baik dalam mutu pelayanan, kualitas manajemen maupun kualitas SDMnya;<br />2. Mayoritas responden (61,75 %) setuju saham BUMN dapat dimiliki oleh warga ne-gara atau perusahaan asing;<br />3. Mayoritas responden responden (96,1 5) menginginkan agar BUMN harus benar-benar menjadi lembaga usaha yang mandiri, tidak dicampuri oleh lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga politik lainnya;<br />4. Mayoritas responden (73,8 %) berpendapat bahwa monopoli kepada BUMN tidak dapat dibenarka;<br />5. Mayoritas responden (89,8 %) tidak setuju bahwa untuk mengurangi beban hutang luar negeri sebaiknya semua BUMN dijual kepada pihak asing;<br />6. Mayoritas responden pada umumnya mengharapkan agar BUMN itu harus mampu memberikan pelayanan bermutu, efisien dan mampu mencetak keuntungan;<br />7. Mayoritas responden (66,9 %) setuju agar BUMN yang laik Go-Public perlu dilakukan program profitisasi dan privatisasi;<br />8. Mayoritas responden (95,3) setuju agar sebaiknya BUMN dipimpin oleh komisaris dan Direksi yang professional dan dibayar pantas;<br />9. Mayoritas responden (92,9 %) setuju agar proses privatisasi BUMN dilakukan secara<br />transparan dan terhindar dari proses asymetris dalam penyebaran informasi;<br />10. Mayoritas responden (82,3 %) setuju agar pemerintah memperlakukan BUMN seperti perusahaan swasta.<br />Sedangkan dalam konteks Sumber Daya Manusia (SDM) BUMN, dapat diidentifikasi sebagai berikut :<br />1. Mayoritas responden (63 %) mengungkapkan bahwa tidak setuju apabila SDM BUMN lebih baik dari pada SDM perusahaan swasta;<br />2. Sebanyak (42 %) responden memperkirakan bahwa kualitas SDM BUMN lebih jelek dari pada SDM perusahaan swasta;<br />3. Sebanyak (51 %) responden merasa bahwa secara keseluruhan manajemen BUMN lebih jelek dari pada manajemen perusahaan swasta, demikian pula mutu pelayanan juga dinilai lebih jelek.<br /><br /><br />Gambaran Kinerja Pengelolaan BUMN<br /><br />Data jumlah BUMN sampai dengan tahun 2002 pada Kantor Menteri Negara BUMN sebanyak 161 BUMN (termasuk 14 Anak Perusahaan Holding PT. Pusri dan PT. BPIS 13 BUMN Perum dan 15 BUMN Perjan) serta 21 Badan Usaha Patungan Minoritas. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 1 berikut.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />TABEL 1<br />PETA BENTUK DAN KARAKTER BUMN BERDASARKAN KELOMPOK USAHA<br /><br /><br />Kelompok Usaha<br />Bentuk BUMN<br />Jumlah<br />Karakter BUMN<br />Perjan<br />Perum<br />Persero<br /><br />Kom-<br />petitif<br />Mono-poli<br />Kompe<br />titif &<br />PSO<br />Mono- poli&<br />Kom-petitif<br />1. Perbankan<br />2. Asuransi<br />3. Jasa Pembiayaan<br />4. Jasa Konstruksi<br />5. Konsultan Konstruksi<br />6. Penunjang Konstruksi<br />7. Jasa Penilai<br />8. Jasa lainnya<br />9. Rumah Sakit<br />10. Pelabuhan<br />11. Pelayaran<br />12. Kebandarudaraan<br />13. Angkutan Darat<br />14. Logistik<br />15. Perdagangan<br />16. Pengerukan<br />17. Industri Farmasi<br />18. Pariwisata<br />19. Kawasan Industri<br />20. Usaha Penerbangan<br />21. Dok & Perkapalan<br />22. Perkebunan<br />23. Pertanian<br />24. Perikanan<br />25. Pupuk<br />26. Kehutanan<br />27. Kertas<br />28. Percetakan dan Penerbitan<br />29. Pertambangan<br />30. Energi<br />31. Industri berbasis Teknologi<br />32. Baja & Konstruksi Baja<br />33. Telekomunikasi<br />34. Industri Pertahanan<br />35. Semen<br />36. Industri Sandang<br />37. Aneka Industri<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />13<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />2<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />2<br />1<br />-<br />-<br />-<br />2<br />-<br />-<br />-<br />-<br />2<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />2<br />-<br />-<br />-<br />-<br />1<br />-<br />-<br />-<br />-<br />5<br />9<br />4<br />8<br />5<br />2<br />4<br />-<br />-<br />4<br />4<br />2<br />1<br />3<br />5<br />1<br />3<br />3<br />7<br />2<br />4<br />15<br />2<br />4<br />2<br />6<br />2<br />2<br />3<br />4<br />5<br />3<br />2<br />2<br />3<br />2<br />3<br />5<br />9<br />6<br />9<br />5<br />2<br />4<br />2<br />13<br />4<br />4<br />2<br />3<br />3<br />5<br />1<br />3<br />3<br />7<br />2<br />4<br />15<br />2<br />4<br />2<br />6<br />2<br />4<br />3<br />4<br />5<br />3<br />5<br />2<br />3<br />2<br />3<br />5<br />4<br />4<br />8<br />5<br />1<br />4<br />-<br />-<br />-<br />2<br />-<br />-<br />2<br />5<br />1<br />3<br />3<br />7<br />2<br />4<br />15<br />2<br />4<br />2<br />6<br />2<br />4<br />3<br />4<br />5<br />3<br />3<br />2<br />3<br />2<br />3<br />-<br />3<br />2<br />-<br />-<br />1<br />-<br />2<br />-<br />-<br />-<br />2<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />1<br />-<br />1<br />-<br />-<br />-<br />-<br />13<br />4<br />2<br />-<br />3<br />1<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />1<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />-<br />Jumlah<br />15<br />10<br />136<br />161<br />124<br />11<br />25<br />1<br />Sumber: Kementerian BUMN, Jakarta, 2002.<br />Informasi mengenai capaian kinerja BUMN secara faktual, pada dasarnya baru dimulai setelah dibentuknya Kantor Menteri Negara BUMN pada tahun 2001. Dari data yang ada pada Kantor Menteri Negara BUMN dapat diketahui bahwa jumlah Badan Usaha yang dibina per Januari 2002 terdiri dari 161 BUMN (termasuk 14 Anak Perusahaan Holding PT. Pusri dan PT. BPIS 13 BUMN Perum dan 15 BUMN Perjan) serta 21 Badan Usaha Patungan Minoritas. Dari 161 BUMN tersebut di atas, dalam penyajian kinerja keuangan hanya disajikan 145 BUMN dengan pertimbangan BUMN Perjan baru didirikan pada tahun 2001.<br />Kinerja Pengelolaan BUMN Tahun 2001. Kinerja keuangan dari 145 Badan Usaha Milik Negara BUMN pada tahun 2001, adalah sebagai berikut :<br />a. Kontribusi Pendapatan.<br />Dari 145 BUMN dengan total pendapatan Rp. 207.309 miliar, sebanyak 25 BUMN memberikan kontribusi pendapatan Rp. 166.485 (80 %), sebanyak 39 BUMN memberikan kontribusi pendapatan Rp. 31.147 miliar (15 %) dan sebanyak 81 BUMN memberikan kontribusi pendapatan Rp. 9.758 miliar (5 %).<br />b. Besaran (size) Pendapatan<br />Dari 145 BUMN dengan total pendapatan Rp. 207.390 miliar, sebanyak 6 BUMN, masing-masing memberikan kontribusi pendapatan lebih dari Rp. 10.000 miliar (54 %), sebanyak 3 BUMN masing-masing memberikan kontribusi antara Rp. 5.000 s.d Rp. 10.000 miliar (10 %), sebanyak 27 BUMN masing-masing memberikan kontribusi pendapatan antara Rp. 1.000 miliar s.d Rp. 5.000 miliar, sebanyak 25 BUMN masing-masing memberikan kontribusi pendapatan antara Rp. 500 miliar s.d Rp. 1.000 miliar, dan sebanyak 84 BUMN masing-masing memberikan kontribusi pendapatan kurang dari Rp. 500 miliar.<br />c. Kontribusi Laba<br />Dari data pada Diagram 3, tampak bahwa dari 145 BUMN dengan total laba Rp. 28.793 miliar, sebanyak 11 BUMN memberikan kontribusi laba Rp. 22.765 miliar (79 %), sebanyak 24 BUMN memberikan kontribusi laba Rp. 4.289 miliar (15 %), dan sebanyak 85 BUMN memberikan kontribusi laba Rp. 1.686 miliar (6 %).<br />d. Besaran (size) Laba<br />Dari 145 BUMN dengan total laba Rp. 28.793 miliar, sebanyak 4 BUMN, masing-masing memberikan kontribusi laba di atas Rp. 2.000 miliar, dengan total kontribusi laba Rp. 16.153 miliar (56 %), sebanyak 3 BUMN masing-masing memberikan kontribusi laba antara Rp. 1.000 s.d Rp. 2.000 miliar, dengan total kontribusi laba Rp. 4.151 miliar (14 %), sebanyak 9 BUMN masing-masing memberikan kontribusi laba antara Rp. 300 miliar s.d Rp. 1.000 miliar, dengan total kontribusi laba Rp. 2.180 miliar (8 %) dan sebanyak 92 BUMN masing-masing memberikan kontribusi laba kurang dari Rp. 100 miliar, dengan total kontribusi laba Rp. 2.304 miliar (8 %).<br />e. Kontribusi Rugi<br />Dari data pada Diagram 5, tampak bahwa dari 145 BUMN, sebanyak 25 BUMN rugi dengan total kerugian Rp. 1.010. Secara terinci, sebanyak 11 BUMN memberikan kontribusi rugi Rp. 846 miliar (84 %), sebanyak 6 BUMN memberikan kontribusi rugi Rp. 136 miliar (13 %), dan sebanyak 8 BUMN memberikan kontribusi rugi Rp. 28 miliar (3 %).<br />f. Besaran (size) Total Asset<br />Dari 145 BUMN dengan total asset Rp. 772.501 miliar, sebanyak 4 BUMN masing-masing mempunyai total asset di atas Rp. 50.000 miliar, dengan total asset Rp. 518.495 miliar (68 %), sebanyak 6 BUMN masing-masing mempunyai total asset antara Rp. 10.000 s.d Rp. 50.000 miliar, dengan total asset Rp. 118.384 miliar (15 %), sebanyak 4 BUMN masing-masing mempunyai total asset antara Rp. 5.000 miliar s.d Rp. 10.000 miliar, dengan total asset Rp. 33.006 miliar (4 %), sebanyak 33 BUMN masing-masing mempunyai total asset antara Rp. 1.000 miliar s.d Rp. 5.000 miliar, dengan total asset Rp. 71.736 miliar (9 %) dan sebanyak 98 BUMN masing-masing mempunyai total asset kurang dari Rp. 1.000 miliar, dengan total asset Rp. 30.879 miliar (4 %).<br />g. Total Ekuiti<br />Dari 145 BUMN dengan total ekuiti Rp. 139.611 miliar, sebanyak 3 BUMN masing-masing mempunyai total ekuiti di atas Rp. 10.000 miliar, dengan total ekuiti Rp. 45.962 miliar (33 %), sebanyak 4 BUMN masing-masing mempunyai total ekuiti antara Rp. 5.000 s.d Rp. 10.000 miliar, dengan total ekuiti Rp. 29.222 miliar (21 %), sebanyak 8 BUMN masing-masing mempunyai total ekuiti antara Rp. 2.000 miliar s.d Rp. 5.000 miliar, dengan total ekuiti Rp. 25.361 miliar (18 %), sebanyak 28 BUMN masing-masing mempunyai total ekuiti antara Rp. 500 miliar s.d Rp. 2.000 miliar, dengan total ekuiti Rp. 26.425 miliar (19 %) dan sebanyak 102 BUMN masing-masing mempunyai total ekuiti kurang dari Rp. 500 miliar, dengan total ekuiti Rp. 12.641 miliar (9 %).<br />h. Return on Asset (ROA)<br />Dari 145 BUMN, sebanyak 12 BUMN mempunyai ROA di atas 20 %, sebanyak 25 BUMN mempunyai ROA antara 10 % s.d 20 %, sebanyak 27 BUMN mempunyai ROA antara 5 % s.d 10 %, sebanyak 25 BUMN mempunyai ROA antara 2 % s.d 5 %, dan sebanyak 25 BUMN mempunyai ROA kurang dari 2 %,<br />i. Return on Equity (ROE)<br />Dari 145 BUMN, sebanyak 1 BUMN mempunyai ROE di atas 100 %, sebanyak 17 BUMN mempunyai ROE antara 30 % s.d 100 %, sebanyak 38 BUMN mempunyai ROE antara 15 % s.d 30 %, dan sebanyak 41 BUMN mempunyai ROE kurang da-<br />ri 10 %,<br />Dari data tersebut tampak bahwa perubahan (penaikan/perurunan pendapatan) yang kecil saja membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap total pendapatan BUMN. Oleh karena itu pengelolaan dan pembinaan terhadap ke 24 BUMN tersebut perlu memperoleh prioritas utama, baik oleh Pemegang Saham maupun manajemen BUMN, tanpa mengabaikan pengelolaan dan pembinaan terhadap BUMN yang lainnya.<br />Pada tahun 2001 diperkirakan total asset seluruh BUMN adalah sebesar Rp. 772.501 miliar, total penjualan sebesar Rp. 207.390 miliar, total laba sebelum pajak sebesar Rp. 27.783 miliar, rata-rata ROA sebesar 3,60 % dan rata-rata ROE sebesar 23,73 %.<br />Adapun gambaran kinerja keuangan secara umum tahun 2001 per kelompok BUMN adalah sebagaimana tabel 2 berikut.<br /><br />TABEL 2<br />KINERJA KEUANGAN BUMN TAHUN 2001<br />BERDASARKAN KELOMPOK USAHA<br />(Rp milyar)<br />KELOMPOK BUMN<br />JUM-LAH<br />TOTAL<br />PENDP.<br />EBT<br />TOTAL ASSET<br />EQUITY<br />ROA (%)<br />ROE (%)<br />1<br />2<br />3<br />4<br />2:3<br />2:4<br />(1)<br />(2)<br />(3)<br />(4)<br />(5)<br />(6)<br />(7)<br />(8)<br />1. KEL. PERBANKAN<br />5<br />64,169<br />6,752<br />475,361<br />30,020<br />1.42<br />22.49<br />2. KEL. ASURANSI<br />9<br />11,414<br />983<br />30,605<br />2,850<br />3.21<br />34.49<br />3. KEL. JASA PEMBIAYAAN<br />6<br />1,274<br />97<br />10,013<br />2,353<br />0.97<br />4.12<br />4. KEL. JASA KONSTRUKSI<br />9<br />4,735<br />143<br />6,158<br />1,238<br />2.32<br />11.56<br />5. KEL. KONSULTAN KONSTRUKSI<br />5<br />133<br />9<br />99<br />26<br />9.17<br />35.43<br />6. KEL. PENUNJANG KONSTRUKSI<br />2<br />957<br />200<br />3,691<br />1,502<br />5.41<br />13.30<br />7. KEL. JASA PENILAI<br />4<br />662<br />(105)<br />832<br />545<br />(12.670<br />(19.35)<br />8. KEL. JASA LAINNYA<br />2<br />145<br />28<br />245<br />231<br />11.36<br />12.03<br />9. KEL. RUMAH SAKIT<br />13<br />0<br />0<br />0<br />0<br />-<br />-<br /><br /><br /><br />(1)<br />(2)<br />(3)<br />(4)<br />(5)<br />(6)<br />(7)<br />(8)<br />10. KEL. PELABUHAN<br />4<br />3,271<br />1,119<br />7,902<br />5,153<br />14.16<br />21.72<br />11. KEL. PELAYARAN<br />4<br />2,070<br />113<br />6,416<br />5,136<br />1.76<br />220<br />12. KEL. KEBANDARUDARAAN<br />2<br />2,288<br />849<br />6,078<br />4,449<br />13.98<br />19.10<br />13. KEL. ANGKUTAN DARAT<br />3<br />1,997<br />39<br />3,204<br />2,429<br />1.23<br />1.63<br />14. KEL. LOGISTIK<br />3<br />1,335<br />47<br />1,941<br />575<br />2.40<br />8.09<br />15. KEL. PERDAGANGAN<br />5<br />2,780<br />46<br />1,380<br />317<br />3.30<br />14.35<br />16. KEL. PENGERUKAN<br />1<br />175<br />(56)<br />531<br />397<br />(10.550<br />(14.12)<br />17. KEL. INDUSTRI FARMASI<br />3<br />3,276<br />539<br />2,254<br />1,555<br />23.89<br />34.64<br />18. KEL. PARIWISATA<br />3<br />328<br />62<br />471<br />294<br />13.11<br />21.00<br />19. KEL. KAWASAN INDUSTRI<br />7<br />334<br />140<br />802<br />607<br />17.51<br />23.14<br />20. KEL. USAHA PENERBANGAN<br />2<br />14,186<br />(11)<br />10,215<br />957<br />(0.11)<br />(1.17)<br />21. KEL. DOK DAN PERKAPALAN<br />4<br />1,560<br />134<br />4,270<br />801<br />3.14<br />16.73<br />22. KEL. PERKEBUNAN<br />15<br />10,407<br />513<br />14,121<br />7,853<br />3.63<br />6.53<br />23. KEL. PERTANIAN<br />2<br />770<br />(5)<br />312<br />92<br />(1.64)<br />(5.55)<br />24. KEL. PERIKANAN<br />4<br />121<br />(8)<br />106<br />(12)<br />(7.98)<br />69.59<br />25. KEL. PUPUK<br />2<br />9,637<br />1,200<br />13,815<br />6,863<br />8.69<br />17.49<br />26. KEL. KEHUTANAN<br />6<br />2,204<br />106<br />2,751<br />1,706<br />3.84<br />6.19<br />27. KEL. KERTAS<br />2<br />768<br />(20)<br />1,733<br />454<br />(1.14)<br />(4.35)<br />28. KEL. PERCET. & PENERBITAN<br />4<br />659<br />69<br />876<br />524<br />7.86<br />13.13<br />29. KEL. PERTAMBANGAN<br />3<br />2,475<br />547<br />4,818<br />3,385<br />11.34<br />16.15<br />30. KEL. ENERGI<br />4<br />33,491<br />4,737<br />83,823<br />25,459<br />5.65<br />18.61<br />31. KEL. INDUSTRI BERBAS. TEK.<br />5<br />1,981<br />(43)<br />4,558<br />2,990<br />(0.95)<br />(1.45)<br />32. KEL. BAJA DAN KONSTRUKSI<br />3<br />5,405<br />(241)<br />7,270<br />4,882<br />(3.31)<br />(4.94)<br />33. KEL. TELEKOMUNIKASI<br />5<br />16,074<br />9,032<br />54,235<br />19,694<br />16.65<br />45.86<br />34. KEL. INDUSTRI PERTAHANAN<br />2<br />576<br />34<br />549<br />159<br />6.21<br />21.39<br />35. KEL. SEMEN<br />3<br />4,696<br />649<br />9,889<br />3,593<br />6.56<br />18.05<br />36. KEL. INDUSTRI SANDANG<br />2<br />643<br />25<br />533<br />276<br />4.66<br />9.01<br />37. KEL. ANEKA INDUSTRI<br />3<br />393<br />62<br />647<br />259<br />9.63<br />24.08<br />JUMLAH<br />161<br />207,390<br />27,783<br />772,501<br />139,611<br />3.60<br />19.90<br />Sumber : Kementerian BUMN, Laporan Keuangan Prognosa 2001 (un-audit).<br /><br />Sedangkan kontribusi BUMN terhadap penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada tahun 2001 berupa Bagian Laba BUMN dan hasil swastanisasi BUMN dapat dilihat pada tabel 3 berikut.<br />TABEL 3<br />KONTRIBUSI BUMN DALAM PENERIMAAN APBN TAHUN 2001<br />(dalam milyar Rupiah)<br />U R A I A N<br />APBN 2001<br />%<br />Penerimaan Negara<br />286.006<br /><br />1. Bagian Laba BUMN<br />9.000<br />3,1<br />2. Hasil Swastanisasi<br />6.500<br />2,3<br />Total<br />15.500<br />5,4<br />Penjualan asset hasil Restrukturisasi BPPN<br />27.000<br />9,4<br />Sumber: Kompas, 5 November 2001.<br /><br />Adapun penerimaan negara berupa PPh dan PPN pada tahun 2001 per sektor BUMN dapat dilihat pada tabel 4 berikut.<br /><br />TABEL 4<br />PENYETORAN BUMN KE KAS NEGARA BERUPA PPh dan PPN TAHUN 2001<br />(dalam Rp miliar)<br /><br />No.<br /><br />B U M N<br /><br />Tahun 2001<br />1.<br />Sektor Usaha Jasa Keuangan, Jasa Konstruksi, dan Jasa Lainnya<br />12.296,0<br />2.<br />Sektor Usaha Pertambangan, Industri Strategis, Energi, dan Tele-komunikasi.<br />855,2<br />3.<br />Sektor Usaha Logistik dan Pariwisata.<br />498,5<br />4.<br />Sektor Usaha Agroindustri, Kehutanan, Kertas, Percetakan, dan Penerbitan.<br />329,5<br /><br />Total<br />13.979,2<br />Sumber: Kantor Meneg BUMN, 2002.<br /><br />Kinerja Pengelolaan BUMN Tahun 2002. Dari total asset BUMN sebesar Rp. 935.587 triliun pada tahun 2002 menghasilkan tingkat laba sebesar Rp. 25.665 triliun. Pengelolaan asset negara yang sangat besar tersebut hanya menghasilkan Return On Asset (ROA) atau imbal hasil terhadap asset sebesar 2,74%. Sedangkan imbal hasil terhadap modal Return On Equity (ROE) hanya sebesar 9,40 %.<br />Sedangkan besarnya Kontribusi BUMN dalam penerimaan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) pada tahun 2002 dapat dilihat pada tabel 5 berikut.<br /><br />TABEL 5<br />KONTRIBUSI BUMN DALAM PENERIMAAN RAPBN TAHUN 2002<br />(dalam milyar Rupiah)<br />U R A I A N<br />RAPBN 2002<br />%<br />Penerimaan Negara<br />289.432<br /><br />1. Bagian Laba BUMN<br />8.213<br />2,8<br />2. Hasil Swastanisasi<br />3.952<br />1,4<br />Total<br />12.165<br />4,2<br />Penjualan asset hasil Restrukturisasi BPPN<br />17.598<br />6,1<br />Sumber: Kompas, 5 November 2001.<br /><br /><br />Adapun gambaran kinerja keuangan BUMN tahun 2002 selengkapnya dapat dilihat pada tabel 6 berikut.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />TABEL 6<br />KINERJA KEUANGAN BUMN TAHUN 2002<br />(dalam milyar Rupiah)<br />U R A I A N<br /><br />Tahun 2002<br />(Audit)<br />Jumlah BUMN*<br />158<br />Total Asset<br />935.587<br />Total Kewajiban<br />662.539<br />Total Ekuitas<br />273.048<br />Total Pendapatan<br />238.048<br />Total Laba<br />25.665<br />BUMN yang mempunyai laba<br />100<br />Total Kerugian<br />(9.589)<br />BUMN yang merugi<br />58<br />ROA Rata-rata (%)<br />2,74<br />ROE Rata-rata (%)<br />9,40<br />Sumber: Kantor Meneg BUMN, 2002.<br />Kinerja Pengelolaan BUMN Tahun 2003. Dari total asset BUMN sebesar Rp. 1.163.644 triliun pada tahun 2003 menghasilkan tingkat laba sebesar Rp. 25.611 triliun. Pengelolaan asset negara yang sangat besar tersebut hanya menghasilkan Return On Asset (ROA) atau imbal hasil terhadap asset sebesar 2,20%. Sedangkan imbal hasil terhadap modal Return On Equity (ROE) hanya sebesar 6,40 %.<br />Terdapat penurunan tingkat laba BUMN untuk tahun 2003 sebesar Rp. 54 miliar, yaitu dari Rp. 25.665 triliun pada tahun 2002 menjadi Rp. 25.611 triliun pada tahun 2003. Dengan demikinan juga berpengaruh terhadap Return On Asset (ROA) dan Return On Equity (ROE), yaitu menjadi 2,20% dan 6,40% .<br />Adapun gambaran kinerja keuangan BUMN tahun 2003 selengkapnya dapat dilihat pada tabel 7 berikut.<br />TABEL 7<br />KINERJA KEUANGAN BUMN TAHUN 2003<br />(dalam milyar Rupiah)<br />U R A I A N<br /><br />Tahun 2003<br />(Audit)<br />Jumlah BUMN*<br />157<br />Total Asset<br />1.163.644<br />Total Kewajiban<br />761.507<br />Total Ekuitas<br />402.137<br />Total Pendapatan<br />464.205<br />Total Laba<br />25.611<br />BUMN yang mempunyai laba<br />103<br />Total Kerugian<br />(6.081)<br />BUMN yang merugi<br />54<br />ROA Rata-rata (%)<br />2,20<br />ROE Rata-rata (%)<br />6,40<br />Sumber: Kantor Meneg BUMN, 2003.<br />Kinerja Pengelolaan BUMN Tahun 2004. Sebagai dampak dari berbagai permasalahan yang dihadapi BUMN, baik yang berasal dari internal maupun eksternal sebagaimana tersebut di atas, pada tahun 2004 dari 157 BUMN yang ada, sebanyak 47 BUMN merugi, dengan total kerugian yang diderita Rp. 6,08 triliun. Dari total kerugian tersebut, sebanyak 84,4 persen diantaranya atau Rp. 5,13 triliun berasal dari 10 BUMN. Sepuluh BUMN yang mendominasi total kerugian itu adalah PLN dengan kerugian mencapai Rp. 3,558 triliun atau 58,52 persen terdiri dari total kerugian 47 BUMN. Menyusul kemudian Perusahaan Perdagangan Indonesia dengan kerugian Rp. 418,224 miliar, Pelni Rp. 382,336 miliar, PANN Multifinance Rp. 152,258 miliar, Indofarma Rp. 129,570 miliar, Industri Sandang Nusantara Rp. 114,772 miliar, Kertas Kraft Aceh Rp. 108,442 miliar, PT Perkebunan Nusantara II Rp. 96,166 miliar, Inhutani I Rp. 90,972 miliar, dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (Prognosa) Rp. 81,221 miliar. Data selengkapnya mengenai daftar BUMN yang merugi dapat dilihat pada tabel 8 berikut.<br /><br />TABEL 8<br />DAFTAR BUMN YANG MERUGI TAHUN 2004<br />(dalam triliun Rp)<br /><br />No.<br />BUMN<br />Kerugian<br />Persen<br />1.<br />PLN<br />3.558<br />58,5%<br />2.<br />PPI<br />418<br />6,9%<br />3.<br />PELNI<br />382<br />6,3%<br />4.<br />PANN<br />152<br />2,5%<br />5.<br />Indofarma Tbk<br />129<br />2,1%<br />6.<br />Sandang Nusantara<br />115<br />1,89%<br />7.<br />Kertas Kraft Aceh<br />108<br />1,78%<br />8<br />PTPN II<br />96<br />1,58%<br />9.<br />Inhutani<br />91<br />1,50%<br />Sumber: Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR dengan Meneg BUMN, 2005<br /><br />Adapun gambaran kinerja keuangan BUMN tahun 2004 selengkapnya dapat dilihat pada tabel 7 berikut.<br />TABEL 7<br />KINERJA KEUANGAN BUMN TAHUN 2004<br />(dalam milyar Rupiah)<br />U R A I A N<br /><br />Tahun 2004<br />(Prognosa)<br />Jumlah BUMN*<br />157<br />Total Asset<br />1.313.755<br />Total Kewajiban<br />695.831<br />Total Ekuitas<br />481.924<br />Total Pendapatan<br />495.214<br />Total Laba<br />29.428<br />BUMN yang mempunyai laba<br />127<br />Total Kerugian<br />(4.492)<br />BUMN yang merugi<br />31<br />ROA Rata-rata (%)<br />2,49<br />ROE Rata-rata (%)<br />6,10<br />Sumber: Kantor Meneg BUMN, 2004.<br />Untuk lebih mempejelas pemahaman terhadap kinerja pengelolaan BUMN selama ini, maka tabel 8 berikut memuat kinerja pengelolaan BUMN selama kurun waktu tiga tahun, dari tahun 2001, 2002, 2003 dan 2004.<br /><br />TABEL 8<br />KINERJA KEUANGAN BUMN TAHUN 2001-2004<br />(dalam milyar Rupiah)<br />URAIAN<br />TAHUN<br />2001<br />(Audit)<br />2002<br />(Audit)<br />2003<br />(Audit)<br />2004<br />(Prognosa)<br />Jumlah BUMN*<br />150<br />158<br />157<br />157<br />Total Asset<br />810.419<br />935.587<br />1.163.644<br />1.313.755<br />Total Kewajiban<br />678.783<br />662.539<br />761.507<br />695.831<br />Total Ekuitas<br />131.636<br />273.048<br />402.137<br />481.924<br />Total Pendapatan<br />215.467<br />238.048<br />464.205<br />495.214<br />Total Laba<br />18.448<br />25.665<br />25.611<br />29.428<br />BUMN yang mempunyai laba<br />102<br />100<br />103<br />127<br />Total Kerugian<br />(2.222)<br />(9.589)<br />(6.081)<br />(4.492)<br />BUMN yang merugi<br />48<br />58<br />54<br />31<br />ROA Rata-rata (%)<br />2,28<br />2,74<br />2,20<br />2,49<br />ROE Rata-rata (%)<br />14,00<br />9,40<br />6,40<br />6,10<br />Sumber: Kantor Meneg BUMN, 2004.<br /><br />Kinerja Pengelolaan BUMN Tahun 2005. Data kinerja pengelolaan BUMN tahun 2005 belum terkolek secara terintegrasi. Untuk tahun 2005 besarnya asset negara yang dikelola BUMN tidak jauh berbeda dengan tahun 2004, bahkan kecenderungannya semakin meningkat. Begitu juga laba total yang diperoleh BUMN untuk tahun 2005 diperkirakan juga tidak jauh berbeda dengan tahun 2004. Disamping itu saat ini terdapat kurang lebih 31 BUMN yang bermasalah. Termasuk beberapa BUMN sektor pupuk dan BUMN sektor pertanian dan perkebunan. Namun sayangnya sampai saat ini belum ada political will dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi BUMN tersebut.<br /><br /><br /><br />Penutup<br /><br />Dari gambaran kinerja pengelolaan BUMN dari tahun ketahun sebagaimana tersebut di atas, diketahui bahwa asset negara yang jumlahnya sangat besar tersebut belum dikelola secara benar dan professional, sehingga BUMN belum dapat memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Paling tidak dapat dibuktikan dari besarnya asset Negara yang dikelola BUMN pada 4 (empat) tahun terakhir yaitu tahun 2001 sebesar Rp. 750 trliliun, tahun 2002 sebesar Rp. 935.587 triliun, tahun 2003 sebesar Rp. 1.163.644 triliun dan tahun 2004 sebesar Rp. 1.313 triliun.<br />Pengelolaan asset negara oleh BUMN selama ini baru menghasilkan laba bersih yang relatif kecil. Hal ini terlihat dari besarnya ROA sebesar 2,28% tahun 2001, 2,74% tahun 2002, 2,20% tahun 2003 dan 2,49% tahun 2004. Sadangkan untuk ROE sebesar 14,00% tahun 2001, 9,40% tahun 2002, 6,40% tahun 2003, dan 6,10% tahun 2004. Ini artinya bahwa pengelolaan asset negara yang begitu besar belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kesejahteraan rakyat banyak, sebagaimana diamanatkan konstitusi negara UUD 1945. Asset besar, untung kecil. Itulah kalimat pendek yang menjadi kesimpulan umum dari kinerja pengelolaan BUMN sepanjang masa sejak era Pemerintahan Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrachman Wahid, Megawati Soekarnoputri, sampai dengan presiden Yudoyono.<br />Dengan mencermati kinerja pengelolaanBUMN dari tahun-ketahun sebagaimana tersebut di atas, maka secara umum dapat disimpulkan bahwa keberadaan BUMN di Indonesia selama ini belum dikelola secara maksimal, sehingga kontribusi BUMN terhadap pertumbuhan perekonomian negara masih relatif sangat kecil. Dengan demikian harapan besar terhadap peran BUMN selama ini, belum terwujudkan secara realita. Untuk itu agar pengelolaan asset negara dapat memberikan kontribusi yang lebih nyata bagi rakyat banyak, maka BUMN yang secara kelembagaan mengelola asset negara tersebut harus mampu secara terus menerus mengembangkan strategi pengelolaan BUMN secara profesional, efisien dan berusaha mengurangi dominasi dan intervensi dari elit politik dan penguasa, sehingga BUMN dapat mewujudkan amanat konstitusi negara UUD 1945.<br /><br />Daftar Pustaka<br /><br />Undang-Undang Dasar Tahun 1945;<br />Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara;<br />Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Persero);<br />Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;<br />Undang-Undang Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara;<br />Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero);<br />Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1998 tentang Perusahaan Jawatan (Perjan);<br />Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero);<br />Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2000 tentang Perusahaan Jawatan (Perjan);<br />Keputusan Menteri Keuangan Nomor 70/KMK/00/1989 tentang Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas Badan Usaha Milik Negara (BUMN);<br />Kementerian BUMN, Master Plan Badan Usaha Milik Negara Tahun 2002 - 2006, Jakarta, 2002;<br />Faisal Basri, Tidak Punya Visi Yang Kuat, BUMN Selamanya Sulit Maju, Harian Kompas, 24 Maret 2005.<br />Revrison Baswir, Tidak Punya Visi Yang Kuat, BUMN Selamanya Sulit Maju, Harian Kompas, 24 Maret 2005.<br /><br /><br /><br /></div>MARSONOhttp://www.blogger.com/profile/01129113131791804414noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8966885912739434754.post-38124134830260092092009-02-11T04:24:00.000-08:002009-02-11T04:29:16.601-08:00REFORMASI KELEMBAGAAN PENGAWASAN INTERNAL PEMERINTAH: Strategi Menuju Efisiensi dan Harmonisasi Pengawasan<div align="justify"> Oleh: Marsono *)<br /><br />Abstrak<br /><br />Di sisi operasional pengawasan, seringkali kita mendengar<br />keluhan tentang pengaturan tugas pengawasan yang tumpang tindih dan bias, baik antara BPK sebagai pemeriksa ekstern dengan aparat pengawasan intern pemerintah, maupun diantara sesama aparat pengawasan intern pemerintah. Selain itu, pemanfaatan<br /> hasil pengawasan aparat pengawsan intern pemerintah, belum menjadi dasar pelaksanaan tugas pemeriksaan BPK. Pemanfaatan aparat pengawasan intern seringkali meluas kepada area yang bukan menjadi otoritasnya. Hal ini tidak boleh dibiarkan dan terus berlangsung, dan saya berharap agar ditemukan solusi dan mekanisme kerjanya yang tepat.<br /><br />Presiden SBY 11 Desember 2006<br /><br /><br /><br />PENDAHULUAN<br /> <br />Presiden SBY dalam Rapat Kerja Nasional Pengawasan Intern Pemerintah Desember 2006, menyatakan bahwa dalam upaya memberdayakan dan mendayagunakan aparatur pengawasan, diperlukan penataan ulang terhadap sistem, mekanisme, dan prosedur kerja seluruh aparat pengawasan internal pemerintah. Penataan ini penting agar fungsi pengawasan dapat memberikan nilai tambah dalam meningkatkan kinerja dan kualitas penyelenggaraan pemerintahan. Penataan itu, tentu saja mengharuskan aparatur pengawasan lebih banyak melakukan koordinasi dan sinergi satu sama lain. Lakukanlah fungsi-fungsi dan kompetensi pengawasan dengan baik, bukan dengan membagi-bagi objek pemeriksanaan. Dengan cara itu, aparatur pengawasan dapat menghindari munculnya isu tumpang tindih pemeriksaan secara lebih elegan. Aparatur pengawasan dapat melaksanakan pekerjaan secara terarah, dengan metode kerja yang efektif dan efisien. Dalam sistem pengawasan terha-<br />_____________________________<br /> *) Ahli Peneliti Madya pada Pusat Kajian Manajemen Pelayanan LAN<br />dap program dan kegiatan pemerintah, kita telah memiliki sistem pengawasan dan pemeriksaan baik internal maupun eksternal. Secara eksternal kita memiliki BPK yang merupakan lembaga negara yang kedudukannya diatur oleh konstitusi. Secara internal kita pun memiliki BPKP, Inspektorat Jenderal/Inspektorat Utama, dan Bawasda Provinsi/Kabupaten/Kota yang kedudukannya berada di dalam pemerintahan. Di lingkungan Sekretariat Negara, kini telah dibentuk Deputi Pengawasan, yang fungsinya hampir sama dengan Inspektorat Jenderal di Departemen. Saya minta, agar Kementerian Koordinator dan Kementerian Negara, dapat pula membentuk unit kerja serupa untuk meningkatkan pengawasan internal. Keberadaan berbagai lembaga yang saya sebutkan tadi, dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan lingkup penugasan masing-masing. Berbeda dengan BPK, yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan informasi DPR, BPKP harus menjalankan fungsi quality assurance atas pengelolaan keuangan dan pelaksanaan program pembangunan yang diamanahkan kepada Presiden. Inspektorat Jenderal dan Bawasda, masing-masing melakukan fungsi quality assurance atas pelaksanaan tugas Departemen/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Di sisi operasional pengawasan, seringkali kita mendengar keluhan tentang pengaturan tugas pengawasan yang tumpang tindih dan bias, baik antara BPK sebagai pemeriksa ekstern dengan aparat pengawasan intern pemerintah, maupun diantara sesama aparat pengawasan intern pemerintah. Selain itu, pemanfaatan hasil pengawasan aparat pengawsan intern pemerintah, belum menjadi dasar pelaksanaan tugas pemeriksaan BPK. Pemanfaatan aparat pengawasan intern seringkali meluas kepada area yang bukan menjadi otoritasnya. Hal ini tidak boleh dibiarkan dan terus berlangsung, dan saya berharap agar ditemukan solusi dan mekanisme kerjanya yang tepat.<br /> Sejalan dengan Presiden SBY, mencermati kondisi pengawasan aparatur negara sebagaimana tersebut di atas, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (2006) menyatakan bahwa saat ini pemerintah sedang berupaya mempercepat terwujudnya kepemerintahan yang baik dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam hal ini, peranan pengawasan sebagai quality assurance dalam penyelenggaraan pemerintahan sangatlah diharapkan. Terkait dengan upaya ini, masyarakat sering mempertanyakan efektifitas pengawasan sebagai alat percepatan pemberantasan korupsi. Masyarakat menilai bahwa pengawasan yang berlapis-lapis belum mampu mencegah secara efektif perilaku koruptif di kalangan aparatur negara. Bahkan justru sebaliknya, sering muncul keluhan bahwa frekuensi pengawasan yang berlebihan menyita waktu pelaksanaan kegiatan pemerintahan di lapangan dan menimbulkan biaya tambahan yang tidak tersedia secara resmi dalam sistem anggaran. Kunci masalah ini adalah kurangnya integritas, independensi dan profesionalisme aparat pengawasan serta kurangnya koordinasi dan sinergi antar lembaga pengawasan. Masalah ini perlu dipecahkan melalui penataan sistem pengawasan nasional. Untuk itu, sistem pengaswasan dari aspek struktur, substansi dan kultur pengawasan perlu dijaki secara mendalam. Dari segi struktur perlu dikaji, apakah struktur lembaga-lembaga pengawasan yang ada pada saat ini telah mendukung implementasi pengawasan secara efektif dan efisien. Selain itu perlu dikaji juga apakah struktur kelembagaan pengawasan yang ada pada saat ini telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan kelembagaan yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur keuangan negara yaitu UU No. 17 Tahun 2003, UU No. 1 Tahun 2004, UU No. 15 Tahun 2004 dan Penjelasan Pasal 58 UU No. 1 Tahun 2004, yang menyebutkan bahwa Sistem Pengendalian Intern Pemerintah diselenggarakan pada tingkat Kementerian/Lembaga, Provinsi dan Kabupaten/Kota. <br /> Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan penataan kembali kelembagaan pengawasan internal pemerintah saat ini, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan disharmoni kebijakan pengawasan internal pemerintah, sehingga mampu meningkatkan kualitas kinerja penyelenggaraan pemerintahan dan mendorong terwujudnya akuntabilitas pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip good governance.<br /><br />Rumusan Masalah. <br />Rumusan masalah kajian ini adalah “Bagaimana efektivitas kelembagaan pengawasan internal pemerintah saat ini”.<br /><br />Ruang Lingkup<br />Ruang lingkup kajian ini meliputi tugas pokok dan fungsi serta struktur organisasi lembaga pengawasan pemerintah pusat yang terdiri dari: (a) BPKP; (b) Inspektorat Jenderal Departemen; dan (c) Inspektorat LPND, serta lembaga pengawasan pemerintah daerah (Bawasda) Propinsi dan Kabupaten/Kota. <br /><br />Metodologi <br />Kajian ini menggunakan pendekatan deskriptif analitis dan kajian pustaka. Dengan demikian kajian ini lebih menekankan pada penggunaan data sekunder, baik yang berupa kebijakan, teori, literatur, maupun pendapat para ahli serta hasil-hasil kajian yang relevan. Pendekatan deskriptif analitis, yaitu dengan cara mengidentifikasi dan mendeskripsikan berbagai kebijakan dan kelembagaan pengawasan internal pemerintah secara faktual dan objektif serta menganalisa permasalahan-permasalahan menyangkut kelembagaan pengawasan internal pemerintah, kemudian menginterprestasikan secara tepat dan akurat, sehingga dapat diperoleh gambaran secara umum tentang kelembagaan pengawasan internal pemerintah yang efektif dan efisien. <br />TINJAUAN PUSTAKA<br />Arah Kebijakan Pengawasan Dalam RPJM (2004 – 2009)<br /> Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2004 – 2009 menyangkut Agenda menciptakan Indonesia yang adil dan demokratis khususnya pada Bab 14 mengenai Penciptaan Pemerintahan Yang Bersih dan Berwibawa mempunyai tiga (3) arah kebijakan, yang salah satunya adalah menyangkut penuntasan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk praktik-praktik KKN dengan cara: (a) Penerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance) pada semua tingkat dan lini pemerintahan dan pada semua kegiatan; (b) Pemberian sanksi yang seberat-beratnya bagi pelaku KKN sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (c) Peningkatan efektivitas pengawasan aparatur negara melalui koordinasi dan sinergi pengawasan internal, eksternal, dan pengawasan masyarakat; (d) Peningkatan budaya kerja aparatur yang bermoral, profesional, produktif, dan bertanggung jawab; (e) Percepatan pelaksanaan tindak lanjut hasil-hasil pengawasan dan pemeriksaan; (f) Peningkatan pemberdayaan penyelenggara negara, dunia usaha, dan masyarakat dalam pemberantasan KKN.<br /> Untuk menjamin terwujudnya arah kebijakan sebagaimana tersebut di atas, khususnya melalui cara sebagaimana butir (c) Peningkatan efektivitas pengawasan aparatur negara melalui koordinasi dan sinergi pengawasan internal, eksternal, dan pengawasan masyarakat; dan (e) Percepatan pelaksanaan tindak lanjut hasil-hasil pengawasan dan pemeriksaan, maka disusun program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara. Program ini bertujuan untuk menyempurnakan dan mengefektifkan sistem pengawasan dan audit serta sistem akuntabilitas kinerja dalam mewujudkan aparatur negara yang bersih, akuntabel, dan bebas KKN. Adapun kegiatan pokok dalam program ini antara lain meliputi: (1) Meningkatkan intensitas dan kualitas pelaksanaan pengawasan dan audit internal, eksternal, dan pengawasan masyarakat; (2) Menata dan menyempurnakan kebijakan sistem, struktur kelembagaan dan prosedur pengawasan yang independen, efektif, efisien, transparan, dan terakunkan; (3) Meningkatkan tindak lanjut temuan pengawasan secara hukum; (4) Meningkatkan koordinasi pengawasan yang lebih komprehensif; (5) Mengembangkan penerapan pengawasan berbasis kinerja; (6) Mengembangkan tenaga pemeriksa yang profesional; (7) Mengembangkan sistem akuntabilitas kinerja dan mendorong peningkatan implementasinya pada seluruh instansi; (8) Mengembangkan dan meningkatkan sistem informasi Aparat Pengawas Fungsional Pemerintah (APFP) dan perbaikan kualitas informasi hasil pengawasan; dan (9) Melakukan evaluasi berkala atas kinerja dan temuan hasil pengawasan.<br /><br /><br />Konsepsi Pengawasan<br /> Salah satu fungsi manajemen yang amat penting adalah fungsi pengawasan (controlling). Keberadaan fungsi ini memang kurang disukai karena pengawasan bertugas mengoreksi kinerja manajemen. Kesan yang muncul kemudian adalah, controlling ini hanya mencari keselahan kinerja manajemen. Padahal pengawasan bertujuan untuk meyakinkan manajemen bahwa apa yang dilaksanakan oleh fungsi manajemen lainnya telah sesuai atau malah belum sejalan dengan program dan rencana yang telah ditetapkan.<br /> Berbagai pihak saat ini bahkan menganggap bahwa fungsi (control) pengawasan itu tidak perlu, cenderung dilupakan dan disalah artikan. Namun dalam organisasi modern dan kompleks seperti saat ini semakin disadari pentingnya fungsi control ini yang sebenarnya bermaksud baik yaitu sebagai fungsi manajemen untuk menjamin bahwa apa yang ditetapkan sebagai tujuan organisasi dapat dicapai dengan tepat, efisien dan sesuai harapan. Perkembangan organisasi modern dan semakin kompleks dimensi yang berkaitan dengan control ini menyebabkan fungsi control juga berkembang dari segi teori penerapannya.<br /> Belkaoui (1988) mengemukakan pentingnya penggunaan control sebagai berikut: (1) control digunakan untuk membuat standar prestasi yang dimaksudkan untuk menaikkan efisiensi dan menekan biaya; (2) control digunakan untuk mengamankan asset organisasi dari kemungkinan pencurian, pemborosan, dan penyalahgunaan. Misalnya dengan penekanan tanggungjawab bagian, pemisahan tugas, pengamanan harta dan pencatatan, penetapan prosedur otorisasi dan pembukuan; (3) control digunakan untuk membuat standar kualitas untuk menjamin kualitas produk/hasil yang diinginkan; (4) control didesain untuk menetapkan batas wewenang yang didelegasikan oleh pimpinan puncak. Misalnya melalui penyusunan pedoman organisasi dan prosedurnya, pengarahan tentang kebijakan; (5) control digunakan untuk mengukur prestasi kerja. Misalnya dengan menggunakan laporan pertanggungjawaban, internal audit dan perbandingan antara budget dengan standar kerja dan kinerja actual; (6) control digunakan perencanaan dan penyusunan program kegiatan; (7) control didesain untuk memotivasi pegawai sehingga mereka dapat menyumbangkan prestasi terbaik kepada organisasi.<br /> Selanjutnya L.P. Bailey (Harahap, 1989) mengemukakan beberapa syarat agar pengawasan dapat berjalan dengan efektif, yaitu: (1) struktur organisasi yang baik yang dapat menunjukkan secara jelas perbedaan antara hak dan kewajiban masing-masing pemangku jabatan; (2) sistem otorisasi dan tanggung jawab yang jelas; (2) struktur akuntansi yang baik yang memiliki ciri: a) adanya daftar susunan perkiraan; b) pedoman akuntansi; c) daftar tugas yang jelas diantara para pegawai pelaksana; d) menggunakan perkiraan control; e) selalu memakai dokumen yang sudah diberi nomor; f) metode lain dianjurkan untuk digunakan sepanjang dapat memperkuat sistem pengawasan; (4) kebijakan personalia yang baik; (5) adanya badan atau staf internal audit yang independent yang kuat; dan (6) dewan pengawas (komite audit) yang kompeten dan aktif. <br /> Pengawasan adalah tindakan atau proses kegiatan untuk mengetahui hasil pelaksanaan, kesalahan, kegagalan, untuk kemudian dilakukan perbaikan, di samping itu pengawasan juga dalam rangka untuk menjaga agar pelaksanaan tidak berbeda dengan rencana yang telah ditetapkan.<br /> James A.F. Stoner/Charles Wankel (1986) menyatakan bahwa pengawasan adalah suatu upaya yang sistematis untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan, untuk merancang sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja actual dengan standar yang telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu penyimpangan dan mengukur signifikansi penyimpangan tersebut, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya organisasi telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan organisasi. Definisi tersebut mengacu pada unsur-unsur pokok proses pengawasan.<br /> Selanjutnya Strong dan Smith (1989), menyatakan bahwa tanpa tegaknya sistem pengawasan yang memadai, kecil kemungiknannya suatu manajemen akan berhasil, meskipun dalam manajemen itu telah ada perencanaan yang baik tentang tujuan yang ingin dicapai, organisasi yang kuat, para pelaksana yang cakap, dan motivasi yang bergairah.<br /> Senada dengan Strong dan Smith, Massie (1971) menyatakan bahwa esensi pengawasan terletak pada pengecekan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dibandingkan dengan hasil yang diinginkan yang telah ditetapkan dalam proses perencanaan. Pengawasan juga merupakan “pengukur kinerja” yang sedang berjalan dan memandunya ke depan kearah tujuan yang telah ditentukan.<br /> Pengawasan adalah salah satu fungsi organik manajemen, yang merupakan proses kegiatan pimpinan untuk memastikan dan menjamin bahwa tujuan dan sasaran serta tugas-tugas organisasi akan dan telah terlaksana dengan baik sesuai dengan rencana, kebijakan, instruksi dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dan yang berlaku. Pengawasan sebagai fungsi manajemen sepenuhnya adalah tanggungjawab setiap tingkat manapun. Hakikat pengawasan adalah untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta pelaksanaan tugas-tugas organisasi.<br /> Proses pengawasan menurut Belkaoui (1988) meliputi 5 P yaitu: 1) Penyusunan tujuan; 2) Penetapan standar; 3) Pengukuran hasil kerja; 4) Perbandingan fakta dengan standar; dan 5) Perbaikan tindakan koreksi. Sedangkan dari sudut pandang yang lain pengawasan dapat dirumuskan sebagai ERMC, yaitu:<br />1) Expectation (tujuan atau standar);<br />2) Recording ( pencatatan kinerja);<br />3) Monitoring (perbandingan antara expectation (tujuan) dan catatan);<br />4) Correction (tindakan koreksi terhadap penyimpangan yang ada).<br /> Selanjutnya W.Jack (1985) menggambarkan proses pengawasan dalam bentuk diagram sebagai berikut:<br /><br />PROSES PENGAWASAN<br />Tahap 1<br />Monitoring<br />Tahap 3<br />Correction<br />Tujuan Organisasi<br />Mengukur Prestasi Kerja<br />Perbandingan antara yang dicapai dengan yang direncanakan<br /><br />Tindakan Koreksi<br />Tahap 2<br />Reviewing<br />Penentuan penyimpangan<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Berkaitan dengan konsep pengawasan, terdapat beberapa pandangan mengenai model pengawasan, antara lain:<br /><br />Model Cybernetic. <br /> Menurut model cybernetic kegiatan dasar pengawasan adalah untuk mengurangi perbedaan yang timbul antara kejadian yang sebenarnya dengan kejadian yang diinginkan. Hofstede (1978) mengemukakan bahwa pada umumnya model yang dipakai selama kurun waktu tahun 1900 sampai 1978 menggunakan dasar cybernetic dalam mendesain sistem pengawasan.<br /> Selanjutnya menurut Otley (1983) model cybernetic memiliki empat persyaratan dasar, yaitu: (1) adanya tujuan atau standar yang ingin dicapai; (2) pengukuran hasil kerja sesuai dengan format tujuan atau standar; (3) kemampuan untuk memprediksi pengaruh yang mungkin timbul dari kegiatan pengawasan; dan (4) kemampuan untuk bisa mengurangi penyimpangan dari tujuan.<br /> <br /><br /><br /> Otley and Berry (1980) memberikan gambaran sistematika berjalannya model Cybernetic ini sebagai berikut:<br /> <br />PROSESS<br />Kombinasi antara faktor input ke dalam organisasi<br />INPUTS<br /><br /><br />OUTPUT<br /><br /><br />Pengukuran<br />Pengukuran<br />Pengukuran <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Proses Peramalan<br /><br />(1) Merubah Input<br /> (Pengawasan tahap<br />pertama)<br /> Pertimbangan<br /> Realistis<br /> (2) Merubah Model<br /> Pasar (Pelajaran<br /> pertama)<br /> Penyimpangan<br />Mencari dan menilai<br /> Beberapa Alternatif Tindakan<br />Implementasi Pilihan<br />Tindakan Sinyal<br /> X<br /> <br /><br /><br /><br /> Pertimbangan<br />Nilai<br />Tujuan dari proses (3) Merubah Proses (Pelajaran Sistematis)<br /><br />(4) Merubah Tujuan (Pelajaran<br />Pengawasan Kedua)<br /><br /> Sumber: Otley D.T. and A.J. Berry, ”Control Organisation and Accounting, <br /> Accounting, Organisations and Society”, Vol. 5 (2) 1980. <br /><br /><br /><br />Model Certo.<br /> <br /> Certo (1985) mengemukakan 3 jenis control ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya sebagai berikut: (1) Pre Control – Feedforward, control ini dilakukan sebelum pekerjaan dimulai; (2) Concurrent Control, yaitu pengawasan yang dilakukan secara serentak sejalan dengan pelaksanaan pekerjaan; (3) Feedback Control , kontral dilaksanakan setelah pekerjaan selesai.<br /><br />Model Merchant.<br /><br /> K.A. Merchant (1990) berpendapat 3 model control, yaitu: (1) Result Control, pengawasan di sini diarahkan kepada result (hasil) organisasi; (2) Action Control, tipe ini memfokuskan perhatian pada tindakan. Biasanya ini digunakan apabila tidak mungkin menggunakan control “result”. Disini dimaksudkan agar setiap penanggungjawab pekerjaan mengerjakannya sesuai dengan keinginnan organisasi; (3) Personil control, disini pegawai dianjurkan untuk melakukan control pribadi dan yang menjadi fokus pengawasan adalah pribadi. <br />Sebagai bagian dari aktivitas dan tanggungjawab pimpinan, sasaran pengawasan adalah mewujudkan dan meningkatkan efisiensi, efektivitas, rasionalitas dan ketertiban dalam pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas-tugas organisasi dalam mencapai visi dan misinya. Hasil pengawasan harus dapat dijadikan masukan oleh pimpinan dalam pengambilan keputusan, antara lain untuk: (1) Menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidak tertiban; (2) Mencegah terulangnya kembali kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan dan ketidaktertiban tersebut; (3) Mencari cara-cara yang lebih baik atau membina yang telah baik untuk mencapai tujuan dan melaksanakan tugas-tugas organisasi. Oleh karena itu, pengawasan baru bermakna manakala diikuti dengan langkah-langkah tindak lanjut yang nyata dan tepat. Dengan kata lain, tanpa tindak lanjut yang tepat waktu, pengawasan sama sekali tidak ada artinya.<br />Dalam perkembangannya, dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan terdapat beberapa bentuk pengawasan, antara lain meliputi:<br /> Pengawasan Melekat. Pengawasan melekat merupakan serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian yang terus-menerus, dilakukan atasan langsung terhadap bawahannya, secara preventif dan represif agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundangan yang berlaku. Pelaku pengawasan adalah atasan yang dianggap memiliki kekuasaan (power) dan dapat bertindak bebas dari konflik kepentingan (conflict of interest). Dalam konsep pengawasan ini, para pelaku pengawasan lainnya seperti bawahan, orang lain, sistem dan masyarakat kurang diperhatikan dengan asumsi bahwa atasan dapat menjalankan kekuasaannya sehingga dapat secara independen mengawasi bawahannya. <br /> Pengawasan Fungsional. Pengawasan fungsional adalah kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga/Badan/Unit yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan melalui pemeriksaan, pengujian, pengusutan dan penilaian. Pengawasan fungsional meliputi pengawasan internal dan pengawasan eksternal.<br /> Pengawasan internal menekankan pada pemberian bantuan kepada manajemen dalam mengidentifikasikan sekaligus memberikan rekomendasi masalah inefisiensi maupun potensi kegagalan sistem dan program. Pengawasan internal merupakan suatu penilaian yang sistematis dan obyektif oleh internal auditor atas operasi dan pengendalian yang bermacam-macam dalam suatu organisasi untuk menentukan apakah, pertama: informasi keuangan dan operasi tepat dan dapat dipercaya. Kedua: resiko organisasi diidentifikasi dan diminimalisir. Ketiga, peraturan eksternal dan kebijakan dan prosedur internal dapat diterima ditaati/ diikuti. Keempat, standar yang memuaskan dipenuhi. Kelima, sumberdaya digunakan secara efisien dan ekonomis. Keenam, tujuan organisasi dicapai secara efektif. <br /> Sedangkan Pengawasan Eksternal kedudukannya juga sangat penting terutama untuk meningkatkan kredibilitas keberhasilan dan kemajuan organisasi. Adanya ketidakseimbangan informasi antara manajemen sebagai penyedia informasi dengan para stakeholders sebagai pengguna informasi mendorong perlunya suatu institusi baik dari segi posisi, tugas dan perannya yang memungkinkan pelaksanaan pengujian secara independen terhadap kelayakan dan kebenaran informasi pertanggungjawaban yang disajikan. Artinya, kedudukan institusi tersebut harus seindependen mungkin, baik terhadap penyedia maupun pengguna informasi. Dengan independensi, akan menjadikan informasi yang disajikan lebih dapat diandalkan (reliable).<br /><br />Kebijakan Pengawasan <br /> <br />Upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan negara pada dasarnya telah menjadi komitmen bangsa Indonesia sejak dulu. Hal tersebut tercermin dari telah banyaknya peraturan perundang-undang di bidang pengawasan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah baik dalam bentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keppres maupun Perpres. Di bawah ini dapat dilihat dasar hukum pelaksanaan pengawasan dari masing-masing lembaga pengawasan.<br /><br /><br /><br /><br /><br />BPK<br /><br />BPKP<br /><br /><br />APIP<br /><br />SPI<br /><br />· UUD 1945 (Perubahan ketiga Pasal 23E , 23G.<br />· UU No. 16 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.<br />· UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.<br />· UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara.<br />· UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.<br />· UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. <br /><br />· Keppres No. 31 Tahun 1983 tentang Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan<br />· Keppres No. 103 Tahun 2001 tentang Lembaga Pemerintah Non Departemen<br />· Keputusan Presiden No. 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.<br /><br />· PP No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.<br />· Keppres No. 103 Tahun 2001 tentang Lembaga Pemerintah Non Departemen<br />· Perpres No. 9 Tahun 2006 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian.<br />· Keppres No. 44 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Organisasi Departemen.<br />· Inpres No. 15 tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan.<br />· PP No. 52 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan.<br />· Keppres No. 8 tahun 2004 tentang Perubah-an atas Keppres No. 101 tahun 2001 yang memberikan tambahan fungsi dan kewenangan kepada Kementerian PAN berupa fungsi perumusan kebijak-an pemerintah dalam bidang pengawasan. <br /><br /><br />· UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.<br />· PP No. 6 Tahun 2000 tentang Perusahaan Jawatan.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Dinamika Permasalahan Pengawasan Internal Pemerintah<br /> <br /> Uluk-uluk ...................<br /> Berbagai permasalah dalam pelaksanaan pengawasan internal pemerintah saat ini telah disampaikan oleh beberapa ahli antara lain;<br /> Ismail Mohamad (2004) menyatakan bahwa perubahan paradigma pengawasan internal yang telah meluas dari sekedar watchdog (menemukan penyimpangan) ke posisi yang lebih luas yaitu pada efektivitas pencapaian misi dan tujuan organisasi, mendorong pelaksanaan pengawasan ke arah pemberian nilai tambah yang optimal. Lebih lanjut dikatakan bahwa terdapat tiga tantangan dalam pelaksanaan pengawasan saat ini, yaitu: (1) praktek-praktek KKN cenderung semakin meluas. Hal ini menggambarkan kurang efektif dan belum mantapnya peran dan fungsi pengawasan internal; (2) kelembagaan pengawasan internal dan tumpang tindih pengawasan. Masing-masing lembaga pengawasan terkesan berjalan sendiri-sendiri, sehingga belum terbentuk secara mantap sinergi, baik antara aparat pengawasan internal dan eksternal, maupun antar aparat pengawasan internal sendiri. Hal ini disebabkan belum efektifnya atau bahkan belum adanya ketentuan/peraturan perundangan yang secara jelas mengatur mekanisme, domain, dan hubungan kerja diantara aparat pengawasan intern pemerintah; (3) kurangnya perhatian dari manajemen instansi untuk membangun sistem pengendalian yang andal, sehingga mengurangi kualitas pelaksanaan pengawasan dan tindak lanjut hasil pengawasan.<br /> J.B. Sumarlin (2004) menyatakan bahwa dengan semakin besarnya tuntutan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara yang didasarkan pada prinsip-prinsip good governance, maka kebutuhan terhadap peran pengawasan akan semakin meningkat. Pengawasan perlu dilaksanakan secara optimal, yaitu dilaksanakan secara efektif dan efisien serta bermanfaat badi auditee (organisasi, pemerintah dan negara) dalam merealisasikan tujuan/program secara efektif, efisien dan ekonomis. Namun pengalaman menunjuukan bahwa banyaknya aparat pengawasan justru menimbulkan inefisiensi, karena timbulnya pemeriksaan yang bertubi-tubi dan tumpang tindih diantara berbagai aparat pengawasan intern pemerintah, serta antara aparat pengawasan intern pemerintah dengan aparat pengawasan ekstern pemerintah (BPK). <br /> Imran (2004) menyatakan bahwa fungsi audit internal dalam manajemen pemerintahan masih belum berjalan secara optimal, meskipun fungsi tersebut telah dilakukan secara berlapis-lapis. Beberapa masalah yang perlu diperhatikan dalam rangka optimalisasi fungsi audit internal tersebut, antara lain: (1) tumpang tindih pengawasan audit internal, sehingga mengakibatkan ketidakefisienan dan ketidakefektivan, baik untuk instansi pengawasan itu sendiri maupun instansi yang diawasi. Tumpang tindih juga dialami dengan pengawasan eksternal pemerintah; (2) akuntabilitas publik yang belum jelas dan transparan, khususnya dalam ukuran kinerjanya. <br /> Taufik Efekdi (2006) menyatakan bahwa adanya disharmonisasi kebijakan pengawasan yaitu ketimpangan level dasar hukum antar unsur sistem pengawasan nasional, yaitu: (1) Pengawasan ekstern dan legislatif, diatur dengan UU 15/2004 dan UU 22/2003; (2) Pengawasan intern di daerah, diatur dengan PP 79/2005; (3) Pengawasan intern di bawah Menteri/Kepala LPND, diatur dengan Inpres 65/2005 dan Perpres 62/2006; (4) Pengawasan intern yang bertanggungjawab kepada Presiden, diatur dengan Kppres 31/1983 tentang BPKP dan Keppres 103/2001 tentang LPND; (5) Pengawasan Melekat, diatur dengan Kep.Menpan No.40/M.PAN/4/2004; (6) Pengawasan masyarakat, diatur dengan Keppres No. 44/2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional dan Kep. Menpan No. 48/M.PAN/8/2004 tentang Pedoman Umum Penanganan Pengaduan Masyarakat Bagi Instansi Pemerintah.<br /> Selanjutnya dikatakan bahwa ketidak harmonisan antar dasar hukum terlihat dari ruang lingkup kewenangan BPKP yang diatur dalam PP 79/2005 dan Keppres No. 103/2001. Sedangkan mengenai tumpang tindih kewenangan berdasarkan Tupoksi, antara lain terjadi antara Inspektorat Jenderal Departemen, BPKP dan Bawasda Provinsi.<br /><br />Tawaran Solusi Rancangan Kelembagaan Pengawasan Kedepan<br /> Disamping program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara, dalam RPJMN 2004 – 2009 juga disusun program Penataan Kelembagaan dan Ketatalaksanaan yang salah satu kegiatan pokoknya adalah menyempurnakan sistem kelembagaan yang efektif, ramping, fleksibel berdasarkan prinsip-prinsip good governance. <br /> Berkaitan dengan penyempurnaan sistem kelembagaan yang efektif, ramping dan fleksibel tersebut, sesungguhnya telah banyak ide-ide dan pemikiran dari para ahli maupun praktisi menyangkut kelembagaan pengawasan internal pemerintah yang dipandang lebih efisien dan sinergis dalam pelaksanaan pengawasan. Beberapa pemikiran tersebut antara lain yang pernah disampaikan oleh Riyas Rasyid (2003) yaitu kelembagaan pengawasan internal pemerintah yang dikenal dengan BPIP (Badan Pengawasan Internal Pemerintah) dengan klasifikasi sebagai berikut:<br /><br /><br /><br /><br /> Selanjutnya model kelembagaan pengawasan internal pemerintah dari hasil kajian LAN (2004) dengan klasifikasi sebagai berikut:<br /><br /><br /><br /><br /> Kemudian beberapa model alternatif kelembagaan yang ditawarkan oleh Fakultas Ekonomi UGM (2006) atas dasar beberapa permasalahan dalam sistem pengawasan nasioanl, antara lain: (1) tumpang tindih pelaksanaan pengawasan sangat tinggi; (2) ketidak jelasan posisi BPKP; dan (3) dasar hukum BPKP paling lemah, mengingat dasar hukum BPK adalah UUD, dasar hukum APIP adalah Peraturan Pemerintah (PP), dan dasar hukum BPKP adalah Keputusan Presiden (Keppres).<br /> Permasalahan tumpang tindih pelaksanaan pengawasan, dapat dilihat sebagai berikut:<br /><br /> <br />BPKPBagian Anggaran Kementerian Negara/Lembaga<br /><br />Satker Kementerian/Lembaga<br />Inspektorat Jenderal/Unit Pengawasan LPNDAnggaran Pembiayaan dan Perhitungan (APP)<br /><br />APBD Provinsi<br /><br />Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan (APP)<br /><br />SKPD Provinsi<br />Inspektorat ProvinsiDana Dekonsentrasi<br />Dana Tugas Pembantuan<br /><br />Inspektorat Kabupaten/KotaAPBD Kabupaten/Kota<br />SKPD Kabupaten/Kota<br />Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan (APP)<br />Dana Tugas Pembantuan<br />------à Inisiatif sendiri<br /> Iijen Depdagri<br /> Atas permintaan<br /><br /><br /><br /> Permasalahan ketidak jelasan posisi BPKP, dapat dilihat sebagai berikut:<br />BPK<br />Eksternal<br />APIP<br />Internal<br />BPKP<br />?<br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Permasalahan dasar hukum, dasar hukum BPKP paling lemah, dapat dilihat sebagai berikut:<br />BPK<br />UUD<br />APIP<br />PP<br />BPKP<br />Keppres<br /> <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Atas dasar hal tersebut, maka ditawarkan empat alternatif pengaturan lembaga pengawasan, yaitu :<br /><br /><br /> Alternatif I, yaitu dengan pembagian lingkup pengawasan, dimana BPKP lingkup pengawasan Pusat, Inspektorat Jenderal Departemen lingkup pengawasan Departemen, Unit Pengawasan LPND, Satuan Pengendalian Intern lingkup BUMN, Inspektorat Provinsi lingkup Provinsi dan Inspektorat kabupaten/kota pada lingkup Kabupaten/kota. Adapun bagan pembagian lingkup pengawasan selengkapnya sebagai berikut:<br /><br /> Alternatif I : Pembagian lingkup pengawasan.<br /><br />BPKP<br />Pusat <br />BPK<br />Irjen Dep.<br />Unit Pengawasan<br />Satuan Pengendalian Intern<br />Inspektorat Provinsi<br />Inspektorat Kab/Kota<br />Kab/Kota<br />Provinsi<br />BUMN<br />LPND<br />Departemen<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Alternatif II, yaitu penggabungan antara BPKP dengan BPK. Sehingga hanya ada 1(satu) lembaga pengawasan internal pemerintah yaitu Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP), dan 1 (satu) lembaga pengawasan ekternal yaitu BPK & BPKP. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan alternatif II sebagai berikut:<br /><br /> Alternatif II: Penggabungan BPKP dengan BPK<br /><br /><br /> Efisiensi dan Efektivitas<br /> Pengawasan<br /> <br /><br /><br /><br /> Pengawas Internal Pengawas Eksternal<br /> 1 lembaga (APIP) 1 lembaga (BPK & BPKP)<br /><br /> <br />BPK & BPKP<br />Unit Pengawasan<br />Satuan Pengendalian Intern<br />Inspektorat Provinsi<br />Inspektorat Kab/Kota<br />Kab/Kota<br />Provinsi<br />BUMN<br />LPND<br />Departemen<br />Irjen Dep.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Alternatif III, yaitu dengan mereposisi BPKP menjadi Badan Audit. Mengingat banyaknya laporan-laporan hasil pengawasan yang sangat teknis dan terperinci. Sehingga review terhadap laporan tersebut untuk menjadi masukan bagi Presiden. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat bagan kelembagaan sebagai berikut:<br /><br /><br /> Alternatif III: Reposisi BPKP menjadi Badan Audit<br /> <br />BPK<br />Unit Pengawasan<br />Satuan Pengendalian Intern<br />Inspektorat Provinsi<br />Inspektorat Kab/Kota<br />Kab/Kota<br />Provinsi<br />BUMN<br />LPND<br /><br />BPKP<br />Departemen<br />Irjen Dep.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br /><br /> Catatan: …………> Review hasil-hasil pemeriksaan, evaluasi dan pengembangan kapasitas.<br /><br /> Alternatif IV, yaitu dengan mereposisi BPKP menjadi Badan Audit dan Itjen BUN. Untuk menghindari tumpang tindih, Badan Audit tidak boleh memiliki kewenangan untuk mengaudit. Disisi lain, ada kebutuhan pengawasan terhadap program/kegiatan yang memanfaatkan dana Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan (APP) serta program/kegiatan yang bersifat antar departemen. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) merupakan Pengguna Anggaran yang menguasai Bagian Anggaran Pembiayaan dan Perhitungan (Bagian APP) belum memiliki aparat yang mengawasi pelaksanaan anggaran Bagian APP tersebut. Pengawasan masing-masing Inspektorat Jenderal atas program/kegiatan yang bersifat antardepartemen tidak efektif karena tidak melihat tujuan kegiatan/program secara keseluruhan dan tidak ada koordinasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat bagan kelembagaan sebagai berikut:<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Alternatif IV : Reposisi BPKP menjadi Badan Audit dan Itjen BUN.<br />Irjen BUN<br />Bag APP dan Program antaR dEPARTEMEN<br /> <br />BPK<br />Irjen Dep.<br />Unit Pengawasan<br />Satuan Pengendalian Intern<br />Inspektorat Provinsi<br />Inspektorat Kab/Kota<br />Kab/Kota<br />Provinsi<br />BUMN<br />LPND<br />Departemen<br />BPKP<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Catatan: …………> Review hasil-hasil pemeriksaan, evaluasi dan pengembangan kapasitas.<br /><br /><br />Data Empiris Lembaga Pengawasan Internal Pemerintah<br />Dari berbagai kebijakan yang mengatur tentang pengawasan sebagaimana telah diuraikan di muka, apabila diidentifikasi maka terdapat adanya lembaga-lembaga pengawasan pada instansi pemerintah baik Departemen maupun LPND yang masing-masing mempunyai tugas dan fungsi “hampir sama”. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian struktur organisasi dan tugas pokok dan fungsi dari masing-masing matriks sebagai berikut: <br />Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Mempunyai tugas pokok dan fungsi melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan tugas pokoknya, BPKP menyelenggarakan fungsi: (a) pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan; (b) perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan keuangan dan pembangunan; (c) koordinasi kegiatan fung-sional dalam pelaksanaan tugas BPKP; (d) pemantauan, pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap kegiatan pengawasan keuangan dan pembangunan; (e) penyelenggaraan, pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan dan rumah tangga.<br /> Dalam menjalankan fungsinya, BPKP memiliki susunan organisasi sebagaimana terlihat dalam bagan Struktur Organisasi sebagai berikut:<br />Kepala Bagan Struktur Organisasi BPKP <br />Sekretariat Utama <br />Deputi Perekonomian<br />Deputi POLSOSKAM<br />Deputi Akuntabilitas<br />Dep. Keuangan Daerah<br />Dep. Akuntan Negara<br />Deputi Investigasi<br />Inspektorat<br />Pusdiklatwas<br />Puslitbangwas<br />Pusin Owas<br />Pusbin JFA<br />Perwakilan BPKP<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan. Mempunyai tugas pokok melaksanakan pengawasan fungsional di lingkungan Departemen terhadap pelaksanaan tugas semua unsure Departemen berdasarkan kebijakan yang ditetapkan Menteri dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam melaksanakan tugas pokoknya tersebut, Inspektorat Jenderal mempunyai fungsi: (1) Perumusan kebijakan, rencana, dan program pengawasan; (2) Pelaksanaan audit dan investigasi terhadap kebenaran pelaksanaan tugas, pengaduan, penyimpangan, dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh unsur-unsur Departemen; (3) Pelaksanaan analisis terhadap kebijakan, ketentuan, kinerja dan laporan yang bersumber dari unsure-unsur Departemen dan atau yang terkait dengan unsure-unsur departemen; (4) Penyampaian hasil pengawasan, pemantauan, dan penilaian tindak lanjut hasil pengawasan; (5) Pembinaan, pengembangan sistem dan prosedur, dan teknis pelaksanaan pengawasan; (6) Pelaksanaan koordinasi pengawasan; (7) Pelaksanaan peran serta dalam rangka pemberantasan kejahatan internasional yang berkaitan dengan tugas dan fungsi Departemen; serta (8) Pelaksanaan urusan administrasi Inspektorat Jenderal.<br />Inspektorat<br />Jenderal Struktur Organisasi Inspektorat Jenderal Departemen Keuangan sebagai berikut:<br /><br />Bag Peren.<br />Bag. Analisis<br />Bag. Analisis<br />Bag. Kepeg<br />Bag. Umum<br />Sekretariat Irjen<br />Inspek. Bid. I<br />Inspek. Bid. II<br />Inspek. Bid. III<br />Inspek. Bid. IV<br />Inspek. Bid. V<br />Inspek. Bid. VI<br />Inspek. Bid. Investigasi<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />1. Sekretariat Inspektorat Jenderal (terdiri dari 5 bagian)<br />2. Inspektorat Bidang I;<br />3. Inspektorat Bidang II;<br />4. Inspektorat Bidang III;<br />5. Inspektorat Bidang IV;<br />6. Inspektorat Bidang V;<br />7. Inspektorat Bidang VI;<br />8. Inspektorat Bidang Investigasi.<br /><br /><br />Inspektorat Jenderal Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Mempunyai tugas pokok menyelenggarakan pengawasan di lingkungan Departemen terhadap semua pelaksanaan tugas unsur Departemen agar dapat berjalan sesuai dengan rencana dan berdasarkan kebijakan Menteri dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang bersifat rutin maupun tugas pembangunan.<br />Dalam menjalankan tugas Inspektorat Jenderal mempunyai fungsi:<br />(1) Pemeriksaan terhadap semua unsur dan aspek yang dipandang perlu yang meliputi bidang administrasi umum, administrasi kepegawaian, administrasi keuangan, administrasi perlengkapan/peralatan, rencana dan program yang dilakukan oleh unsur-unsur di lingkungan Departemen; (2) Perlengkapan/peralatan, rencana dan program serta hasil-hasil fisik pelaksanaan kebijakan pembangunan di lingkungan Departemen; (3) Pengukuran serta penilaian atas hasil laporan berkala atau sewaktu-waktu dari setiap unsur dan aspek di lingkungan departemen; (4) Pengusutan mengenai kebenaran laporan atau pengaduan tentang hambatan, penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang di bidang administrasi umum, administrasi kepegawaian, administrasi keuangan, administrasi perlengkapan/peralatan, rencana dan program yang dilakukan oleh unsur-unsur di lingkungan Departemen; (5) Pengendalian kegiatan dan pelaporan hasil pengawasan, pemutahiran data informasi serta pemantauan tindak lanjut atas laporan hasil pengawasan.<br /><br />Inspektorat Jenderal Departemen Kesehatan. Mempunyai tugas melaksanakan pengawasan fungsional di lingkungan Departemen. Struktur organisasi Inspek-torat Jenderal Departemen Kesehatan terdiri dari:<br />a. Sekretariat Inspektorat Jenderal;<br />b. Inspektorat I;<br />c. Inspektorat II;<br />d. Inspektorat III;<br />e. Inspektorat IV;<br /> Bagan Struktur Organisasi Inspektorat Jenderal Departemen Kesehatan R.I sesuai dengan Lampiran Kep.Menkes No.1277/Menkes/SK/XI/2001 tanggal 27 November 2001.<br /><br /><br />Inspektorat Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND).<br />Inspektorat Lembaga Administrasi Negara berdasarkan Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 171/IX/6/4/2001 tentang Perubahan atas Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 1049A/IX/6/4/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Administrasi, mempunyai tugas melaksanakan pengawasan fungsional di lingkungan LAN. Dalam melaksanakan tugas, Inspektorat menyelenggarakan fungsi: (1) Penyiapan perumusan kebijakan pengawasan fungsional; (2) Pelaksanaan pengawasan fungsional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (3) Pelaksanaan admi-nistrasi Inspektorat.<br />Struktur Organisasi Inspektorat LAN adalah sebagai berikut:<br /><br /><br />Inspektur<br /><br />Subbagian TU<br /><br />Auditor<br /><br />Auditor<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Badan Pengawas Daerah (BAWASDA) Propinsi.<br /> BAWASDA Propinsi DKI Jakarta. Mempunyai tugas pokok melaksanakan pengawasan fungsional terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah serta Usaha Daerah lainnya. Dalam melaksanakan tugas pokoknya Bawasda mempunyai fungsi: (1) Pelaksanaan pemeriksaan, pengujian dan penilaian atas kinerja Perangkat Daerah dan Badan Usaha Milik Daerah serta Usaha Daerah lainnya; (2) Pelaksanaan pengusutan dan penyelidikan terhadap dugaan penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang baik berdasarkan temuan hasil pemeriksaan maupun pengaduan atau informasi dari berbagai pihak; (3) Pelaksanaan tindakan awal sebagai pengamanan diri terhadap dugaan penyim-pangan yang dapat merugi-kan daerah; (4) Pelaksanaan fasilitasi dalam penyelenggaraan otonomi daerah melalui pemberian konsultasi; (5) Pelaksanaan koordinasi tindak lanjut hasil pemerik-saan Aparat pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP); (7) Pelaksanaan pelayanan informasi pengawasan kepada semua pihak; (8) Pelaksanaan koordinasi dan kerja sama dengan pihak yang berkompeten dalam rangka menunjang kelan-caran tugas pengawasan; (9) Pelaporan hasil pengawasan disampaikan kepada Gubernur dengan tembusan kepada DPRD; (10) Pelaksanaan tugas-tugas yang diperintahkan oleh Gubernur.<br /><br />Badan Pengawas Daerah (BAWASDA) Kabupaten.<br /> Badan Pengawas Daerah (Bawasda) Kabupaten mempunyai tugas membantu Bupati dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang pengawasan umum terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan umum, penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan masyarakat di lingkungan Pemerintah Kabupaten, Kecamatan dan Kelurahan/ Desa. Dalam melaksanakan tugas pokoknya, Badan Pengawas Daerah Kabupaten mempunyai fungsi: (1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan umum, Pemerintahan Daerah/Kecamatan dan Kelurahan/Desa yang meliputi bidang pemerintahan, pembinaan aparatur dan kesatuan bangsa, Kesejahteraan sosial, bidang ekonomi, keuangan dan industri serta bidang pembangunan; (2) Pengujian serta penilaian atas hasil laporan setiap unsur dan atau Dinas, Kantor, Badan , unit-unit kerja di lingkungan Pemerintah Kabupaten; (3) Pengusutan kebenaran laporan serta pengaduan terhadap penyimpangan atau penyalahgunaan di bidang pemerintahan, pembinaan aparatur dan kesatuan bangsa, sosial politik, Kesejahteraan sosial, ekonomi, keuangan, industri dan pembangunan; (4) Pelayanan teknis administrasi dan fungsional; (5) Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang pengawasan .<br /> Struktur Organisasi Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) Kabupaten se-bagai berikut:<br />Kepala Badan<br />Bid Pendapatan & Kekayaan<br />Sekretariat<br />Bid Aparatur & Trantib<br />Bid Naker, Investasi & BUMD<br />Bidang Pembangunan & Kesra<br />Bidang Ekonomi<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Badan Pengawas Daerah (BAWASDA) Kota.<br /> Badan Pengawasan Kota (Bawasko) mempunyai tugas pokok membantu Walikota dalam menyelenggarakan pengawasan, pemeriksaan dan pembinaan instansi yang berada di lingkungan Pemerintah Kota Bekasi terhadap semua unsur pelaksanaan tugas instansi baik yang bersifat administrasi umum maupun pembangunan, agar dapat berjalan sesuai dengan rencana dan peraturan yang berlaku dilingkungan Kota Bekasi. Dalam menyelenggarakan tugas pada ayat (1) pasal ini Badan Pengawasan Daerah mempunyai fungsi: (1) Perumusan dan penyusunan renstra dan program kerja badan yang sesuai dengan visi dan misi kota bekasi; (2) Pengawasan, pemeriksaan, dan pembinaan terhadap seluruh instansi di lingkungan Pemerintah Kota Bekasi yang meliputi: administrasi umum, administrasi keuangan, hasil-hasil fisik dari pelaksanaan pembangunan atau rutin dan lain-lain yang berkaitan dengan tugas pokok instansi di bawah Pemerintah Kota Bekasi; (3) Pengujian dan penilaian terhadap laporan berkala atau laporan yang bersifat kasuistik/insidentil dari setiap unsur instansi di lingkungan Pemerintah Kota Bekasi dan dari masyarakat; (4) Pengusutan mengenai kebenaran laporan atau pengaduan ten-tang hambatan, penyimpangan, atau penyalahgunaan di bidang administrasi, keuangan maupun kegiatan fisik lain yang dilakukan oleh unsur instansi di bawah Pemerintah Kota Bekasi.<br /> Struktur Organisasi Badan Pengawasan Kota (Bawasko) sebagai berikut:<br /><br />Kepala Badan<br />Bid Pendapatan & Kekayaan<br />Sekretariat<br />Bid Aparatur & Trantib<br />Bid Naker, Investasi & BUMD<br />Bidang Pembangunan & Kesra<br />Bidang Ekonomi<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />ANALISIS <br />Kelembagaan Pengawasan Internal Pemerintah<br />· Tugas Pokok dan Fungsi<br />· Struktur Organisasi<br /><br />Permasalahan Imlementasi Tugas Pokok dan Fungsi <br />· Disharmonisasi Kebijakan<br />· Tumpang Tindih Pelaksanaan Tugas<br />· Inefisiensi Pelaksanaan Tugas<br />· Obyek Pemeriksaan (Obrik) Yang Sama<br /><br /><br />PENUTUP<br /> Kesimpulan<br /><br /><br /><br /><br /><br /> Rekomendasi<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Keempat.<br />Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.<br />Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.<br />Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.<br />Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.<br />Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 2001 tentang Tatacara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.<br />Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I LPND.<br />Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1989 tentang Pengawasan Melekat (Waskat).<br />Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1983 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan.<br />Presiden Susilo Bambang Yudoyono, Sambutan pada Pembukaan Rapat Kerja Nasional Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2006 di Istana Negara, 11 Desember 2006.<br />Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, <br />Keputusan Kepala BPKP Nomor Kep-06.00.00-080/K/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPKP.<br />Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Pengawasan Dalam Era Otonomi Daerah, Prosiding Seminar dan Open House BPKP dengan Tema “Aspek Etika Dalam Akselerasi Pembaharuan Manajemen Publik”, Jakarta 30 Juli 2002.<br />Sofyan Syafri Harahap, Prof., Sistem Pengawasan Manajemen (Management Control System, Jakarta, Quantum, Cetakan ke 2, 2004.<br />Mufham Al-Amin, Manajemen Pengawasan: Refleksi & Kesaksian Seorang Auditor, Jakarta, Kalam Indonesia, 2006.<br />Merchant, K.A., (1990), The Effects of Financial Control on Data Manipulation and Management Myopia, Accounting, Organizations and Society, Vol. 15.<br />Ismail Mohamad, Transformasi Pengawasan Internal Pemerintah: Tantangan dan Harapan, Makalah disampaikan dalam Half Day Seminar, diseleng-garakan oleh IAI Kompartemen Akuntan Sektor Publik, Jakarta, 13 Januari 2004. <br />J.B. Sumarlin, Pokok-Pokok Sambutan Tentang Optimalisasi Pengawasan Manajemen Pemerintah Menuju Terciptanya Good Governance, Makalah disampaikan dalam Half Day Seminar, diseleng-garakan oleh IAI Kompartemen Akuntan Sektor Publik, Jakarta, 13 Januari 2004. <br />Imran, Optimalisasi Pengawasan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Makalah Semiloka dengan Tema ”Pengawasan dan Penegakan Peraturan Daerah, diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian, Pengkajian, Pengembangan Hukum, Ekonomi dan Teknologi (LP3HET), Jakarta, 8-9 Februari 2002. <br /><br /><br /> </div>MARSONOhttp://www.blogger.com/profile/01129113131791804414noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8966885912739434754.post-51077543834241083152009-02-11T04:20:00.000-08:002009-02-11T04:23:49.255-08:00PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH: Perspektif UU 32 Tahun 2004 dan PP No. 79 Tahun 2005<div align="justify"> Oleh: Marsono *)<br />Pendahuluan<br /><br /> Salah satu pemicu perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah adalah adanya disharmonisasi hubungan antar susunan pemerintahan, khususnya antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. Disharmonisasi hubungan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut mengakibatkan terjadinya egoisme yang tinggi dalam pelaksanaan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan yang cenderung mengarah kepada disintegrasi bangsa. Oleh karena itu menyikapi hal-hal tersebut telah dilakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya mengenai penyelenggaraan pemerintahan Negara dan hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten dan kota dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.<br /> Upaya mewujudkan sinkronisasi antar susunan pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara tersebut sebagaimana ditegaskan dalam perubahan ke II UUD 1945 Pasal 18A yang berbunyi: (1) hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah; (2) hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.<br /> Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dengan demikian pemberian otonomi kepada daerah pada hakekatnya adalah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Disamping itu melalui otonomi luas, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.<br /> Dalam penyelenggaraan otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangannya. Dengan demikian daerah memiliki kewenangan yang luas dalam hal membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Dengan demikian, maka seiring dengan prinsip tersebut penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.<br /><br />_______________________<br /> *) Ahli Peneliti Madya pada Pusat Kajian Manajemen Pelayanan LAN <br />Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah, juga harus menjamin keserasian hubungan antara Daerah dengan Daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar ]Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar Daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar Daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.<br />Untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan otonomi daerah dan dilaksanakannya kewenangan pemerintah yang telah dilimpahan kepada daerah, maka diperlukan adanya pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pembinaan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah di daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Adapun ruang lingkup pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah meliputi: (1) koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan; (2) pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan; (3) pemberian bimbingan, supervise dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan; (4) pendidikan dan pelatihan; serta (5) perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan.<br />Sedangkan pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar Pemerintahan Daerah berjalan secara efisien dan efektif sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 218 Ayat (1) UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, disebutkan bahwa pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi: (1) pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah; dan (2) pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Adapun pengawasan pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah berdasarkan Pasal 20 PP No. 79 tahun 2006 sebagai tindak lanjut Pasal 218 Ayat (1) UU No. 32 tahun 2004 tersebut meliputi: (a) pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah provinsi; (b) pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota; dan (c) pelaksanaan urusan pemerintahan desa.<br /> Melalui tulisan ini penulis ingin mendeskripsikan model atau pola pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan substansi (content) dalam UU No. 32 tahun 2004 dan PP No. 79 tahun 2006. Sehingga pembaca diharapkan dapat memahami secara baik dan tidak terjadi multi tafsir atas peran kelembagaan instansi pemerintah terkait dengan peran pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut.<br /><br /><br />Kebijakan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah<br /><br /> Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan dalam penyelenggaraan pemerintahannya menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Penyelenggaraan asas desentralisasi secara bulat dan utuh dilaksanakan di daerah kabupaten dan kota. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah otonom dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat secara bertanggung jawab menurut prakarsa sendiri serta berdasarkan aspirasi masyarakat. <br /> Dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi. Selanjutnya daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah. Diantara pemerintahan daerah tersebut mempunyai hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan, yaitu antara pemerintah pusat, pemerintahan provinsi, pemerintahan kabupaten/kota dan pemerintahan desa.<br /> Pemberian otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara sebagaimana tersebut di atas selanjutnya diatur dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan UU 32 tahun 2004 tersebut ditekankan pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, keistimewaan, kekhususan, memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, serta partisipasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Prinsip-prinsip tersebut di atas, telah membuka peluang dan kesempatan yang sangat luas kepada daerah otonom untuk melaksanakan kewenangannya secara mandiri, luas, nyata, dan bertanggungjawab dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan mutu pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta daya saing daerah. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemberdayaan dan peran serta masyarakat tersebut, pemerintah dan pemerintah daerah menyelenggarakan manajemen pemerintahan melalui fungsi-fungsi organik manajemen yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi secara profesional dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran penyelenggaraan pemerintahan Negara secara efektif dan efisien.<br />Agar penyelenggaraan otonomi daerah dapat mencapai tujuan yang telah diharapkan, maka Pemerintah wajib melakukan pembinaan yang antara lain berupa pemberian pedoman-pedoman serta petunjuk-petunjuk teknis berkaitan dengan pelaksanaan berbagai urusan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah seperti dalam pelaksanaan penelitian, pengembangan, perencanaan dan pengawasan, Disamping itu diberikan pula standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi, pemantauan, dan evaluasi. Bersamaan itu Pemerintah wajib memberikan fasilitasi yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br /><br /><br />Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Perspektif UU 32 Tahun 2004<br /> <br /> Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, pemerintah daerah, yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. <br /> Untuk menjamin terselenggaranya pemerintahan daerah sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut di atas, maka pemerintah daerah diberi kewenangan yang luas untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 33 tahun 2004 yang berbunyi “dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. <br /> Berkaitan dengan urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah, disebutkan dalam Pasal 13 ayat (1) bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi meliputi 16 urusan. Selanjutnya ayat (2) menyatakan bahwa urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Demikian juga urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota juga sebanyak 16 urusan. Sedangkan urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.<br /> Dasar pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut UU 32 tahun 2004 antara lain adalah ketentuan perubahan ke II UUD 1945 Pasal 18A ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi: (1) hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah; (2) hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.<br /><br /><br /> Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Pasal 2 Ayat (1), (4), (5), (6) dan (7) dinyatakan bahwa:<br />(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah;<br />(4) Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya; <br />(5) Hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya;<br />(6) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras;<br />(7) Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antar susunan pemerintahan.<br /> Berkaitan dengan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah, Pasal 217 Ayat (1) menyatakan bahwa pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah<br />dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi: (a) koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan; (b) pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan; (c) pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan; (d) pendidikan dan pelatihan; dan (e) perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan. <br />Ayat (2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan secara berkala pada tingkat nasional, regional, atau provinsi. Ayat (3) Pemberian pedoman dan standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup aspek perencanaan, pelaksanaan, tata laksana, pendanaan, kualitas, pengendalian dan pengawasan. Ayat (4) Pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu, baik secara menyeluruh kepada seluruh daerah maupun kepada daerah tertentu sesuai dengan kebutuhan. Ayat (5) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilaksanakan secara berkala bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota DPRD, perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah, dan kepala desa. Ayat (6) Perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi sebagamana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilaksanakan secara berkala ataupun sewaktu-waktu dengan memperhatikan susunan pemerintahan.<br /> Selanjutnya Pasal 218 ayat (1) menyatakan bahwa pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi: (a) pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah; dan (b) pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Selanjutnya ayat (2) menyatakan bahwa pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan oleh aparat pengawas intern Pemerintah sesuai dengan peraturan peurundang-undangan.<br /> Pasal 221 menyatakan hasil pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 dan Pasal 218 digunakan sebagai bahan pembinaan selanjutnya oleh Pemerintah dan dapat digunakan sebagai bahan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.<br /> Pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri. Hal ini sesuai dengan Pasal 222 Ayat (1) UU 32 tahun 2004 yang berbunyi “Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 dan Pasal 218 secara nasional dikoordinasikan oleh Menteri Dalam Negeri”. Sedangkan Ayat (2) menyatakan bahwa “Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Gubernur”. Selanjutnya Ayat (3) menyatakan bahwa “Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan desa dikoordinasikan oleh Bupati/Walikota”. Lebih lanjut Ayat (4)menyatakan bahwa “Bupati dan walikota dalam pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat melimpahkan kepada camat”.<br /> Berkaitan dengan pemberian pedoman atas pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah Pasal 223 UU No. 32 tahun 2004 menyatakan bahwa “Pedoman pembinaan dan pengawasan yang meliputi standar, norma, prosedur, penghargaan, dan sanksi diatur dalam Peraturan Pemerintah”. Atas dasar amanat Pasal 223 UU No. 32 tahun 2004 inilah maka diterbitkan PP No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sebagai landasan kebijakan operasional dalam pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah bagi Kementerian/Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen/Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota.<br /><br /><br />Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Perspektif PP No. 79 Tahun 2005<br /><br /> Sebagai penjabaran Pasal 223 UU No. 32 tahun 2004, PP No. 79 tahun 2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, mempunyai konstruksi sebagai berikut: (1) Bab I Ketentuan Umum, terdiri dari 1 pasal; (2) Bab II Pembinaan, terdiri atas 18 pasal (pasal 2 s/d 19); (3) Bab III Pengawasan, terdiri dari 23 pasal (pasal 20 s/d 43); (4) Bab IV Penghargaan dan Sanksi, terdiri dari 2 pasal (pasal 44 s/d pasal 45); (5) Bab V Pelaporan, terdiri dari 4 pasal (pasal 46 s/d 49); dan (6) Bab VI Ketentuan Penutup, terdiri dari 2 pasal (pasal 50 s/d 51). <br />Secara garis besar substansi PP No. 79 Tahun 2006 yang secara detil perlu dideskripsikan dengan jelas adalah mengenai konsep pembinaan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga pemaknaan dan runglingkupnya dapat meminimalisir multi tafsir atas peran kelembagaan instansi pemerintah terkait dengan peran pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut.<br /> <br />· Pembinaan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah<br />Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan Pasal 1 butir (3) PP No. 79 tahun 2005 adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dan atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah di Daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Ruang lingkup pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut meliputi: (1) koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan; (2) pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan; (3) pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan; (4) pendidikan dan pelatihan; serta (5) perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan.<br />Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan terhadap: (a) kepala daerah atau wakil kepala daerah; (b) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; (c) perangkat daerah; (d) pegawai negeri sipil daerah; (e) kepala desa; (f) perangkat desa; dan (g) anggota badan permusyawaratan desa.<br />Koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan, mencakup aspek perencanaan dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Koordinasi pemerintahan dilaksanakan pada tingkat nasional, regional, provinsi, kabupaten/kota dan desa secara berkala. Koordinasi tingkat nasional dan regional dilaksanakan oleh Menteri Negara/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen sesuai fungsi dan kewenangannya dan dikoordinasikan dengan Menteri Dalam Negeri. Koordinasi antar kabupaten/kota dalam satu provinsi dilaksanakan oleh Gubernur. Koordinasi antar desa/kelurahan lebih dari satu kecamatan dilaksanakan oleh Bupati/Walikota. Koordinasi antar provinsi dengan kabupaten/kota lebih dari satu provinsi dilaksanakan oleh Menteri Negara/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen sesuai dengan fungsi dan kewenangannya, setelah dikoordinasikan dengan Menteri Dalam Negeri.<br />Pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan, mencakup aspek perencanaan, pelaksanaan, tata laksana, pendanaan, kualitas, pengendalian dan pengawasan. Pedoman dan standar urusan pemerintahan daerah disusun oleh Menteri Negara/Pimpinan Lembaga Non Departemen sesuai dengan fungsi dan kewenangannya. Penyusunan pedoman dan standar urusan pemerintahan daerah ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan setelah dikoordinasikan dengan Menteri Dalam Negeri.<br /> Pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan, mencakup aspek perencanaan, pelaksanaan, tata laksana, pendenaan, kualitas, pengendalian dan pengawasan. Pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi dilaksanakan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu, baik kepada seluruh daerah atau kepada daerah tertentu sesuai dengan kebutuhan. Pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi dilakukan secara berjenjang sesuai dengan susunan pemerintahan. Pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi kepada kabupaten/kota dapat dilimpahkan oleh Menteri Negara/ Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen kepada Gubernur dan dikoordinasikan dengan Menteri Dalam Negeri.<br />Pendidikan dan pelatihan, meliputi rumpun pendidikan dan pelatihan teknis substantif pemerintah daerah serta pendidikan dan pelatihan fungsional untuk jabatan-jabatan fungsional binaan Departemen Dalam Negeri. Rumpun pendidikan dan pelatihan teknis substantive pemerintah daerah adalah sekumpulan jenis pendidikan dan pelatihan yang mempunyai karakteristik tertentu, antara lain rumpun pendidikan dan pelatihan kepemimpinan pemerintahan daerah, manajemen keuangan daerah, manajemen pemerintahan daerah, manajemen pembangunan daerah, manajemen kependudukan dan pemberdayaan masyarakat. Pendidikan dan pelatihan fungsional untuk jabatan-jabatan fungsional binaan Departemen Dalam Negeri antara lain jabatan fungsional Polisi Pamong Praja, Pengasuh Praja Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri/Institut Pemerintahan Dalam Negeri, Pengawas Pemerintahan Daerah. Pendidikan dan pelatihan diperuntukkan bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah, kepala desa, perangkat desa, dan anggota badan permusyawaratan desa. Pendidikan dan pelatihan dimaksud dapat dilaksanakan oleh Menteri Negara/ Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen sesuai dengan fungsi dan kewenangannya dan dikoordinasikan dengan Menteri Dalam Negeri. Pendidikan dan pelatihan dalpat dilaksanakan oleh lembaga pendidikan dan pelatihan yang telah terakreditasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendidikan dan pelatihan dapat dilimpahkan kepada Gubernur, Bupati/Walikota dan dikoordinasikan dengan Menteri Dalam Negeri. Standarisasi program pendidikan dan pelatihan antara lain meliputi kurikulum, silabi, bahan ajar dan tenaga pengajar, surat tanda tamat pendidikan dan pelatihan, pendanaan pendidikan dan pelatihan bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, perangkat daerah, pegawai negeri sipil daerah, kepala desa, perangkat desa, dan anggota badan permusyawaratan desa ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Standarisasi dalam penyusunan pedoman, pengembangan kurikulum, bimbingan penyelenggaraan, dan evaluasi pendidikan dan pelatihan dikoordinasikan dengan instansi Pembina pendidikan dan latihan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Diklat Substantif Pemerintahan Daerah;<br />Diklat Fungsional Binaan Departemen Dalam Negeri<br />PENDIDIKAN DAN PELATIHAN <br />MENURUT PP NO. 79 TAHUN 2005<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />KEWENANGAN<br />RUMPUN DIKLAT<br />TARGET GROUP<br />STANDARDISASI<br />KERJASAMA<br />RUANG LINGKUP DIKLAT MENURUT PP NO. 79 TAHUN 2005<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Perencanaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah, meliputi perencanaan jangka panjang, perencanaan jangka menengah dan perencanaan tahunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br />Penelitian dan pengembangan, meliputi kewenangan, kelembagaan, kepegawaian, keuangan, pengelolaan asset, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pelayanan publik, dan kebijakan daerah. Penelitian dan pengembangan dilaksanakan secara berkala atau sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan. Menteri Negara/ Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen sesuai dengan fungsi dan kewenangannya dapat melakukan penelitian dan pengembangan dan dikoordinasikan dengan Menteri Dalam Negeri. Pedoman serta standar penelitian dan pengembangan urusan pemerintahan daerah disusun oleh Menteri Negara/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen sesuai dengan fungsi dan kewenangannya.<br />Pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah, di lakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Menteri Negara/ Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen sesuai dengan fungsi dan kewenangannya dapat melakukan pemantauan dan evaluasi dan dikoordinasikan dengan Menteri Dalam Negeri. Pedoman serta standar pemantauan dan evaluasi disusun oleh Menteri Negara/ Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen sesuai dengan fungsi dan kewenangannya.<br /><br /><br />· Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah<br /> Berdasarkan Pasal 1 butir (4) PP No. 79 tahun 2005 disebutkan bahwa ”pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan secara efisien dan efektif sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pengawasan yang dilaksanakan oleh Pemerintah terkait dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan dan utamanya terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.<br />Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah Pemerintah melakukan dengan 2 (dua) cara sebagai berikut: (1) Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah (RAPERDA), yaitu terhadap rancangan peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri, Dalam Negeri untuk Raperda provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Raperda kabupaten/kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal; dan (2) Pengawasan terhadap semua peraturan -daerah di luar yang termasuk dalam angka 1, yaitu setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk provinsi dan Gubernur untuk kabupaten/kota untuk memperoleh klarifikasi. Terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.<br /><br /><br />LINGKUP PENGAWASAN<br />Pasal 20<br />PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DI DAERAH<br />Pasal 37<br />PERATURAN DAERAH & PERATURAN KDH<br />Pasal 43<br />DEWAN PERWA-KILAN RAKYAT DAERAH<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />PELAKSANAAN PENGAWASAN<br />PASAL 24<br />APARAT PENGAWASAN INTERN PEMERINTAH<br />ITJEN DEPARTEMEN<br />UNIT WAS LPND<br />INSPEKTORAT PROVINSI<br />ITJEN KAB/KOTA<br /><br />PEJABAT PENGAWAS PEMERINTAH<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Dalam rangka mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan, Pemerintah dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggara pemerintahan daerah apabila diketemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran oleh penyelenggara pemerintahan daerah tersebut. Sanksi dimaksud antara lain dapat berupa penataan kembali suatu daerah otonom, pembatalan pengangkatan pejabat, penangguhan dan pembatalan berlakunya suatu kebijakan daerah baik peraturan daerah, keputusan kepala daerah, dan ketentuan lain yang ditetapkan daerah serta dapat memberikan sanksi pidana yang diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br /> Pasal 24 (1) Pengawasan terhadap urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah sesuai dengan fungsi dan kewenangannya; (2) Aparat Pengawas Intern Pemerintah adalah Inspektorat Jenderal Departemen, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat Kabupaten/Kota; (3) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat pengawas pemerintah; (4) pejabat pengawas pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri/Menteri Negara/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen ditingkat pusat, oleh Gubernur ditingkat Provinsi, dan oleh Bupati/Walikota ditingkat Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.<br /> Pasal 25, ayat (1) Inspektur Provinsi dalam pelaksanaan tugas pengawasan bertanggungjawab kepada Gubernur, Inspektur Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan tugas pengawasan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota; (2) Inspektur Provinsi dalam pelaksanaan tugas selain tugas pengawasan, mendapat pembinaan dari Sekretaris Daerah Provinsi dan Inspektur Kabupaten/kota dalam pelaksanaan tugas selain tugas pengawasan, mendapat pembinaan dari Sekretaris daerah Kabupaten/Kota.<br /> Pasal 26, ayat (1) Inspektorat Jenderal Departemen dan Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Departemen melakukan pengawasan terhadap: (a) pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan; (b) pinjaman dan hibah luar negeri; dan (c) pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan fungsi dan kewenangannya. Ayat (2) Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri selain melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota. Ayat (3) Inspektorat Provinsi melakukan pengawasan terhadap: (a) pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kabupaten/kota; (b) pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah provinsi; dan (c) pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota. Ayat (4) Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan pengawasan terhadap: (a) pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota; (b) pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan desa; dan (c) pelaksanaan urusan pemerintahan desa.<br /> Pasal 28 ayat (1) aparat pengawas intern pemerintah melakukan pengawasan sesuai dengan fungsi dan kewenangannya melalui: (a) pemeriksaan dalam rangka berakhirnya masa jabatan kepala daerah; (b) pemeriksaan berkala atau sewaktu-waktu maupun pemeriksaan terpadu; (c) pengujian terhadap laporan berkala dan/atau sewaktu-waktu dari unit/satuan kerja; (d) pengusutan atas kebenaran laporan mengenai adanya indikasi terjadinya penyimpangan, korupsi, kolusi dan nepotisme; (e) penilaian atas manfaat dan keberhasilan kebijakan, pelaksanaan program dan kegiatan; dan (f) monitoring dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dan pemerintahan desa. <br /><br />Analisis<br /><br />Dengan telah dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 terutama yang berkaitan dengan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara, maka desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara di Indonesia telah memiliki landasan yang kuat dan dapat meminimalisir terjadinya ancaman disintegrasi bangsa. Penyempurnaan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dari UU No. 22 tahun 1999 menjadi UU No. 32 tahun 2004 telah meletakkan landasan yang lebih jelas terkait dengan hubungan antar susunan pemerintahan, baik antara Pemerintah dengan Pemerintah Provinsi maupun antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. <br />Dari aspek kebijakan, penataan sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang merupakan satu kesatuan dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia relatif sudah cukup baik, paling tidak sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah saat ini sudah terhindar dari ancaman disintegrasi bangsa dan dapat memperkokoh integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun demikian, dari aspek manajemen dan pada tataran teknis operasional yang kadang justru terjadi friksi dan gesekan kepentingan. Untuk meminimalisir hal-hal tersebut UU No. 32 tahun 2004 telah mengamanatkan dilaksanakannya pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang selanjutnya ditindak lanjuti dengan PP No. 79 tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.<br />Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut meliputi: (1) koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan; (2) pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan; (3) pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan; (4) pendidikan dan pelatihan; serta (5) perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan terhadap: (a) kepala daerah atau wakil kepala daerah; (b) anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; (c) perangkat daerah; (d) pegawai negeri sipil daerah; (e) kepala desa; (f) perangkat desa; dan (g) anggota badan permusyawaratan desa.<br />Dari substansi dan ruang lingkup serta target group (obyek) pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan PP No. 79 tahun 2005 sebagaimana yang telah diuraikan di atas, pada hakekatnya telah sesuai dengan amanat UUD 1945, UU No. 32 tahun 2004 yaitu terciptanya koordinasi dan sinkronisasi antar susunan pemerintahan serta demi terwujudnya penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Disamping itu operasionalisasi fungsi dan kewenangan dari masing-masing Menteri Negara/Lembaga Pemerintah Non Departemen berkaitan dengan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah juga relatif cukup jelas, sehingga tidak perlu lagi terjadi perbedaan persepsi dan multi tafsir terhadap peran kelembagaan instansi pemerintah dalam upaya meningkatkan kinerja penyelenggaraan otonomi daerah.<br /><br />Penutup<br />Dalam penyelenggaraan otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangannya. Dengan demikian daerah memiliki kewenangan yang luas dalam hal membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajib4n yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Dengan demikian, maka seiring dengan prinsip tersebut penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.<br />Penyelenggaraan otonomi daerah yang pada dasarnya adalah untuk memberdayakan daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat daerah, disamping harus dapat menjaga hubungan antar susunan pemerintahan juga harus dapat menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya. Artinya otonomi daerah harus mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah serta tetap memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.<br />Untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan otonomi daerah dan dilaksanakannya kewenangan pemerintah yang telah dilimpahan kepada daerah, maka diperlukan adanya pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pembinaan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah upaya yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah di daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Adapun ruang lingkup pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah meliputi: (1) koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan; (2) pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan; (3) pemberian bimbingan, supervise dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan; (4) pendidikan dan pelatihan; serta (5) perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan.<br />Sedangkan pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar Pemerintahan Daerah berjalan secara efisien dan efektif. Pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi: (1) pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah; dan (2) pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Adapun pengawasan pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah berdasarkan Pasal 20 PP No. 79 tahun 2006 sebagai tindak lanjut Pasal 218 Ayat (1) UU No. 32 tahun 2004 tersebut meliputi: (a) pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah provinsi; (b) pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota; dan (c) pelaksanaan urusan pemerintahan desa.<br /><br />Daftar Pustaka<br /><br />Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.<br />Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.<br />Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.<br />Departemen Dalam Negeri, Bahan Sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005, Jakarta, 2006.</div>MARSONOhttp://www.blogger.com/profile/01129113131791804414noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8966885912739434754.post-3012072561078704032009-02-11T04:15:00.000-08:002009-02-11T04:19:15.180-08:00PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH PASCA UNDANG-UNDANG 32 DAN 33 TAHUN 2004<div align="center">Oleh: Marsono *)<br /></div><br /><div align="justify">I. Pendahuluan<br /> Perubahan atas Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, menjadi Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah telah meletakkan landasan hukum yang kuat dan pengaturan yang lebih terinci dan komprehensif tentang otonomi daerah, desentralisasi, penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pengelolaan keuangan daerah. <br /> Pengelolaan keuangan daerah sebagai sub sistem keuangan negara telah mengalami perubahan mendasar seiring dengan semangat reformasi manajemen keuangan negara sebagaimana telah diamanatkan Undang-Undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; Undang-Undang No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Berbagai peraturan perundangan tersebut, lebih memperjelas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pengelolaan keuangan daerah agar dapat lebih mandiri, transparan, dan akuntabel, sebagai upaya untuk mewujudkan good local governance dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.<br /> Dinamika perubahan dalam pengelolaan keuangan daerah tersebut, pada intinya adalah perlunya penenkanan perbaikan konsepsi pengelolaan keuangan daerah kedepan dengan mendudukkan kembali makna dari prinsip pengelolaan keuangan/anggaran publik, yaitu “apa yang menjadi kewajiban dari masyarakat (pajak/retribusi dan aspek pembebanan lainnya) akan menjadi hak bagi pemerintah, dan apa yang menjadi kewajiban bagi pemerintah (pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat) akan menjadi hak bagi masyarakat”. <br /> Terkait dengan kewajiban pemerintah daerah dalam pemberian pelayanan umum tersebut, Bachrul Elmi (2002) menyatakan bahwa “otonomi daerah harus dipandang sebagai suatu proses, yang justru semakin memberikan kemampuan profesional kepada pemerintah daerah (Pemda) untuk melaksanakan penyelenggaraan pelayanan publik pada skala lokal dan regional. Oleh karena itu pemerintah daerah harus didukung dengan sumber dana yang cukup dan sumber daya manusia yang profesional. Hal tersebut sejalan dengan prinsip kebijakan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana disebutkan Pasal 2 UU 33/2004 yang menyatakan bahwa: (1) Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan subsistem keuangan negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara Pemerintah <br />_______________________<br />*) Ahli Peneliti Madya pada Pusat Kajian Manajemen Pelayanan LAN<br />Pusat dan Pemerintah Daerah; (2) Pemberian sumber keuangan negara kepada pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas oleh Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah dengan memperhatikan stabilitas dan keseimbangan fiskal; (3) Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah merupakan sistem yang menyeluruh mengenai pendanaan dalam pelaksanaan Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan.<br /> Lebih lanjut Dr. Boediono (2002) menyatakan bahwa konsep Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (PKPD) dalam mendukung otonomi daerah jelas terlihat, antara lain dari semakin besarnya jumlah dana yang didaerahkan, baik dalam bentuk dana alokasi umum, bagi hasil, maupun dana alokasi khusus. Sejalan dengan semakin besarnya jumlah dana yang didaerahkan, maka: (a) Expenditure ratio (perbandingan pengeluaran antara Pemda dengan Pusat) semakin besar. Dari pengalaman internasional, dalam suatu negara ada korelasi positif antara kemajuan ekonomi dengan demokrasi, pelaksanaan otonomi daerah dan Expenditure ratio; (b) Keleluasaan Pemda dalam pengalokasian (perencanaan) maupun penggunaan dana yang berasal dari Pusat semakin besar. Penggunaan dana desentralisasi yang berasal dari Pusat sepenuhnya menjadi kewenangan daerah, dan diharapkan akan dapat dialokasikan sesuai dengan skala prioritas daerah itu sendiri, tentunya akan lebih memperhatikan kebutuhan dan keterlibatan masyarakat setempat; (c) Pengawasan dan pertanggungjawaban akan bersifat horizontal. Sebelum dikeluarkan UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dana yang berasal dari Pemerintah yang lebih tinggi dipertanggungjawabkan kepada tingkat pemerintahan yang memberikan (vertikal), dan sekarang dana tersebut dipertanggungjawabkan kepada masyarakat melalui legislatif daerah (DPRD).<br /> Sesuai dengan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, maka sebagian kekuasaan Presiden dalam pengelolaan keuangan negara diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku pengelola keuangan daerah. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) butir (c) UU 17 tahun 2003 yang menyatakan bahwa kekuasaan pengelolaan keuangan negara adalah sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan, dan kekuasaan pengelolaan keuangan negara dari Presiden sebagian diserahkan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku Kepala Pemerintahan Daerah untuk mengelola keuangan daerah dan mewakili Pemerintah Daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan. Namun berkaitan dengan penatausahaan keuangan daerah, Gubernur/Bupati/Walikota sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah <br />melimpahkan kekuasaannya itu kepada pejabat perangkat daerah atas dasar prinsip pemisahan kewenangan antara yang memerintahkan, menguji dan yang menerima/mengeluarkan uang. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 156 UU 32 tahun 2004 yang menyatakan bahwa “Kepala Daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Dan dalam melaksanakan kekuasaan tersebut, kepala daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya yang berupa perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, serta pengawasan keuangan daerah kepada para pejabat perangkat daerah. Pelimpahan sebagian atau seluruh kekuasaan dimaksud didasarkan pada prinsip pemisahan kewenangan antara yang memerintahkan, menguji dan yang menerima/mengeluarkan uang”.<br /> Konsekuensi dari diberlakukannya berbagai peraturan perundangan dibidang keuangan negara serta undang-undang pemerintahan daerah dan undang-undang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maka telah terjadi perubahan mendasar dalam pengelolaan keuangan daerah. Atas dasar hal tersebut, maka melalui tulisan ini penulis ingin memberikan sedikit pemahaman bagaimana implementasi dari berbagai peraturan perundangan dibidang keuangan negara tersebut kedalam kegiatan yang lebih nyata dalam kerangka pengelolaan keuangan daerah. Oleh karena itu tulisan ini mencakup: (1) pendahuluan; (2) pengertian dan ruang lingkup pengelolaan keuangan daerah; (3) pengelolaan keuangan daerah yang meliputi: (a) perencanaan (perencanaan kegiatan dan anggaran sampai pada penetapan APBD); (b) pelaksanaan APBD; (c) penatausahaan keuangan daerah; (d) pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan daerah; serta (e) pengawasan pengelolaan keuangan daerah.<br /><br />II. Pengertian dan Ruang Lingkup Pengelolaan Keuangan Daerah <br /><br /> Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah. Ruang lingkup keuangan daerah meliputi:<br />Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah, penerimaan transfer dari pemerintah pusat kepada daerah, dan melakukan pinjaman;<br />Kewajiban daerah untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintah daerah dan membayar tagihan pihak ketiga;<br />Pendapatan daerah merupakan semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan;<br />Belanja daerah merupakan semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan;<br />Pembiayaan merupakan setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya;<br />Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah;<br />Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;<br />Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah daerah.<br /><br /> Sedangkan pengelolaan keuangan daerah adalah merupakan keseluruhan kegiatan yang mencakup penyusunan, penguasaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Dalam konteks keuangan daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun dengan Peraturan Daerah. APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. Sedangkan belanja daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Belanja daerah menurut organisasi disesuaikan dengan susunan perangkat daerah/lembaga teknis daerah. Belanja daerah menurut fungsi antara lain terdiri dari: (1) pelayanan umum; (2) pertahanan; (3) ketertiban dan keamanan; (4) ekonomi; (5) lingkungan hidup; (6) perumahan dan fasilitas umum; (7) kesehatan; (8) pariwisata; (9) budaya; (10) agama; (11) pendidikan; dan (12) perlindungan sosial. Sedangkan belanja daerah menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri dari : (1) belanja pegawai; (2) belanja barang; (3) belanja modal; (4) bunga; (5) subsidi; (6) hibah; dan (7) bantuan sosial. <br /> Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, dan distribusi. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja daerah pada tahun yang bersangkutan. Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.<br /> Adapun sumber-sumber keuangan daerah, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (2) UU 33/2004 bahwa sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi dapat berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, serta lain-lain penerimaan yang sah.<br />1. Pendapatan Asli Daerah; Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU 33/2004 disebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah bersumber dari: (a) Pajak Daerah; (b) Retribusi Daerah; (c) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan (d) Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.<br />2. Dana Perimbangan; Berdasarkan Pasal 1 butir 18 UU 33/2004 disebutkan bahwa Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Adapun tujuan Dana Perimbangan adalah: (a) Dapat lebih memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah; (b) Menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab; dan (c) Memberikan kepastian sumber keuangan daerah yang berasal dari wilayah daerah yang bersangkutan. Sedangkan susunan Dana Perimbangan sesuai dengan Pasal 10 Ayat 1 dan 2 UU 33/2004 terdiri atas Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.<br />a) Dana Bagi Hasil; Dana Bagi Hasil berdasarkan Pasal 11 Ayat (1 s.d 3) adalah:<br />(1) Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam.<br />(2) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas:<br />a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);<br />b. Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB);<br />c. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.<br />(3) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam berasal dari:<br />a. kehutanan;<br />b. pertambangan umum;<br />c. perikanan;<br />d. pertambangan minyak bumi;<br />e. pertambangan gas bumi;<br />f. pertambangan panas bumi.<br /><br />b) Dana Alokasi Umum. <br /> Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. <br /> Berkaitan dengan besarnya Dana Alokasi Umum Pasal 27 ayat (1 s.d 4) menyatakan bahwa:<br />(1) Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh enam perseratus) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN;<br />(2) DAU untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar;<br />(3) Celah fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal daerah;<br />(4) Alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.<br /> <br /> c) Dana Alokasi Khusus.<br /> Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN dan dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.<br />Pasal 38 menyatakan bahwa “Besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN berdasarkan masing-masing bidang kegiatan disesuaikan dengan ketersediaan dana dalam APBN.<br />Berkaitan dengan pemberian Dana Alokasi Khusus tersebut, Pemerintah Pusat menetapkan kriteria sebagaimana disebutkan dalam Pasal 40 ayat (1 s.d 4) yang menyatakan bahwa:<br />(1) Pemerintah Pusat menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis;<br />(2) Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD;<br />(3) Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah;<br />(4) Kriteria teknis ditetapkan oleh kementrian nega-ra/departemen teknis.<br /><br /> 3. Pinjaman Daerah; Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah menerima dari pihak lain sejumlah uang atau manfaat bernilai uang sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali, tidak termasuk kredit jangka pendek yang lazim terjadi dalam perdagangan. Berdasarkan Pasal 51 Ayat (1) UU 33/2004 disebutkan bahwa: “pinjaman daerah bersumber dari: (a) Pemerintah Pusat; (b) Pemerintah daerah lain; (c) Lembaga Keuangan bank; (d) Lembaga Keuangan bukan bank; dan Masyarakat.<br /> <br /><br />III. Pengelolaan Keuangan Daerah Pasca UU 32 dan 33 Tahun 2004 <br /><br /> Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa pengelolaan keuangan daerah adalah “keseluruhan kegiatan yang mencakup penyusunan, penguasaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah”. Dengan demikian rangkaian kegiatan dalam pengelolaan keuangan daerah tersebut dapat dimaknai sebagai suatu proses atau alur kegiatan dalam pengelolaan keuangan daerah yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, serta pengawasan terhadap pengelolaan keuangan daerah itu sendiri. Untuk itu pengelolaan keuangan daerah pasca UU 32 dan 33/2004 tidak lain adalah bagaimana implementasi pengelolaan keuangan daerah kedepan sesuai dengan amanat dari peraturan perundangan di bidang keuangan negara/daerah tersebut.<br /><br /> Perencanaan Pembangunan Daerah <br /> <br /> Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah disusun perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Perencanaan pembangunan daerah disusun oleh pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota, sesuai dengan kewenangannya yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan daerah. Perencanaan pembangunan daerah disusun secara berjangka meliputi:<br />(1) Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP) daerah untuk jangka waktu 20 tahun, yang memuat visi, misi, dan arah pembangunan daerah yang mengacu kepada RPJP nasional.<br />(2) Selanjutnya pemerintah daerah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM) daerah untuk jangka waktu 5 tahun, yang merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang penyusunannya berpedoman kepada RPJP daerah dengan memperhatikan RPJM Nasional; RPJM daerah memuat: arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program satuan kerja perangkat daerah, lintas satuan perangkat daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. Kebijakan lebih teknis berkaitan dengan RPJM Daerah sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Nasional tahun 2004-2009 Pasal 1 butir 3 yang menyatakan bahwa RPJM Daerah tahun 2004-2009 adalah dokumen perencanaan pembangunan daerah untuk periode 5 (lima) tahun terhitung sejak tahun 2004 s.d. 2009;<br />(3) Setelah RPJM Daerah ditetapkan, maka pemerintah daerah menyusun Rencana kerja pembangunan daerah (RKPD) yang merupakan penjabaran dari RPJM daerah untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat, dengan mengacu kepada rencana kerja pemerintah;<br />(4) Dengan telah ditetapkannya RKPD tersebut, maka Satuan Kerja Perangkat Daerah menyusun Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD) yang merupakan dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 1 (satu) tahun;<br />(5) Dari Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah tersebut, selanjutnya SKPD menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD), yang merupakan dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi program dan kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah sebagai penjabaran dari Rencana Kerja Perangkat Daerah dan rencana strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bersangkutan dalam 1 (satu) tahun anggaran, serta anggaran yang diperlukan untuk melaksanakannya. <br /> Untuk lebih jelasnya proses perencanaan pembangunan daerah dan keterkaitannya dengan sistem perencanaan prmbangunan nasional dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:<br /><br />Tabel I<br />PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH<br />DAN KETERKAITANNYA DENGAN SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Daerah<br /> <br /> Kepala Daerah selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya melalui Sekretaris Daerah untuk: (1) dilaksanakan oleh Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku pejabat pengelola APBD; (2) dilaksanakan oleh Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah; (3) dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk selaku Bendahara Umum Daerah; dan (4) dilaksanakan oleh pegawai yang ditunjuk selaku Bendahara Penerima Daerah dan Bendahara Pengeluaran Daerah untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBD pada Satuan Kerja Perangkat Daerah.<br /> Adapun ketentuan menyangkut perbendaharaan tersebut baik Bendahara Umum Daerah, Bendahara Penerima Daerah maupun Bendahara Pengeluaran Daerah adalah sebagai berikut: (a) Bendahara Umum Daerah adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum daerah; (b) Bendahara penerimaan daerah adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang pendapatan daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada pemerintah daerah; sedangkan (c) Bendahara Pengeluaran Daerah adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada pemerintah daerah.<br /> Berkaitan dengan kekuasaan atas pengelolaan keuangan daerah tersebut, Pasal 10 UU 1/2004 menyebutkan bahwa:<br />(1) Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan oleh: (a) Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku pejabat pengelola APBD; (b) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah.<br /> (2) Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah mempunyai tugas:<br />a. menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD;<br />b. menyusun rancangan APBD dan rancangan perubahan APBD;<br />c. melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan peraturan daerah;<br />d. melaksanakan fungsi bendahara umum daerah;<br />e. menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.<br />(3) Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah mempunyai tugas: <br />a. menyusun rencana kerja dan anggaran SKPD;<br />b. menyusun dokumen pelaksanaan kegiatan anggaran SKPD;<br />c. melaksanakan kegiatan sebagaimana tersebut dalam dokumen pelaksanaan anggaran AKPD yang telah disahkan;<br />d. melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak yang menjadi tanggungjawabnya;<br />e. mengadakan ikatan/perjanjian dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan;<br />f. mengelola dan menatausahakan barang milik/dikuasai daerah yang berada dalam penguasaannya; dan<br />g. menyusun dan menyampaikan laporan pelaksanaan program dan kegiatan serta anggaran. <br /><br /> Struktur APBD<br /> <br /> Berkaitan dengan struktur dan format APBD dapat disampaikan bahwa sejak tahun anggaran 2001, format APBD telah berubah dari format T- Account menjadi I-Account. APBD dalam format T-Account lebih dikenal dengan “anggaran berimbang dan dinamis”, karena memiliki dua kolom, sebelah kiri (debet) menyajikan rincian penerimaan dan sebelah kanan (kredit) merinci pengeluaran. Sedangkan APBD dengan format I-Account hanya terdapat satu kolom yang menggambarkan penerimaan, pengeluaran, surplus/defisit dan pembiayaan. <br /> Perubahan format dan struktur belanja daerah sesuai dengan UU 17/2003, pada intinya adalah: (a) melaksanakan sistem penganggaran secara terpadu (unified budget), yaitu dengan penyatuan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan yang sebelumnya dipisahkan; dan (b) mereklasifikasi rincian belanja daerah menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja, yang sebelumnya menurut sektor dan jenis belanja. <br /> Struktur APBD berdasarkan Pasal 16 ayat (2) disebutkan bahwa “struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah dan pembiayaan daerah”. Selisih antara anggaran pendapatan daerah dan anggaran belanja daerah dapat mengakibatkan terjadinya surplus atau defisit anggaran. Surplus anggaran terjadi apabila anggaran pendapatan daerah diperkirakan lebih besar dari anggaran belanja daerah. Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, dapat dimanfaatkan untuk pembayaran cicilan pokok utang yang jatuh tempo, pembelian kembali obligasi daerah, penyertaan modal (investasi) daerah, pemberian pinjaman daerah, transfer ke rekening dana cadangan, yang dianggarkan pada pengeluaran pembiayaan. Defisit anggaran terjadi apabila anggaran pendapatan daerah diperkirakan lebih kecil dari anggaran belanja daerah. Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit meliputi sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, transfer dari rekening dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman daerah dan obligasi daerah, penerimaan piutang daerah, yang dianggarkan pada penerimaan pembiayaan.<br /> Berkaitan dengan format dan struktur APBD, Dr. Mulia P. Nasution (2004) menyatakan bahwa tujuan perubahan format adalah: (1) meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan belanja negara melalui (a) minimalisasi duplikasi rencana kerja dan penganggaran dalam belanja negara/daerah; dan (b) meningkatkan keterkaitan antara keluaran (output) dan hasil (outcomes) yang dicapai dengan penganggaran organisasi; (2) menyesuaikan dengan klasifikasi yang digunakan secara internasional. Perbandingan format dan struktur belanja negara/daerah yagng baru dan lama dapat dilihat pada Tabel 2 berikut:<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />TABEL 2<br />PERBANDINGAN FORMAT<br />DAN STRUKTUR BELANJA NEGARA/DAERAH<br />BARU DAN LAMA<br />Format Lama<br />Format Baru<br />Ø Klasifikasi Jenis Belanja<br />§ Dual Budgeting<br />§ Belanja Pusat terdiri dari 6 jenis belanja (termasuk belanja pemba-ngunan).<br /><br />Ø Klasifikasi Organisasi<br />§ Tidak tercantum dalam NK dan UU APBN tetapi hanya tercantum dalam buku Satuan 3 yang ditetapkan dengan Keppres.<br /><br /><br />Ø Klasifikasi Sektor<br />§ Terdiri atas 20 sektor dan 50 subsektor.<br />§ Program merupakan rincian dari sektor pada pengeluaran rutin dan pembangunan.<br />§ Nama-nama program antara pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan agak berbeda.<br /><br />Ø Dasar Alokasi <br />§ Alokasi anggaran berdasarkan sektor, subsektor dan program.<br /><br />Ø Klasifikasi Jenis Belanja<br />§ Unified Budgeting<br />§ Belanja Pusat terdiri dari 8 jenis belanja.<br /><br /><br />Ø Klasifikasi Organisasi<br />§ Daftar organisasi pengguna anggaran belanja negara tercantum dalam NK dan UU APBN.<br />§ Jumlah kementerian negara/ lembaga disesuaikan dengan yang ada.<br /><br />Ø Klasifikasi Fungsi<br />§ Terdiri atas 11 fungsi dan 79 sub fungsi.<br />§ Program pada masing-masing kementerian negara/lembaga dikompilasi sesuai dengan fungsinya.<br />§ Nama-nama program telah disesuaikan dengan Unified Budget.<br />Ø Dasar Alokasi <br />§ Alokasi anggaran berdasarkan program kementerian negara/ lembaga.<br /><br /> Sumber : Dr. Mulia P. Nasution (2004)<br /><br /><br /> Penyusunan APBD<br /> <br /> Untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan umum dan pembangunan daerah, pemerintah daerah menyusun Rancangan APBD yang memuat rencana penerimaan, pengeluaran, dan pembiayaan. Ketentuan mengenai penyusunan APBD sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 UU 17/2003 adalah sebagai berikut: <br />Penyusunan Rancangan APBD berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintahan Daerah (RKPD);<br />Dalam rangka penyusunan RAPBD, pemerintah daerah menyusun kebijakan umum APBD berdasarkan RKPD;<br />Kebijakan Umum APBD memuat target pencapaian kinerja yang terukur dari setiap urusan pemerintahan daerah yang disertai dengan proyeksi pendapatan daerah, alokasi belanja daerah, sumber dan penggunaan pembiayaan;<br />Kebijakan Umum APBD disampaikan Kepala Daerah kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan Juni tahun anggaran berjalan untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya;<br />Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah dibahas dan disepakati, pemerintah daerah dan DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk satu tahun anggaran;<br />Kebijakan umum APBD dan prioritas serta plafon anggaran sementara yang telah dibahas, kemudian dirumuskan kedalam nota kesepakatan yang ditandatangani bersama antara Kepala daerah dengan pimpinan DPRD;<br />Kebijakan umum APBD dan prioritas serta plafon anggaran sementara yang telah disepakati bersama DPRD, selanjutnya ditetapkan Kepala Daerah sebagai acuan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk menyusun rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah (RKA-SKPD);<br />RKA-SKPD memuat rincian program, kegiatan dan anggaran dari setiap satuan kerja perangkat daerah. RKA-SKPD memuat informasi sekurang-kurangnya berisi penjelasan mengenai sasaran yang hendak dicapai, jenis, fungsi, nama organisasi, nama program, nama kegiatan, sumber pendapatan, jenis belanja, dan jenis pembiayaan;<br />Rencana pendanaan program dan kegiatan disesuaikan dengan prioritas dan plafon anggaran sementara yang telah ditetapkan Kepala Daerah;<br />Program dan kegiatan serta rencana anggaran selanjutnya disusun kedalam RKA-SKPD.<br />Penyusunan RKA-SKPD disertai dengan prakiraan belanja 1 (satu) tahun berikutnya dari tahun anggaran yang direncanakan sebagaimana tercantum dalam Renstra SKPD;<br />RKA-SKPD yang telah disusun oleh satuan kerja perangkat daerah disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah untuk dibahas lebih lanjut oleh tim anggaran eksekutif daerah;<br />Tim anggaran eksekutif daerah yang diketuai oleh sekretaris daerah dan beranggotakan pejabat satuan kerja perencanaan pembangunan daerah, pengelola keuangan daerah, pendapatan daerah dan unsure lainnya ditetapkan dengan keputusan kepala Daerah;<br />Pembahasan oleh tim anggaran eksekutif bertujuan untuk mengevaluasi prestasi kerja yang akan dicapai dalam rencana program, kegiatan dan anggaran yang diusulkan satuan kerja perangka daerah untuk diselaraskan dengan kebijakan umum APBD, dan prioritas serta plafon anggaran sementara, standar harga satuan, kewajaran biaya dengan beban kerja; <br />Standar harga satuan, dan kewajaran biaya dengan beban kerja ditetapkan dengan keputusan Kepala Daerah; <br /><br /> Penetapan APBD<br /><br /> Dalam hal penetapan APBD, berdasarkan Pasal 180 dan 181 UU 32/2004 proses penetapan APBD sebagai berikut:<br />a. RKA-SKPD yang telah dibahas oleh tim anggaran eksekutif daerah disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran APBD;<br />b. Rancangan peraturan daerah tentang APBD yang telah disusun oleh pejabat pengelola keungan daerah disusun oleh pejabat pengelola keuangan daerah disampaikan kepada kepala Daerah;<br />c. Rancangan peraturan daerah tentang APBD sebelum disampaikan kepada DPRD wajib disebarluaskan kepada masyarakat;<br />d. Penyebarluasan rancangan peraturan daerah tentang APBD bersifat pemberian informasi mengenai hak dan kewajiban pemerintah daerah serta masyarakat dalam pelaksanaan APBD tahun anggaran yang direncanakan; penyebarluaan dilakukan oleh sekretaris daerah;<br />e. Kepala Daerah mengajukan rancangan peraturan daerah tentang APBD, beserta lampirannya (nota keuangan) kepada DPRD paling lambat pada minggu pertama bulan Oktober tahun anggaran sebelumnya untuk mendapatkan persetujuan bersama;<br />f. DPRD menetapkan agenda pembahasan rancangan peraturan daerah;<br />g. Pembahasan rancangan peraturan daerah berpedoman pada kebijakan umum APBD, serta prioritas dan plafon anggaran sementara yang telah disepakati bersama antara pemerintah daerah dan DPRD;<br />h. Pengambilan keputusan DPRD untuk menyetujui rancangan peraturan daerah tentang APBD paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan;<br />i. Rancangan peraturan Kepala Daerah dapat dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari menteri dalam Negeri bagi Propinsi dan Gubernur bagi Kabupaten/Kota.<br /><br /> Perubahan APBD<br /> <br /> Perubahan APBD dapat dilakukan apabila terjadi: (a) perubahan kebijakan umum APBD serta perubahan prioritas dan plafon anggaran sementara, disajikan secara lengkap penjelasan antara pokok-pokok kebijakan umum serta prioritas dan plafon anggaran sebelum perubahan dan setelah perubahan; (b) perubahan atas kegiatan, rincian kegiatan, dan uraian rincian kegiatan yang tercantum dalam DPKA, dapat dilakukan melalui mekanisme pergeseran anggaran dan dituangkan dalam perubahan APBD; (c) keadaan yang menyebabkan sisa lebih perhitungan anggaran tahun yang lalu harus digunakan untuk pembiayaan dalam tahun anggaran berjalan.<br /> <br /> Pelaksanaan APBD<br /><br /> Setelah APBD ditetapkan secara rinci dengan Peraturan Daerah, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota sebagai pedoman bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam pelaksanaan anggaran. Selanjutnya Kepala Daerah memberitahukan kepada semua kepala SKPD agar menyampaikan dokumen pelaksanaan anggaran untuk masing-masing SKPD. Masing-masing Kepala SKPD menyusun dokumen pelaksanaan anggaran untuk SKPD yang dipimpinnya berdasarkan alokasi anggaran yang ditetapkan oleh Kepala Daerah. Dokumen pelaksanaan anggaran tersebut, diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan, anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja serta pendapatan yang diperkirakan. Selanjutnya Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh pejabat pengelola keuangan daerah disampaikan kepada kepada SKPD dan badan pengawasan daerah. Dalam melaksanakan pengeluaran anggaran, kepala SKPD selaku pengguna anggaran, menggunakan standarisasi harga dan standarisasi barang/jasa. Standarisasi harga dibuat dalam bentuk Patokan Harga Satuan (PHS) untuk berbagai jenis barang/jasa ditetapkan setiap 6 (enam) bulan sekali. Patokan harga Satuan (PHS) dipergunakan oleh Kepala SKPD selaku pengguna anggaran sebagai masukan dalam menyiapkan Harga Prakiraan Sendiri (HPS)/ Owner’s Estimate (OE). Standarisasi barang/jasa tersebut ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah. <br /> Pertanggungjawaban Keuangan Daerah <br /> <br /> Sebagai upaya konkrit dalam mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, Gubernur/Bupati/Walikota selaku pengguna anggaran/ barang bertanggungjawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil (outcome). Sedangkan Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggungjawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan (output). Laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD disampaikan berupa laporan keuangan yang setidak-tidaknya terdiri dari : (1) laporan realisasi anggaran; (2) neraca; (3) laporan arus kas; dan (4) catatan atas laporan keuangan.<br /> Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Pejabat Pengelola Keuangan Daerah menyusun laporan keuangan pemerintah daerah untuk disampaikan kepada Gubernur/Bupati/Walikota dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. Sedangkan Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pengguna anggaran/pengguna barang menyusun dan menyampaikan laporan keuangan yang meliputi laporan realisasi anggaran, neraca, dan catatan atas laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut disampaikan kepada Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Bendahara Umum Daerah menyusun Laporan Arus Kas Pemerintah Daerah. Laporan keuangan disampaikan Gubernur/Bupati/Walikota kepada Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan keuangan pemerintah daerah yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.<br /><br /> Pengawasan Keuangan Daerah <br /> <br /> Dalam hal pengawasan pengelolaan keuangan daerah Pasal 58 UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara menyatakan bahwa “dalam rangka meningkatkan kinerja, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, Presiden selaku Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah secara menyeluruh”. Sedangkan untuk pemerintah daerah, Gubernur/Bupati/<br />Walikota mengatur lebih lanjut dan menyelenggarakan sistem pengendalian intern di lingkungan pemerintah daerah yang dipimpinnya. <br /> Gubernur/Bupati/Walikota melakukan pengawasan pengelolaan keuangan daerah yang mencakup pengendalian dan pemeriksaan atas perencanaan dan pelaksanaan program, kegiatan dan anggaran. Pengendalian dimaksudkan untuk menjamin terlaksananya program, kegiatan dan anggaran yang telah ditetapkan. Sedangkan pemeriksaan bertujuan untuk menguji ketaatan dan kewajaran pelaporan keuangan, pencapaian aspek ekonomi (efisiensi dan efektifitas, dan kemungkinan adanya indikasi kerugian daerah. Disamping sistem pengendalian internal tersebut, pengawasan atas pengelolaan keuangan daerah juga dilakukan oleh berbagai lembaga pengawasan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, baik oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BEPEKA), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pengawasan Daerah (BAWASDA) sebagai aparatur pengawasan perangkat Pemerintah Daerah, serta pengawasan oleh DPRD atas pelaksanaan APBD.<br /><br /><br />V. Penutup<br /> Perubahan dalam sistem pengelolaan keuangan daerah diharapkan akan mampu mendorong terciptanya efektivitas, efisiensi dan transparansi, serta tertib dan taat pada peraturan perundang-undangan dengan tetap memperhatikan rasa keadilan dan kepatutat dalam setiap pengelolaan keuangan daerah. Disamping itu dari aspek teknis, aspek legalitas dan aspek material, sedapat mungkin dapat menjamin terciptanya akuntabilitas dan diharapkan akan dapat mencegah atau paling tidak mengurangi praktik-praktik penyimpangan dalam pengelolaan keuangan daerah.<br /> Namun demikian untuk megimplementasikan sistem pengelolaan keuangan daerah sebagaimana telah diamanatkan berbagai peraturan perundangan bidang keuangan negara tersebut, diperlukan kesiapan yang matang dan perlunya tindak lanjut dari berbagai peraturan perundangan tersebut ke dalam kebijakan yang lebih teknis sebagai landasan penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan Surat Edaran No. 903/3172/SJ/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2005, dimana disebutkan bahwa sambil menunggu penyelesaian peraturan pemerintah sebagai landasan penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, dan pertanggungjawaban APBD sebagaimana diamanatkan Pasal 194 UU 32/2004, UU 17/2003, UU 1/2003, maka untuk menyusun APBD tahun anggaran 2005 masih berpedoman pada Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 tahun 2002 tentang Pedoman Penyusunan, Penganggaran dan Pengawasan Keuangan serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD.<br /><br />VI. Daftar Pustaka<br /><br /> Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;<br /> Undang-undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;<br /> Undang-undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara;<br /> Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;<br /> Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.<br /> Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.<br /> Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah;<br /> Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.<br /> Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Nasional tahun 2004-2009.<br /> Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 29 tahun 2002 tentang Pedoman Penyusunan, Penganggaran dan Pengawasan Keuangan serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD.<br /> Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 903/3172/SJ/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah Tahun anggaran 2005.<br /> Dr. Boediono, Kebijakan Pengelolaan Keuangan Negara Dalam Rangka Pelaksanaan Azas Desentralisasi Fiskal, Jakarta, Februari 2002.<br /> Dr. Mulia P. Nasution, DESS, Reformasi Pengelolaan Keuangan Negara dan Akuntabilitas Kinerja Keuangan di Era Baru Pemerintahan, Jakarta, 2004.<br /> Bachrul Elmi, Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia, UI-Pres, 2002.<br /><br /><br /><br /> </div>MARSONOhttp://www.blogger.com/profile/01129113131791804414noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8966885912739434754.post-50728969656761928812009-02-11T04:06:00.000-08:002009-02-11T04:14:12.916-08:00MANAJEMEN KINERJA SEKTOR PUBLIK: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia<div align="justify"> Oleh: Marsono<br /><br /><br />Pendahuluan<br /> Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat bagi setiap pemerintahan untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dan mencapai tujuan serta cita-cita dalam berbangsa dan bernegara. Dalam mewujudkan cita-cita berbangsa dan bernegara tersebut, peranan pemerintah dalam penyelenggaraan negara pada umunya mencakup dua kelompok fungsional, yaitu: (a) dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum, yang antara lain meliputi penciptaan dan pemeliharaan rasa aman dan pengaturan ketertiban, pertahanan dan keamanan, penyelenggaraan hubungan diplomatik, serta pemungutan pajak; (b) dalam rangka penyelenggaraan fungsi pembangunan, seperti pembangunan bangsa serta pembangunan ekonomi dan sosial yang diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat .<br /><br /> Untuk dapat menyelenggarakan fungsi sebagaimana tersebut di atas, tentu dibutuhkan dukungan berbagai sumber daya dan komitmen dari semua pihak, baik pemerintah, dunia usaha, maupun masyarakat. Disamping itu pemerintah juga dituntut untuk transparan dan akuntabel dalam penyelenggaraan pemerintahan, sehingga benar-benar dapat diwujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Disamping itu, sejalan dengan prinsip akuntabilitas dan upaya implementasi anggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) maka instansi pemerintah harus menetapkan tingkat kinerja terukur yang akan diwujudkan pada periode 1 (satu) tahun. <br /> <br /> Upaya mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik tersebut, diperlukan suatu sistem manajemen kinerja yang mampu mengukur kinerja dan keberhasilan instansi pemerintah, dengan demikian akan tercipta legitimasi dan dukungan publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Tanpa adanya sistem manajemen kinerja sektor publik (pemerintah) yang baik niscaya akan dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan, yang pada gilirannya juga akan menghambat terwujudnya pemerintahan yang baik (good governance).<br /><br /> Kinerja merupakan tujuan utama manajemen sektor publik. Reformasi administrasi publik yang terjadi selama kurang lebih 25 tahun terakhir ini pada dasarnya berfokus pada konsep kinerja dan efektivitas. Gerakan pembaharuan administrasi publik yang disebut New Public Management (NPM) atau reinvention adalah upaya meningkatkan kinerja. Reformasi administrasi publik yang terus bergulir tersebut sangat dipengaruhi oleh konsep New Publik Management (NPM) yang diperkenalkan oleh Christopher Hood pada tahun 1991. Konsep NPM terkait dengan manajemen kinerja sektor publik, karena pengukuran kinerja menjadi salah satu prinsip NPM. Penerapan konsep NPM telah menyebabkan terjadinya perubahan manajemen sektor publik yang drastis dari sistem manajemen tradisional yang kaku, birokratis, dan hierarkis menjadi model manajemen sektor publik yang fleksibel dan lebih mengakomodasi pasar. Penerapan NPM juga merupakan bentuk modernisasi atau reformasi manajemen dan administrasi publik, depolitisasi kekuasaan, atau desentralisasi wewenang yang mendorong terbentuknya demokratisasi.<br /><br /> Melalui tulisan ini penulis ingin menyampaikan: (a) pentingnya manajemen kinerja sektor publik; (b) konsepsi manajemen kinerja sektor publik; (c) ruang lingkup manajemen kinerja sektor publik; dan (d) implementasi manajemen kinerja sektor publik di Indonesia. <br /><br /><br />Konsepsi Manajemen Kinerja Sektor Publik<br /> <br /> Konsepsi manajemen. James A.F. Stoner (1996) menyatakan bahwa manajemen adalah proses merencanakan, mengorganisasikan, memimpin, dan mengendalikan berbagai upaya dari anggota organisasi dan proses penggunaan semua sumber daya organisasi demi tercapainya tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Selanjutnya Kathryn M. Bartol dan David C. Marten ( ) menyatakan bahwa manajemen adalah proses untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi dengan melakukan kegiatan-kegiatan dari empat fungsi utama, yaitu merencanakan (planning), mengorganisasikan (organizing), memimpin (leading) dan mengen-dalikan (controlling). Dari definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa manajemen adalah sebuah proses untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan menggunakan fungsi-fungsi merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan mengendalikan (pendekatan fungsi).<br /><br /> Konsepsi kinerja. Otley (1999) menyatakan bahwa kinerja mengacu pada sesuatu yang terkait dengan kegiatan melakukan pekerjaan, dalam hal ini meliputi hasil yang dicapai kerja tersebut. Selanjutnya Rogers (1994) berpendapat bahwa kinerja didefinisikan sebagai hasil kerja (outcomes of work), karena hasil kerja memberikan keterkaitan yang kuat terhadap tujuan-tujuan strategik organisasi, kepuasan pelanggan, dan kontribusi ekonomi. Lebih lanjut pengertian kinerja (kinerja instansi pemerintah) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi dan strategi instansi pemerintah yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan-kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan (LAN: 2003). <br /> Oleh karena itu, kinerja merupakan kondisi yang harus diketahui dan diinformasikan kepada pihak-pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu organisasi dihubungkan dengan misi yang diemban. Kinerja juga merupakan tingkat efisiensi dan efektivitas serta inovasi dalam pencapaian tujuan oleh pihak manajemen dan divisi-divisi yang ada dalam organisasi.<br /> <br />Gambar 1<br />Pengaruh Kinerja Individu dan Kelompok Terhadap Kinerja Organisasi<br /><br /><br /><br />Kinerja Individu<br /><br />Kinerja Tim/Kelompok<br />Kinerja Organisasi<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Faktor Kinerja:<br />· Knowledge<br />· Skill<br />· Motivasi<br />· Peran<br /><br />Faktor Kinerja:<br />· Keeratan tim<br />· Kepemimpinan<br />· Kekompakan (kesolidan tim)<br />· Struktur tim<br />· Peran tim<br />· Norma<br /><br />Faktor Kinerja:<br />· Lingkungan<br />· Kepemimpinan<br />· Struktur Organisasi<br />· Pilihan Strategi<br />· Teknologi<br />· Kultur Organisasi<br />· Proses Organisasi<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />(Sumber: Grote, 1997).<br /><br /><br /> Konsepsi manajemen kinerja. Manajemen kinerja menurut Surya Dharma (2005) adalah suatu cara untuk mendapatkan hasil yang lebih baik bagi organisasi, kelompok dan individu dengan memahami dan mengelola kinerja sesuai dengan target yang telah direncanakan, standar dan persyaratan kompetensi yang telah ditentukan. Dengan demikian manajemen kinerja adalah sebuah proses untuk menetapkan apa yang harus dicapai, dan pendekatannya untuk mengelola dan pengembangan manusia melalui suatu cara yang dapat meningkatkan kemungkinan bahwa sasaran akan dapat dicapai dalam suatu jangka waktu tertentu baik jangka pendek maupun jangka panjang.<br /> Selanjutnya Amstrong (1994) menyatakan bahwa manajemen kinerja berkenaan dengan proses kerja, manajemen, pengembangan dan imbalan yang saling berhubungan. Lebih lanjut dikatakan bahwa manajemen kinerja dapat menjadi suatu kekuatan penggabung yang amat kuat, memastikan bahwa proses tersebut dihubungkan secara tepat sebagai bagian fundamental dari pendekatan manajemen sumber daya manusia yang harus dilaksanakan dalam organisasi. Sedangkan fungsi manajemen kinerja sebagai proses yang terintegrasi disajikan pada gambar berikut:<br />Gambar 3<br />Manajemen Kinerja Sebagai Pendorong Integrasi<br />(Amstrong, 2004)<br /><br />Manajemen Kinerja<br />Meningkatkan Kinerja Individu dan Kinerja Organisasi<br />Manajemen Reeward<br />Mengembangkan kemampuan dan kompetensi<br />Meningkatkan efektivitas manajerial<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> <br /><br /> Manajemen kinerja yang efektif memberikan dasar bagi usaha mengkomunikasikan misi, nilai-nilai dan sasaran organisasi kepada seluruh anggota organisasi. Peranan manajemen kinerja dalam mendukung pencapaian strategi organisasi adalah dengan suatu cara mengintegrasikan sasaran ke bawah, ke atas dan ke samping di seluruh tubuh organisasi. Pada hakekatnya manajemen kinerja lebih merupakan suatu manajemen berdasarkan kesepakatan ataupun kontrak kinerja daripada merupakan suatu manajemen berdasarkan komando.<br /> <br /> Faktor penting dalam manajemen kinerja menurut Williams dalam Amstrong (2004) adalah penetapan sasaran. Dimana disebutkan bahwa penetapan sasaran adalah proses manajemen yang memastikan setiap anggota organisasi memahami aturan dan hasil yang perlu dicapai untuk memaksimalkan kontribusi mereka bagi organisasi secara keseluruhan. Selanjutnya disebutkan bahwa sasaran hendaknya: (1) disepakati bersama antara pimpinan dan seluruh anggota organisasi secara realistis dan menantang sehingga ada rasa memiliki; (2) mengukur tingkat sesungguhnya dari pencapaian, sehingga dasar penilaian kinerja dapat dimengerti sebelumnya dan jelas; (3) bersifat mendukung strategi organisasi secara keseluruhan, sehingga sasaran yang telah ditetapkan bersama dapat terintegrasi dan konsisten di dalam organisasi. Lebih lanjut disebutkan bahwa terdapat tiga bentuk penggunaan sasaran, yaitu: (a) sasaran yang memberikan kontribusi terhadap pencapaian sasaran organisasi yang disebut dengan “key result areas”; (b) sasaran yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan kinerja individu, yang disebut “standar kinerja”; dan (c) sasaran yang memberikan kontribusi terhadap pengembangan diri individu yang disebut “pengembangan kinerja”.<br /><br /> Manajemen kinerja sektor publik. Dari konsepsi manajemen maupun kinerja sebagaimana tersebut di atas, maka manajemen kinerja sektor publik didefinisikan sebagai suatu metode untuk mengukur kemajuan program atau kegiatan yang dilakukan oleh organisasi sektor publik dalam mencapai hasil atau outcome (Mahmudi: 2005). Selanjutnya manajemen kinerja menurut Performance Management Handbook Departemen Energi USA, adalah suatu pendekatan sistematik untuk memperbaiki kinerja melalui proses berkelanjutan dalam penetapan sasaran-sasaran kinerja strategik, mengukur kinerja, mengumpulkan, menganalisis, menelaah, dan melaporkan data kinerja, serta menggunakan data tersebut untuk memacu perbaikan kinerja. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 1.3<br />Model Pendekatan Manajemen Kinerja<br /><br />Pelaku (Pegawai)<br />Perilaku<br />(Proses)<br />Hasil (Outcome/Result)<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Manajemen Ki- Manajemen Kinerja Manajemen Kinerja<br /> nerja Berfokus Berfokus pada Peri- Berfokus pada Hasil<br /> pada Pelaku (Perfor- laku (Proses) (Outcome)<br /> mer)<br /><br />(Sumber: ……………….., 2005.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 1.4<br />Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi<br /><br /><br />Perumusan Strategi<br /> Rencana Strategik: <br />· <br />Perencanaan StrategikSasaran Strategik<br />· Ukuran Hasil (Indikator<br /> Kinerja)<br />· Target<br /> <br /><br />Penyusunan Program<br /><br /><br />Penyusunan Anggaran<br /><br /> Pengukuran Kinerja <br /> (Performance Measurement)<br /><br />Implementasi<br /><br /><br />Monitoring<br /><br /> Pencapaian Hasil<br /> <br />Pelaporan Kinerja<br /><br /> Hasil Penilaian Kinerja<br /> (Feedback)<br /><br />Evaluasi Kinerja<br /><br /><br /> Pentingnya manajemen kinerja sektor publik adalah dalam rangka mendapatkan legitimasi dan dukungan publik. Masyarakat akan menilai kesuksesan organisasi sektor publik melalui kemampuan organisasi dalam memberikan pelayanan publik yang relative murah dan berkualitas. Mahmudi (2005) menyatakan bahwa manajemen kinerja sektor publik mengandung prosedur, langkah-langkah dan tahapan yang membentuk suatu siklus kinerja. Adapun tahapan sistem manajemen kinerja tersebut meliputi: (1) Tahap perencanaan kinerja; (2) Tahap pelaksanaan kinerja; (3) Tahap penilaian kinerja; (4) Tahap review kinerja; dan (5) Tahap perbaikan kinerja.<br /><br /> Tahap perencanaan kinerja. Perencanaan kinerja menurut LAN (2003) adalah merupakan proses penetapan kegiatan tahunan dan indikator kinerja berdasarkan program, kebijakan dan sasaran yang telah ditetapkan dalam rencana strategik. Beberapa manfaat dari perencanaan kinerja antara lain: (a) menghubungkan perencanaan strategik; (b) menajamkan dan mengoperasionalkan rangkaian perencanaan sampai penganggaran; (c) memudahkan melakukan pengukuran dan penilaian kinerja; (d) memudahkan proses monitoring dan evaluasi kinerja, melancarkan mekanisme umpan balik bagi peningkatan kinerja; (e) memudahkan manajemen dalam menetapkan beban atau target pada unit kerja; dan (f) memudahkan dalam pemberian reward and punishment berdasarkan capaian kinerja.<br /> Selanjutnya berkaitan dengan perencanaan kinerja, Mahmudi (2005) menyatakan bahwa perencanaan kinerja dilakukan pada tahap awal dari keseluruhan proses manajemen kinerja. Pada tahap ini organisasi harus menetapkan kriteria kinerja, target kinerja, dan indikator kinerja sebagai bentuk kontrak kinerja atau komitmen kinerja. Dalam tahap perencanaan kinerja antara appraiser dengan appraisee harus membuat kontrak kinerja untuk menetapkan kriteria untuk menilai capaian kinerja appraisee. Dalam kontrak kinerja tersebut ditentukan hal-hal mengenai: (a) akuntabilitas kinerja yang harus dipenuhi oleh appraisee, dalam hal ini adalah tanggung jawab dalam mencapai hasil kerja; (b) tujuan spesifik yang hendak dicapai, termasuk target kinerja yang hendak dicapai; (c) standar kinerja atau kriteria kinerja yang akan digunakan untuk mengevaluasi seberapa bagus appraisee mencapai tujuan dan target kinerja; dan (d) faktor-fasktor kinerja, kompetensi, atau perilaku yang akan mempengaruhi proses kinerja. <br /><br /> Tahap pelaksanaan kinerja. Pada tahap implementasi kinerja, pimpinan bertanggungjawab melakukan pengorganisasian, pengkoordinasian, pengendalian, pendelegasian, dan pengarahan kepada staf. Pengarahan dan pemberian umpan balik (feedback) atas kinerja staf merupakan kunci keberhasilan pencapaian tujuan kinerja. Disamping itu, dalam tahap implementasi kinerja sangat mungkin terjadi perubahan lingkungan yang signifikan sehingga perencanaan kinerja yang telah dibuat menjadi tidak relevan. Untuk itu pimpinan harus segera merevisi rencana kinerja, membuat tujuan-tujuan dan strategi baru untuk merespon perubahan yang terjadi. <br /><br /> Pengukuran kinerja. Robertson (2002) menyatakan pengukuran kinerja merupakan suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditentukan, termasuk informasi atas efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas barang dan jasa, perbandingan hasil kegiatan dengan target, dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan. Selanjutnya Mahmudi (2005) menyatakan bahwa pengukuran kinerja paling tidak harus mencakup tiga variabel penting yang harus dipertimbangkan, yaitu: (1) perilaku (proses); (2) output (produk langsung suatu aktivitas/program); dan (3) outcome (value added atau dampak aktivitas/program). Perilaku, hasil dan nilai tambah merupakan variabel yang saling tergantung satu sama lain, dan menjadi faktor yang sangat penting dalam manajemen kinerja. Terkait dengan pengukuran kinerja, lebih lanjut disebutkan bahwa pengukuran kinerja meliputi aktivitas penetapan serangkaian ukuran atau indikator kinerja yang memberikan informasi sehingga memungkinkan bagi unit kerja sektor publik untuk memonitor kinerjanya dalam menghasilkan output dan outcome terhadap masyarakat. Sedangkan pengukuran kinerja menurut definisi LAN (2003) adalah proses sistematis dan berkesinambungan untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan program, kebijakan, sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam mewujudkan visi, misi dan trategi instansi pemerintah. Pengukuran kinerja mencakup: (1) kinerja kegiatan yang merupakan tingkat pencapaian target dari masing-masing kelompok indikator kinerja kegiatan; dan (2) tingkat pencapaian sasaran, yang merupakan tingkat pencapaian target dari masing-masing inidikator sasaran yang telah ditetapkan dan dituangkan dalam dokumen rencana kinerja.<br /><br /> Berkaitan dengan manajemen kinerja sektor publik, Mahmudi (2005) menyatakan bahwa konsep value for money (VFM) merupakan konsep penting dalam manajemen kinerja sektor publik. Meskipun sama-sama menggunakan kata value dan money, konsep velue for money sangat berbeda maknanya dengan konsep time value of money dalam akuntansi dan manajemen keuangan. Time value of money memiliki pengertian bahwa nilai uang bisa berubah dengan adanya perubahan waktu, sedangkan value for money memiliki pengertian penghargaan terhadap nilai uang. Hal ini berarti bahwa setiap rupiah harus dihargai secara layak dan digunakan sebaik-baiknya. Konsep value for money terdiri atas tiga elemen utama, yaitu: (1) ekonomi; (2) efisiensi; dan (3) efektivitas. Konsep ekonomi sangat terkait dengan konsep biaya untuk memperoleh unit input. Ekonomi memiliki pengertian bahwa sumber daya input hendaknya diperoleh dengan harga lebih rendah (spending less), yaitu harga yang mendekati harga pasar. Secara matematis, ekonomi merupakan perbandingan antara input dengan nilai rupiah untuk memperoleh input tersebut. Untuk itu organisasi harus dapat memastikan bahwa dalam perolehan sumber daya input , seperti (material, barang, dan bahan baku tidak terjadi pemborosan. <br /> <br /> Ekonomi = INPUT<br /> _______________________<br /> HARGA INPUT (Rp)<br /><br /> Konsep efisiensi berbicara mengenai input dan output. Untuk itu efisiensi terkait dengan hubungan antara output berupa barang atau pelayanan yang dihasilkan dengan sumber daya yang digunakan untuk menghasilkan output tersebut. Secara matematis, efisiensi merupakan perbandingan antara output dengan input. <br /><br /> Efisiensi = OUTPUT<br /> ___________<br /> INPUT<br /> <br /> Konsep efisiensi juga sangat terkait dengan produktivitas. Produktivitas merupakan perandingan antara input dengan output. Karena konsep efisiensi merupakan suatu rasio, maka untuk memperbaiki efisiensi dapat dilakukan tindakan sebagai berikut: (a) meningkatkan output untuk jumlah input yang sama; (b) meningkatkan output dengan proporsi kenaikan output yang lebih besar dibandingkan proporsi kenaikan input; (c) menurunkan input untuk jumlah output yang sama; dan (d) menurunkan input dengan proporsi penurunan yang lebih besar dibandingkan proporsi penurunan output.<br /><br /> Konsep efektivitas terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan (target) dengan hasil yang sesungguhnya dicapai (realisasi). Efektivitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan. Semakin besar kontribusi output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program, atau kegiatan. Jika ekonomi berfokus pada input dan efisiensi pada output atau proses, maka efektivitas berfokus pada outcome (hasil). Suatu organisasi, program, atau kegiatan dinilai efektif apabila output yang dihasilkan dapat memenuhi tujuan yang diharapkan, atau dikatakan spending wisely.<br /><br /> Efektivitas = OUTCOME<br /> ___________<br /> OUTPUT<br /><br /> Mengingat output yang dihasilkan organisasi sektor publik lebih banyak bersifat output tidak berwujud (intangible) yang tidak mudah untuk dikuantifikasi, maka pengukuran efektivitas sering menghadapi kesulitan. Kesulitan dalam pengukuran efektivitas tersebut karena pencapaian hasil (outcome) sering tidak bisa diketahui dalam jangka pendek, tetapi jangka panjang setelah program berakhir, sehingga ukuran efektivitas biasanya dinyatakan secara kualitatif dalam bentuk pernyataan (judgment) saja.<br /><br /> Pada prinsipnya konsep value for money menghendaki organisasi bisa memenuhi prinsip ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Untuk itu, yang perlu dilakukan organisasi adalah tidak sekadar melakukan efisiensi biaya (cost efficiency) akan tetapi mencapai efektivitas biaya (cost effectivenees), yaitu dengan mengupayakan setiap biaya yang dikeluarkan dapat mencapai hasil yang diharapkan. <br /><br /><br />Gambar 4.1<br />Value for Money Chain<br /><br /><br />OUTCOME<br />(Hasil)<br />OUTPUT<br />(Keluaran)<br />INPUT<br />(Masukan)<br />INPUT<br />PRIMER (Rp) <br /><br /><br />EKONOMI<br />(Spending Less)<br />EFISIENSI<br />(Spending Well)<br />EFEKTIVITAS<br />(Spending Wisely)<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar<br />Rerangka Pengukuran Kinerja Organisasi Sektor Publik<br /><br /><br />Kebutuhan Masyarakat<br />(Needs Assessment)<br /><br /><br /><br />Visi & misi<br /><br /><br />Tujuan<br /><br />Sasaran & Inisiatif Strategik, target<br /><br /><br />Program<br /><br /><br />Cost (Anggaran)<br />Cost of Input (Ekonomi)<br /><br />Input<br />Cost Efficiency<br /><br /><br />Efisiensi (Produktivitas)Proses (Implementasi)<br />Cost Effectiveness<br /><br /><br />Output<br />Efektivitas<br /><br />Outcome<br />Kepuasan Pelanggan<br />Net Social Benefit<br /><br />Benefit<br /><br />Impact<br /><br /><br /><br /> Tahap penilaian kinerja. Manajemen kinerja terkait dengan menilai kinerja, baik kinerja personal, kelompok, maupun kinerja organisasional serta bagaimana memberi penghargaan atas kinerja tersebut. Oleh karena itu manajemen kinerja sangat terkait dengan manajemen kompensasi. Prinsip penting dalam sistem manajemen kompensasi adalah kinerja yang tinggi harus diberi penghargaan (reward) yang layak, sedangkan kinerja yang buruk diberi hukuman (punishment) yang adil dan manusiawi. Pemberian penghargaan dan hukuman tersebut tidak dapat dilakukan tanpa alasan yang rasional, oleh karena itu diperlukan adanya penilaian kinerja yang obyektif dan akurat. Secara garis besar mekanisme reward dan punishment melibatkan beberapa variabel, antara lain: (1) motivasi; (2) kinerja; (3) kepuasan; dan (4) penghargaan dan hukuman. Untuk lebih jelasnya proses reward and punishment dapat dilihat pada gambar berikut:<br /><br />Gambar …<br />Proses Reward dan Punishment<br />Sumber: Mahmudi, 2005.<br /><br />· Kemampuan<br />· Keterampilan<br />· Pengalaman<br />Motivasi Kerja<br />Hasil (Kinerja)<br /><br />Penilaian Kinerja<br />Reward & Punishment<br />Kepuasan Kerja<br />Umpan Balik<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> Tahap review kinerja. Evaluasi kinerja merupakan penilaian yang bersifat sistematis terhadap kebijakan/program yang dalam bentuk nyata berupa kegiatan atau sekelompok kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan pelaku lainnya dalam rangka membuat penetapan tentang efek/dampak kebijakan/program, baik untuk jangka waktu pendek maupun pangjang (LAN, 2003). Selanjutnya Ismail Mohamad (2004) menyatakan bahwa evasluasi kinerja pada dasarnya adalah kegiatan penilaian yang dilandasi semangat internal auditing untuk mengukur tingkat pencapaian kinerja suatu organisasi. Dengan audit, kegiatannya dilakukan melalui suatu analisis yang kritis dan investigative atas proses dan hasil-hasil yang dicapai suatu organisasi dengan menggunakan ukuran-ukuran (criteria) yang telah distandarisasikan.<br /><br /> Tahap perbaikan dan kontrak ulang kinerja. Tahap perbaikan kinerja dan kontrak ulang kinerja merupakan tahap untuk merevisi tahap pertama, yaitu menetapkan kembali akuntabilitas kinerja yang harus dipenuhi oleh appraisee, merevisi tujuan, target kinerja, standar kinerja dan kriteria kinerja. Perbaikan kinerja dan kontrak ulang kinerja perlu dilakukan karena dalam periode tertentu pasti akan terjadi perubahan.<br /><br /><br />Aplikasi Manajemen Kinerja Sektor Publik di Indonesia<br /><br /> Penerapan dan pembaharuan manajemen kinerja sektor publik di Indonesia sebenarnya telah dilakukan pemerintah sejak diterbitkannya Instruksi Presiden No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP), yang selanjutnya diterbitkan pula Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 yang terkait dengan Penetapan Kinerja sebagai bagian yang integral dari Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) sebagai upaya dalam membangun kepemerintahan yang berorientasi pada hasil. Sedangkan kebijakan yang lebih operasional yaitu Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor : 239/IX/6/8/2003 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.<br /><br /> Sistem AKIP yang merupakan salah satu wujud dari manajemen kinerja sektor publik mencakup: (a) perencanaan strategik yang memuat visi, misi, tujuan, sasaran dan strategi (cara mencapai tujuan dan sasaran); (b) perencanaan kinerja yang meliputi sasaran, program, kegiatan dan indikator kinerja; (c) pengukuran kinerja yang mencakup kinerja kegiatan dan kinerja sasaran; (d) pelaporan kinerja yang dituangkan dalam dokumen Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP); <br /><br /> Terkait dengan penerapan manajemen kinerja di sektor pemerintah tersebut, Taufik Efendi (2005) menyatakan kedepan diharapkan tidak akan ada lagi instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah yang tidak memiliki ukuran dan target kinerjanya. Reformasi kelembagaan pun akan didasarkan pada hasil evaluasi capaian kinerja yang dihasilkan oleh instansi/init kerja yang bersangkutan. Pada gilirannya prinsip “no performance no money ” atau tidak akan ada lagi anggaran pemerintah untuk instansi/unit kerja yang tidak berkinerja akan segera dilaksanakan.<br /><br /> Shahruddin Rasul (2005) Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang telah diterapkan di Indonesia memiliki beberapa komponen yang memenuhi kriteria dalam siklus manajemen kinerja, yaitu: (1) perencanaan strategis; (2) rencana kinerja tahunan yang menekankan komitmen organisasi untuk mencapai hasil tertentu sesuai dengan rencana strategis organisasi untuk permintaan sumber daya yang dianggarkan; (3) penetapan (kontrak) kinerja yang didesain untuk menyediakan sebuah proses meningkatkan komitmen untuk mengukur kinerja dan membangun akuntabilitas serta kesediaan untuk membuat organisasi menjadi transparan; (4) pengukuran dan evaluasi kinerja; serta (5) laporan kinerja yang dipublikasikan tahunan.<br /><br /> Namun demikian dalam pelaksanaannya komitmen dan tanggungjawab pimpinan instansi masih relatif rendah. Hal ini dapat dilihat dari jumlah instansi pemerintah yang menyampaikan LAKIP dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2004 sebagaimana pada tabel berikut:<br />Tabel <br />Daftar Instansi Yang Menyampaikan LAKIP 2001-2004<br /><br /><br />INSTANSI<br />2001<br />2002<br />2003<br />2004<br />Wajib<br />Realisasi<br />%<br />Wajib<br />Realisasi<br />%<br />Wajib<br />Realisasi<br />%<br />Wajib<br />Realisasi<br />%<br />Pusat<br />64<br />49<br />76<br />64<br />62<br />96<br />66<br />58<br />87<br />67<br />64<br />95<br />Pemprov<br />30<br />14<br />50<br />30<br />27<br />90<br />30<br />23<br />76<br />33<br />27<br />81<br />Pemkab/<br />Pemkot<br />375<br />98<br />26<br />375<br />279<br />74<br />376<br />241<br />64<br />418<br />299<br />71<br />Jumlah<br />469<br />162<br />34<br />469<br />368<br />78<br />472<br />322<br />68<br />518<br />390<br />75<br />Sumber: Kantor Menteri Negara PAN (2005).<br /><br />Penutup<br /><br /> Penerapan dan pembaharuan manajemen kinerja sektor publik di Indonesia sebenarnya telah dilakukan pemerintah sejak diterbitkannya Instruksi Presiden No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP), yang selanjutnya diterbitkan pula Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 yang terkait dengan Penetapan Kinerja sebagai bagian yang integral dari Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) sebagai upaya dalam membangun kepemerintahan yang berorientasi pada hasil. Sedangkan kebijakan yang lebih operasional yaitu Keputusan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor : 239/IX/6/8/2003 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.<br /> Sistem AKIP yang merupakan salah satu wujud dari manajemen kinerja sektor publik mencakup: (a) perencanaan strategik yang memuat visi, misi, tujuan, sasaran dan strategi (cara mencapai tujuan dan sasaran); (b) perencanaan kinerja yang meliputi sasaran, program, kegiatan dan indikator kinerja; (c) pengukuran kinerja yang mencakup kinerja kegiatan dan kinerja sasaran; (d) pelaporan kinerja yang dituangkan dalam dokumen Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP); <br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /><br />Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah.<br /><br />Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.<br /><br />Lembaga Administrasi Negara, Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, Jakarta, 2003.<br /><br />AR, Mustopadidjaja, Format Bernegara Menuju Masyarakat Madani dalam Administrasi Negara, Demokrasi dan Masyarakat Madani, Jakarta, Lembaga Administrasi Negara, 1999.<br /><br />Mahmudi, Manajemen Kinerja Sektor Publik, Yogyakarta, UPP AMP YKPN, 2005.<br /><br />Effendi, Taufik, Peningkatan Kinerja Pemerintahan Daerah Trend Lokal dan Internasional, Jakarta, 2005.<br /><br />J. Jerome, Paul, Evaluating Employee Performance, (Terjemahan), Jakarta, Lembaga Manajemen PPM, 2001.<br /><br />Mohamad, Ismail dkk, Konsep dan Pengukuran Akuntabilitas, Jakarta, Penerbit Universitas Trisakti, 2004.<br /><br />Sjahruddin Rasul, Penetapan (Kontrak) Kinerja, Pemicu Akuntabilitas Pemerintah, Jakarta, Majalah Layanan Publik, 2005.<br /><br />Surya Dharma, Manajemen Kinerja: Falsafah Teori dan Penerapannya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /> </div>MARSONOhttp://www.blogger.com/profile/01129113131791804414noreply@blogger.com2